Qutaibah bin Muslim Penakluk Samarkand, Takluk Kepada Keadilan

Surat dari Amirul Mukminin ada di tangannya. Dibukanya surat itu dengan hati berdebar-debar. Seberapa penting urusan yang tertera dalam surat itu. Surat itu hanya berisi beberapa baris tulisan. Initinya, Amirul Mukminin menyetujui usulan penduduk Samarkand untk menghakimi Qutaibah, panglima pasukan Islam yang beberapa pekan sebelumnya telah menyerbu Samarkand. Panglima Qutaibah yang juga telah memimpin  penaklukan Bukhara dan Khawarizm dituduh menyimpang dari sunnah Nabi di dalam menaklukkan negeri Samarkand. Surat dari Amirul Mukminin itu dilipatnya kembali. Qutaibah bin Muslim segera menyiapkan pengadilan pertama di Samarkand dengan dirinya  sendiri duduk sebagai terdakwa.

Tokoh-tokoh Samarkand yang menuntut keadilan sudah berkumpul. Qutaibah bin Muslim pun sudah hadir. Yang belum hadir adalah hakim yang akan memimpin jalannya persidangan.  Mereka menunggunya. Hakim yang ditunggu-tunggu itu pun datang. Hakim itu adalah Jumiah Al-Baajiy, seorang alim bertubuh kurus yang sudah tersohor kedalaman ilmu dan kebijakannya.

Sejatinya tokoh-tokoh Samarkand tidak begitu yakin akan berhasil memenangkan tuntutan mereka. Pengalaman mereka di sama lalu adalah bukti nyata. Tiaka da keadilan bagi rakyat kecil. Keadilan adalah milik penguasa. Sejatinya mereka ingin membuktikan kabar burung yang menyatakan bahwa pengadilan yang biasa diadakan oleh penguasa muslim berbeda dengan yang pernah mereka alami. Yah, siapa tahu mereka berhasil.

“Apa tuduhanmu terhadap Qutaibah bin Muslim?” tanya Jumaih Al-Baajiy kepada wakil penduduk Samarkand.

“Qutaibah bin Muslim datang menyerbu kami tanpa memberi pilihan kepada kami untuk membayar jizyah atau masuk Islam. Kami dengar para panglima Islam melakukan hal itu dalam penaklukan negeri-negeri lain.” Jawabnya.

Benar begitu, Qutaibah?” tanya Jumaih.

“Benar,” jawab Qutaibah yang pantang berdusta, “Tetapi… bukankah setiap peperangan adalah tipu daya? Dan bukankah pula setiap panglima perang menginginkan kemenangan pasukannya? Saya tidak merasa bersalah dengan apa yang telah saya lakukan. Apalagi ini demi menyelamatkan penduduk Samarkand dari kekafiran.

Hening, semua menunggu keputusan hakim. Hakim pengadilan itu, Jumaih Al Baajiy, menarik napas panjang lantas berseru, “Dengarkanlah aku, wahai pemimpin pasukan Islam dan seluruh pasukan! Kita keluar dari rumah kita adalah untuk berjihad fi sabilillah dengan tujuan mencari ridha Allah. Kita datang ke negeri ini bukan untuk merampok dan menguasai tanah penduduknya. Dan seperti yang telah diperintahkan Islam, sebelum menyerang kita harus menawarkan Islam kepada mereka. Bila tidak bersedia, maka kaum muslimin siap menjadi pelindung dan mereka wajib membayar jizyah. Bila mereka tidak bersedia barulah dilaksanakan penyerbuan.”

Jumaih menarik napas panjang lagi di tengah keheningan. Kemudian  dengan nada suara yang tegas ia bekata, “Kini dengarkanlah keputusanku: Kalian semua harus keluar dari negeri ini. Aku beri waktu satu hari satu malam dari sekarang.”

Para tokoh negeri Samarkand dan semua penduduk Samarkand yang hadir dalam persidangan itu terbelalak tidak percaya mendengar keputusan hakim. Mereka termangu bingung tak menyangka pengadilan ini akan berlangsung singkat dan merekalah yang memenangkan kasus ini. Yang lebih membuat mereka tidak percaya lagi, panglima Qutaibah yang gagah perkasa dan bertubuh besar itu ternyata tunduk kepada keputusan hakum yang kurus. Panglima perkasa itu tak membantah keputusan hakim sepatah kata pun. Ia tunduk kepada keadilan yang ditawarkan oleh hakim.

Dalam waktu singkat terjadi kesibukan luar biasa di kota Samarkand. Setelah menetap di sana selama beberapa pekan semua pasukan Islam harus ditarik keluar dari sana. Tidak ada yang membantah keputusan hakim. Semua bersiap-siap. Dan Qutaibah sudah memberikan aba-aba untuk segera meninggalkan negeri itu dan kembali masuk dengan cara yang diperintahkan oleh Islam.

Sementara itu para tokoh dan ketua negeri Samarkand tengah berunding serius, apa yang harus mereka lakukan. Mereka sungguh tak menyangka, seluruh prajurit muslim yang perkasa dan gagah berani menurut begitu saja kepada keputusan hakim kurus itu. Sungguh tak masuk akal. Kini secepatnya mereka harus mengambil keputusan; haruskah mereka mempersiapkan perlawanan, bersedia membayar jizyah, atau menerima Islam sebagai agama baru mereka. Yang jelas pengadilan yang baru saja mereka saksikan benar-benar pengadilan yang adil.

Akhirnya mereka semua memutuskan untuk memeluk Islam. Gemuruh suara takbir dan tahmid bergema membahana di seantero Samarkand. Sayang, semua pasukan muslim sudah meninggalkan bumi Samarkand.

Selama tiga hari penduduk Samarkand menunggu kedatangan pasukan muslim yang dipimpin oleh panglima Qutaibah. Mereka menyiapkan berbagai hidangan untuk menyambut kedatangan mereka, saudara-saudara seiman.

Dari kejauhan tampak pasukan muslim bergerak mendekati pusat Samarkand. Tiga tawaran diajukan oleh panglima Qutaibah. Tidak ada jawaban. Qutaibah pun mengomando pasukan untuk menyerbu. Tetapi mereka tidak mendapati pasukan dan penduduk Samarkand yang siap bertempur. Sebaliknya pasukan muslim mendapati penduduk Samarkand menyambut mereka dengan suara takbir dan tahmid serta hidangan-hidangan lezat. Serentak para prajurit  Islam melompat dari kuda-kuda mereka dan memeluk saudara-saudara mereka, para penduduk Samarkand erat-erat. Begitu pun dengan panglima Qutaibah. Kabut gelap telah sirna. Keadilan telah menunjukkan angkara.

Sumber: majalah arrisalah edisi 67 hal. 35-36

 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *