Himayah Fundation – Menjadi da’i Ramadhan bukanlah hal baru dalam hidupku. Kegiatan itu sudah saya lalui sejak zaman masih bujang sampai berkeluarga saat ini.
Alhamdulillah, selalu ada hal menarik di setiap Ramadhan dan tempat yang saya datangi. Biasanya, saya memilih tempat yang berbeda dengan tempat sebelumnya.
Tempat baru, artinya tantangan baru. Kebiasaan, pendidikan, ekonomi, budaya dan yang lainnya menjadi hal yang harus kita pahami sebelum memulai memberikan materi dakwah.
Beberapa hari sebelum keberangkatan saya ke tempat tugas, Alhamdulillah istri melahirkan anak yang ketiga. Ada perasaan bimbang, antara tetap berangkat atau menunda.
Alhamdulillah, isteri mendukung kegiatan dakwah dan mendorong agar tetap berangkat. Kita yakin, barangsiapa menolong agama Allah, pasti ditolong Allah.
Setelah sampai di tempat tugas, tidak ada penyambutan. Rumah yang sedianya untuk saya tempati ternyata belum siap untuk ditempati.
Rumah itu adalah rumah tua, sudah puluhan tahun tidak ditempati. Kotor dan berantakan. Jangankan anak kecil, orang dewasa saja merasa takut memasukinya. Ditambah tempat itu menjadi tempat menyimpan keranda mayat.
Alhamdulillah saya diberi kemudahan untuk berdialog dengan anak muda di kampung itu. Saya minta tenaga mereka untuk ikut merapikan dan membersihkannya.
Di rumah itu kami dapati ular, anak tikus, kecoak, dan yang lainnya. Saya berdoa, “Semoga saja mereka tidak kembali lagi.“
Ternyata lampu, listrik, kunci, peralatan dapur, tidak berfungsi dan tidak ada. Saya lengkapi semuanya sendiri. Saya minta salah satu jamaah untuk memasangnya. Alhamdulillah terang dan lumayan bersih.
Di hari pertama, kedua, dan ketiga Ramadhan, belum ada jama’ah yang peduli terhadap minuman dan makanan sahur saya. Terpaksa saya harus bolak-balik mencarinya sendiri.
Karena kekurangan air minum, saya sampai sariawan. Pernah di malam hari saya mengetuk pintu warga hanya untuk minta seteguk air. Guna menghilangkan dahaga setelah mengimami shalat jamaah.
Semuanya saya lakukan atas dasar keyakinan, semua usaha dakwah yang kita lakukan ini, pasti ada nilainya di sisi Allah.
Pendekatan demi pendekatan saya lakukan. Mulai dari menawarkan mengajarkan Al Qur’an kepadanya jama’ah ibu-ibu dan remaja, ikut mengajarkan TPA, sampai terapi gratis setiap selesai shalat.
Alhamdulillah, masyarakat yang dulunya dingin dan tidak peduli sekarang menjadi lebih rajin dan peduli. Tanpa diminta, saya melihat sudah ada galon air minum dan rice cooker di dalam rumah tersebut.
Di kampung itu ada satu masjid dan satu mushalla. Jaraknya tidak terlalu jauh. Masing-masing tempat punya karakter jamaah yang berbeda.
Saya tidak bosan-bosannya Mengucapkan Alhamdulillah. Sebab masyarakat mulai tertarik belajar Al Qur’an dan mendengarkan nasihat agama.
Bahkan mereka selalu menunggu-nunggu giliran untuk belajar Al Qur’an. Sebab waktu belajar Al Qur’an saya selang seling antara jama’ah lansia dengan pemudanya.
Alhamdulillah, beberapa warga ada yang berkata, “Alhamdulillah Ramadhan kali ini lebih rame, anak mudanya tidak kendor, jama’ah masih istiqomah berjamaah. Biasanya hanya bertahan di hari ke 5 atau ke 6 Ramadhan saja.”
Mereka berharap saya bisa istiqomah berdakwah di kampung itu. Bahkan mereka menawarkan agar bisa menempati rumah tersebut bersama dengan keluarga saya.
Catatan Sahlan Ahmad, dai Himayah Foundation, dari Kampung Candibinangun, Sleman, Yogyakarta.