Ramadhan, Antara Kita & Mereka
Oleh: Ust. Abdus Shomad, S.Pd.I
Belasan anak-anak itu nampak tersenyum saat kami memberikan paket makanan berbuka kemarin. Tidak terlalu banyak sebenarnya, hanya beberapa potong roti gandum, semangkuk laban (yoghurt) dan beberapa potong ayam bakar. Mungkin malam itu juga semua makanan akan habis dimakan satu keluarga. Tapi bagi mereka itu sesuatu yang sangat istimewa, karena setelah Allah Ta’ala tempat mereka bersandar dan berharap, mereka hanya menunggu bantuan dari saudara-saudara mukmin lainnya sekedar menyambung hidup hari demi hari. Jika tidak ada, maka hari itu mereka harus berbuka dan bersahur dengan apa adanya, ya benar-benar apa adanya, air dan roti selembar. Allahul Musta’aan.
Kondisi seperti ini, bukan hanya terjadi saat ini, ramadhan saat pandemi. Tapi terjadi di setiap hari disepanjang tahunnya, bahkan sejak mereka dilahirkan di dalam tenda-tenda pengungsian tersebut. Kebanyakan dari anak-anak itu dilahirkan dalam keadaan yatim, sejak terjadi konflik antara pemerintah Suriah dan rakyatnya 2011 lalu, banyak dari para pria ditangkap, dijebloskan ke dalam penjara dan meninggal di dalamnya akibat siksaan yang tidak berperikemanusiaan, sebagian lain meninggal dunia akibat serangan brutal rezim kepada rakyatnya.
Bagi anak-anak Suriah, ramadhan tahun ini tidak berbeda dengan tahun-tahun kemarin, karena mereka masih tinggal di tenda, kelaparan bukan sejak terbit fajar sampai tenggelamnya, tapi sejak hari kemarin. Malam hari tidak bisa tidur nyenyak, karena harus berdesak-desakan akibatnya sempitnya ruang, ketika musim panas datang, keadaan lebih menyesakkan lagi. Saat musim dingin, dingin menusuk sampai ke tulang sumsum, saljunya dapat merobohkan tenda yang rapuh. Laa haula walaa quwwata illaa billaah
Dan karena sejak dilahirkan mereka sudah berada di tenda-tenda tersebut, jadi tidak bisa membayangkan bagaimana sebenarnya semarak ramadhan itu. Yang mereka tahu, hidup adalah kepahitan, kesusahan dan kelaparan. Hari raya, bahkan mereka tidak bisa mendeskripsikan seperti apa makna Raya tersebut.
Adapun kita disini, sungguh keadaannya jauh lebih baik daripada mereka. Makanan masih melimpah, akses internet masih lancar, sebagian masih menerima gaji bulanan, yang kerja harian masih banyak mendapatkan uluran tangan dari para muhsinin. Yang berbeda hanya mungkin di sebagian wilayah, tidak bisa melaksanakan shalat berjamaah dan tarawih dimasjid, tidak boleh lagi konvoi merayakan kehadiran ramadhan dan idul fitri. Selebihnya, semua masih baik-baik saja. In sya Allah.
Anak-anak kita, masih merasakan indahnya bulan ramadhan dengan berbagai syiarnya. Dapat bercerita pengalaman puasanya dari tahun ketahun, merayakan hari raya dengan penuh kebahagiaan. Berkunjung dari satu kerabat kepada kerabat lainnya, bercerita tentang keceriaan bersama handai taulan dan teman.
Tahun ini, mudah-mudahan menjadi pelajaran bagi kita arti pentingnya persaudaraan dalam Islam, arti kepedulian terhadap sesama, makna sebenar dari berpuasa, menahan diri dari merasakan kenikmatan dan kesenangan. Menikmati setiap ujian yang Allah berikan kepada kita. Mengerti tentang lemahnya diri sebagai hamba, sehingga tak pantas berlaku sombong dan sewenang-wenang diwilayah kekuasaanNya.
Di penghujung Ramadhan tahun ini, mungkin kita tambah lagi munajatnya kepada Allah, tidak hanya untuk kebaikan negeri, untuk diangkatnya segala bala dan wabah bagi diri dan keluarga, tapi juga meminta agar musibah dihilangkan dari kehidupan saudara-saudara kita di Suriah, di Bumi Syam. Untuk anak-anak kita yang tinggal di tenda-tenda pengungsian, agar Allah berikan kesabaran dan memberi ganti dengan yang lebih baik tidak hanya di dunia, tapi juga di akhirat.
Wallaahu a’lam