Qadar Taqdir dan Takdir
Syarh Aqidah ath-Thahawiyah ke–19
وَقَدَّرَ لَهُمْ أَقْدَاراً
(19) Dan (Allah) menetapkan qadar-qadar untuk mereka.”
Seperti ketika kita membahas topik yang lain, dalam membahas topik iman kepada takdir pun Abu Ja’far Ath-Thahawiy menebar pembahasan di awal, di tengah, dan di akhir rangkaian matan aqidahnya. Matan ke-19 ini dan beberapa matan berikutnya adalah bagian pertama dari pembahasan iman kepada takdir.
Beliau memulai pembahasan tentang takdir dengan menghadirkan bagian yang paling mendasar dari keimanan kepadanya; yang disepakati oleh seluruh umat islam, kecuali golongan yang secara ekstrim menolak adanya takdir sang pencipta. Setelah pada matan ke-18 beliau menjelaskan bahwa Allah swt menciptakan semua makhluk dan Dia mengetahui keadaan mereka baik secara global maupun terperinci, beliau menjelaskan bahwa Allah swt telah menentukan qadar-qadar bagi mereka (disini sengaja tidak digunakan kata takdir supaya selanjutnya tidak disamakan antara qadar, taqdir, dan takdir; karena memang berbeda.)
Sebelum Langit dan Bumi Diciptakan
Dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan ‘Abdullah bin ‘Amru bahwa Rasulullah saw bersabda,
كتب الله مقادير الخلائق قبل أن يخلق السماوات والأرض بخمسين ألف سنة
“Allah telah menulis miqdar-miqdar semua makhluk 50.000 tahun sebelum menciptakan langit dan bumi.” (HR. Muslim, No: 4797)
Ulama Ahlussunnah menjelaskan bahwa penulisan ini adalah penulisan ilmu Allah swt tentang semua makhluknya di lahu mahfuzh. Ini yang telah di sebutkan oleh Allah swt dalam firman-nya, “Dan di sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; taka da yang mengetahuinya kecuali Dia, dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan dilautan, dan tidak sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (juga), dan tidak jauh dari sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis didalam kitab yang nyata (lahu mahfuzh).” (QS. Al-An’am: 59)
Kadar dan Ketetapan
Selain pada hadits di atas kata miqdar disebut oleh Allah tiga kali di dalam al-Qur’an; yaitu dalam surat Ar-Ra’ad: 8, As-Sajdah: 32, dan Al-Ma’arij: 4. Penyebab kata miqdar dalam ketiga surat ini sama-sama bermakna kadar atau ukuran, bukan ketetapan.
Kata qadar dan taqdir serta kata-kata yang merupakan kata turunan dari kedua-nya menjelaskan bahwa salah satu dari dua makna: kadar atau ukuran dan ketetapan atau ketentuan Allah. Diantara ayat-ayat yang bermakna kadar atau ukuran adalah:
“Yang menciptakan dan menyempurnakan (penciptaannya) dan yang memberi kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk.” (QS. al-A’la: 2-3)
“Dan Dia menetapkan kadar-kadarnya dengan serapih-rapihnya.” (QS. Al-Furqan: 2)
“Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang.” (QS.Al-Muzzamil: 20)
Adpun sebagian ayat yang berarti ketetapan atau ketentuan adalah:
“Kecuali istrinya (luth); kami telah menentukan bahwa sesungguhnya ia termasuk orang-orang yang tertinggal (bersama orang-orang kafir lainnya).” (QS. Al-Hijr: 60)
“Kami telah menentukan kematian diantara kamu dan kami sekali-kali tidak dapat dikalahkan.” (QS. Al-Waqi’ah: 60)
“Dan ketetapan Allah itu adalah ketetapan yang pasti berlaku.” (QS. Al-Ahzab: 38)
Dari mana kita tahu perbedaan makna dan ayat-ayat diatas? Tentunya dari para akhli di bidangnya, para mufassir. Itulah sebabnya menurut Ahlussunnah memahami al-Qur’an tak cukup berbekal kemampuan berbahasa Arab saja. Keterangan dari para mufassir mesti diperhatikan jika tidak ingin tersesat.
Kandungan Matan
Dengan matan ke-19 ini Abu Ja’far Ath-Thahawiy menyatakan, salah satu aqidah Ahlussunnah wal Jamaah adalah menyakini bahwa Allah swt telah menciptakan semua makhluk dengan kadar atau ukuran dan dengan ketetapan-Nya.
Maksud kadar atau ukuran disini adalah bahwa dalam menciptakan makhluk-makhluknya Allah swt telah mengukur dan menakar kadar semua makhluk sesuai dengan hikmah-nya. Dari sini terciptalah keseimbangan di jagat raya ini. Misal dari pengukuran ini adalah penciptaan lalat. Dalam berkembang biak lalat menghasilkan jutaan telur. Tetapi lalat tidak dapat bertahan hidup lama. Allah swt mengukur umurnya tak lebih dari dua minggu. Seandainya lalat diberi umur panjang, beberapa tahun misalnya, maka pastilah bumi ini akan dipenuhi oleh lalat, dan kehidupan sekian jenis makhluk, khususnya manusia akan akan menjadi mustahil.
Contoh lainnya adalah ular. Ular adalah salah satu binatang yang oleh Allah swt diberi senjata untuk melindungi diri dari kepunahan. Dari sekian jenis banyak ular Allah swt mengukur dengan memberikan bisa atau racun yang berbahaya bahkan mematikan kepada ular-ular berukuran kecil. Sedangkan ular-ular yang berukuran besar Allah swt menciptakan mereka dengan otot yang sangat kuat bisa dipakainya untuk membelit musuh atau mengsanya sampai lemas, tetapi jarang sekali yang berbisa mematikan.
Sedangkan yang dimaksud dengan ketetapan bukanlah paksaan seperti dipahami oleh golongan Jabriyyah, melainkan bahwa Allah swt menciptakan semua makhluk dengan ilmu-Nya yang sempurna dan meliputi segala sesuatu yang di tulis-Nya di Lauh Mahfuzh; sehingga semua yang terjadi adalah yang telah diketahui oleh Allah swt dan di tulis-Nya di sana. Maknanya, apa pun yang akan kita lakukan, baik itu perbuatan baik atau buruk, semua sudah diketahui oleh Allah swt dan telah tertulis di Lauh Mahfuzh.
Menyakini dua sisi cakupan iman kepada takdir ini wajib bagi setiap muslim yang mengaku sebagai Ahlussunnah wal jamaah.
Hikmah Tasyri’
Ada beberapa hikmah dari disyariatkannya iman kepada takdir. Hikmah yang dapat dipetik oleh orang-orang yang benar-benar percaya kepadanya. Di antara hikmah-hikmah tersebut adalah:
- Meningkatkan etos dan optimisme dalam diri. Penghayatan seorang mukmin bahwa segala sesuatu di dunia ini sudah ditetapkan kadarnya akan membuatnya bekerja dengan sebaik-baiknya. Sebab ia tahu, semakin ia bersungguh-sungguh semakin dekatlah ia ke pintu kesuksesan dan keberhasilan. Itulah kadar yang ditetapkan Allah swt.
- Memupus kekecewaan. Meskipun Allah swt telah menentukan kadar-kadar yang salah satunya adalah hukum sebab akibat, terkadang buah usaha tidak tercapai. Inilah kegagalan. Orang yang tidak percaya kepada takdir atau percaya tetapi tidak utuh akan mudah putus asa dalam kondisi demikian. Bahkan tidak sedikit yang mencoba untuk bunuh diri. Berbeda halnya dengan orang yang imannya benar. Orang yang beriman paham benar bahwa yang dilakukannya hanya berusaha. Allah-lah yang menentukan. Itu pun masih ditambah dengan adanya kabar gembira dari Allah swt, bahwa itu adalah ujian. Ada pahala tersendiri jika kita bersabar. Pun yang dinilai oleh Allah adalah upaya kita bukan hasil.
- Memupuk rasa syukur kepada Allah swt. Saat seseorang memperoleh hasil kerja yang memuaskan setelah dibantu oleh yang memuaskan setelah dibantu oleh orang lain, ia akan dinilai sebagai orang yang berakal jika ia berterimakasih kepada orang yang membantunya. Maka dari itu orang yang beriman kepada takdir akan menjadi orang yang beriman kepada takdir akan menjadi orang yang paling pandai bersyukur. Sebab semua usaha dan upayanya untuk meraih kebaikan dunia dan akhirat, tak satu pun yang lepas dari takdir Allah swt. Belum lagi jika usahanya yang kecil berbuah besar.
- Menumbuhkan keberanian. Dalam berpegang atau menyampaikan kebenaran terkadang seseorang dihadapkan oleh kekuatan tirani yang kejam. Jika ia seorang yang percaya bahwa semua telah diketahuinya dan ditulis oleh Allah swt, dia tidak akan lagi takut kepada apa pun termasuk kematian. Asalkan sudah mengupayakan cara terbaik yang sesuai dengan aturan syariat, apa pun hasilnya bukan masalah baginya.
- Mengikis kesombongan. Seseorang yang beriman mengerti bahwa capain yang diraih seseorang baik itu berupa harta kekayaan, jabatan, atau pun segala sesuatu yang bisa disombongkan, semua itu tidak ada yang terlepas dari takdir dan izin Allah swt. Semua dari Allah swt. Karena siapa yang hendak takabbur mestinya malu kepada Allah swt.
Wallahu a’lam.
(ar risalah edisi 62 – Ust. Imtihan Syafi’i)