Puasa Ramadhan: Pensyariatan, Hukum & Hikmah

Ngaji Ramadhan
Oleh : Fajar Jaganegara

Puasa Ramadhan: Hukum, Pengertian, dan Hikmah Pensyariatannya

Puasa Ramadhan adalah satu dari lima rukun dalam Islam sebagaimana yang disabdakan Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam, dari ‘Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma:

قال : سمعت النبي صلَّى الله عليه وسلَّم يقول : بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ ، وَ إِقَامِ الصَّلَاةِ ، وَ إِيْتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَ حَجِّ الْبَيْتِ ، وَ صَوْمِ رَمَضَانَ .رواه البخاري و مسلم .

 “Aku mendengar Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda, ‘Islam dibangun di atas lima (pondasi): persaksian bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, naik haji, dan puasa Ramadhan”.(HR. Al-Bukhari dan Muslim.)

Lewat hadist ini Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam menyebutkan puasa di bulan Ramadhan menjadi salah satu rukun dalam Islam, artinya, setiap muslim wajib melaksanakan puasa selama bulan Ramadhan.

Kewajiban puasa Ramadhan juga berdasarkan firman Allah ta’ala:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (QS. Al-Baqarah: 183)

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullahu menjelaskan, bahwa lewat ayat ini Allah Ta’ala telah mewajibkan puasa Ramadhan kepada hambaNya, sebagaimana Allah juga telah mewajibakan kepada umat terdahulu. Alasan yang menyebabkan puasa Ramadhan kembali disyariatkan kembali kepada umat Islam adalah; karena dalam puasa terdapat maslahat (kebaikan) bagi manusia yang tidak lekang oleh zaman.

Lebih lanjut, Syaikh as-Sa’di rahimahullahu menjelaskan, dan hikmah besar dibalik pensyariatan puasa ini adalah; sebagaimana yang Allah Ta’ala sebutkan sendiri, “Agar kalian bertaqwa”, maka puasa menjadi salah satu wasilah yang paling besar untuk mendapatkan predikat taqwa di sisi Allah Ta’ala. (Taisir Karim ar-Rahman, Abdurrahman bin Nasir as-Sa’di, (Beirut: Muassasah Risalah, 1420 H), h. 86.)

Hukum puasa Ramadhan adalah wajib berdasarkan al-Quran, Hadist dan ijma’ kaum muslimin. Maka bagi setiap muslim yang telah memenuhi kriteria wajib puasa, serta tidak terhalang dari penghalang-penghalangnya maka telah wajib baginya untuk berpuasa di bulan Ramadhan.

Pengertian Puasa dan Awal Pensyariatannya

Sebelum masuk lebih jauh membahas tentang puasa, penting untuk mengetahui terlebih dahulu apa itu yang dimaksud dengan puasa atau dalam bahasa Arab disebut ash-Shaum atau ash-Shiyam.

Secara bahasa, puasa  (الصوم) bermakna menahan (الامساك), adapun pengertian menurut istilah syar’i adalah:

الامساك عن جميع المفطرات من طلوع الفجر إلى غروب الشمس بنيّة مخصوصة

“Menahan diri dari segala pembatal-pembatal puasa, sejak terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari dengan niat yang dikhususkan.” (lihat: at-Taqrirat as-Sadidah, Hasan bin Ahmad al-Kaf, (Tarim: Dar al-Mirats an-Nabawiyah, 1423 H), 1/433)

Dalam deifinisi yang lain disebutkan:

الصيام شرعاّ: إمساك عن شيء مخصوص في زمن مخصوص من شخص مخصوص.

“Puasa secara syar’i adalah menahan segala sesuatu yang dikhususkan (oleh syari’at), pada waktu yang dikhususkan, dan (diwajibakan) pada orang-orang yang dikhususkan pula.” (lihat: al-Mu’tamad fii al-Faqhi asy-Syafi’i, Muhammad az-Zuhaili, (Damaskus: Dar al-Qolam, 1432 H), 2/155)

Dari dua definisi di atas menjelaskan bahwa puasa adalah sebuah ibadah berupa menahan diri dari makan, minum, jima’ dan hal-hal lainnya yang dapat membatalkan puasa, dalam masa ibadah yang dimulai dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari, dengan niat yang khusus untuk berpuasa di bulan Ramadhan untuk mendapatkan ridha Allah Ta’ala.

Definisi yang disebut dalam al-Mu’tamad menambahkan subjek dari ibadah puasa ini, yaitu para mukallaf yang telah terpenuhi syarat-syarat wajibnya puasa.

Ibadah puasa Ramadhan sendiri pertama kali diwajibkan pada tahun kedua hijriyah, adapun bulan Ramadan adalah bulan ke sembilan dari dua belas bulan yang dikenal oleh orang Arab. Menurut sebagian pendapat, disebut sebagai bulan Ramadhan karena panasnya cuaca pada bulan ini.  Pendapat lain menyebutkan karena pada bulan Ramadhan dihapuskannya dosa-dosa (lihat: at-Taqrirat as-Sadidah, 1/432)

Pendapat ini selaras dengan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam yang menyebutkan tentang keutamaan bulan Ramadhan. Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

ﺃَﺑْﻮَﺍﺏُ ﺍﻟْﺠَﺤِﻴﻢِ، ﻭَﺗُﻐَﻞُّ ﻓِﻴﻪِ ﺍﻟﺸَّﻴَﺎﻃِﻴﻦُ، ﻓِﻴﻪِ ﻟَﻴْﻠَﺔٌ ﺧَﻴْﺮٌ ﻣِﻦْ ﺃَﻟْﻒِ ﺷَﻬْﺮٍ، ﻣَﻦْ ﺣُﺮِﻡَ ﺧَﻴْﺮَﻫَﺎ ﻓَﻘَﺪْ ﺣُﺮِﻡَ

Telah datang kepada kalian Ramadhan, bulan yang diberkahi. Allah mewajibkan atas kalian berpuasa padanya. Pintu-pintu surga dibuka padanya. Pintu-pintu Jahim (neraka) ditutup. Setan-setan dibelenggu. Di dalamnya terdapat sebuah malam yang lebih baik dibandingkan 1000 bulan. Siapa yang dihalangi dari kebaikannya, maka sungguh ia terhalangi. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Jika puasa Ramadhan baru diwajibkan pada tahun kedua hijriyah, apakah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam tidak puasa sebelum adanya pensyariatan puasa Ramadhan?

 Imam an-Nawawi rahimahullahu dalam al-Majmu’ menjelaskan secara historis bagaimana permulaan diwajibkannya puasa Ramadahan. Menukil riwayat dari sahabat Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, bahwa sebelum adanya kewajiban puasa Ramadahan, Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam puasa tiga hari setiap bulan, kemudian beliau puasa pada hari Asyura’ (10 Muharram).

Kemudian Allah menurunkan perintah puasa dalam surat al-Baqarah ayat 183, akan tetapi kewajiban ini masih bersifat pilihan, antara berpuasa atau memberi makan fakir miskin untuk setiap satu hari tidak berpuasa, dan keadaan ini berlangsung selama satu tahun sampai Allah turunkan ayat 185, yang menjadi penegasan akan kewajiban puasa bagi yang melihat hilal bulan Ramadhan. (al-Majmu’ Syarhu al-Muhadzab, Yahya bin Syaraf an-Nawawi, (Beirut: Dar al-Fikr, 1431 H), 6/249.)

Keutamaan Puasa

Puasa memiliki banyak keutamaan dan manfaat, baik secara ruhiyah maupun jasmaniyah. Secara ruhiyah manfaat puasa adalah sebagai perisai yang melindungi diri seorang mukmin dari dorongan syahwat untuk bermaksiat. Sebagaimana sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam tentang puasa

 ….وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

“…Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia shaum (puasa), karena shaum itu dapat membentengi dirinya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Imam an-Nawawi rahimahullahu menjelaskan bahwa makna puasa sebagai perisai adalah puasa dapat menghalangi syahwat dan memutus keburukan mani. (Syarah Shahih Muslim, Yahya bin Syaraf, (Beirut: Dar Ihya’ Turats al-‘Arabi, 1392 H), 9/173.)

Uniknya, puasa dibandingkan amal shaleh yang lain adalah; Allah mengkhususkan pahala bagi mereka yang mengerjakan puasa. Seperti yang dijelaskan dalam sebuah hadist qudsi:

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu berkata, Rasulullah Shallallahu’alai wa sallam bersabda, “Allah berfirman, ‘Semua amal anak Adam baginya pahala kebaikan sepuluh kali lipat hinga tujuh ratus kali lipat, Allah Ta’ala berfirman,’ kecuali puasa. Ia untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya, (itu karena) ia meninggalkan syahwat, makan, dan minum karena-Ku (HR. Bukhari dan Muslim)

Inilah yang menyebabkan ibadah puasa spesial dibandingkan dengan ibadah lainnya, kerena puasa adalah ibadah tersembunyi, tidak terlihat secara dzahir sebagaimana ibadah lainnya, seperti shalat, haji, sedekah,dsb. Maka puasa lebih dekat pada keikhlasan, maka Allah Ta’ala mengkususkan balasan pahala langsung dariNya untuk orang-orang yang berpuasa.

Imam al-Ghazzali rahimahullahu menyebutkan bahwa bahwa puasa tidak diketahui kecuali oleh Allah Ta’ala, karena puasa adalah amalan batin; yaitu kesabaran. Puasa menjadi alat untuk menunddukan setan, karena senjata setan untuk menyesatkan manusia adalah syahwat, dan syahwat menjadi kuat disebabkan oleh makan dan minum (banyak- terj penulis),… maka puasa menjadi wasilah untuk menunddukkan setan dan menutup pintu menguatnya syahwat (makan dan minum). (Ihya’ Ulum ad-Din, Muhammad bin Muhammad al-Ghazzali, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1431 H), 1/232.)

Ada banyak sekali nash yang menjelaskan keutamaan puasa, seperti yang disebutkan dalam beberapa riwayat berikut:

  1. Aroma mulut orang yang berpuasa dicintai oleh Allah.

Hadist dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

والذي نفس محمد بيده لخلوف فم الصائم أطيب عند الله عز وجل يوم القيامة من ريح المسك

“Demi yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah azza wa jalla pada hari kiamat dibandingkan dengan aroma misk.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

  • Allah mengkhusus pintu Surga Ar-Rayyan untuk orang-orang yang berpuasa.

Hadist dari  Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

إن في الجنة بابا يقال له: الريان، يدخل منه الصائمون يوم القيامة، لا يدخل معهم أحد غيرهم، يقال: أين الصائمون؟ فيدخلون منه، فإذا دخل آخرهم أغلق فلم يدخل منه أحد

“Sesungguhnya di Surga terdapat sebuah pintu yang disebut Ar-Rayyan, orang-orang yang berpuasa akan masuk melalui pintu ini kelak pada hari kiamat, dan tidak satu pun yang akan memasukinya selain orang yang berpuasa. (kelak) akan diseru, ‘dimana orang-orang yang berpuasa? Maka mereka akan memasuki pintu ini, jika ada yang mencoba masuk selain mereka, maka pintu ini akan tertutup.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

  • Menjauhkan dari api Neraka.

Hadist dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

ما من عبد يصوم يوما في سبيل الله إلا باعد الله بذلك اليوم وجهه عن النار سبعين خريفا

“Tidaklah seorang hamba berpuasa satu hari di jalan Allah, melainkan Allah akan menjauhkannya (dengan puasa tersebut) wajahnya dari api Neraka sejauh tujuh puluh musim.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

  • Memberi syafa’at pada hari kiamat.

Hadist dari Abdullah bin Amru bin al-‘Ash, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

الصيام والقرآن يشفعان للعبد يوم القيامة، يقول الصيام: أي رب، منعته الطعام والشهوة، فشفعني فيه، ويقول القرآن: منعته النوم بالليل فشفعني فيه، قال: فيشفعان

“Puasa dan al-Quran akan memberi syafa’at kepada seseorang (yang mengamalkanya) pada hari kiamat. Puasa akan berkata, ‘Ya Rabb, aku telah menghalanginya dari makanan dan syahwat, maka izinkan aku memberinya syafa’at. Al-Quran juga kelak berkata, ‘Ya Rabb, aku telah membuatnya terjaga pada malam hari, maka izinkan aku memberinya syafa’at, maka puasa dan al-Quran memberi syafa’at kepadanya.” (HR. Ahmad)

Riwayat-riwayat di atas adalah sebagian riwayat yang menyebutkan tentang keutamaan puasa dan besarnya pahala yang Allah janjikan bagi mereka yang mengerjakannya. Hadist-hadist di atas menjelaskan keutamaan puasa secara umum, maka puasa Ramadhan yang hukumnya adalah wajib memiliki keutamaan di atas  semua puasa sunnah.

Hikmah Puasa

Tidak ada sesuatu yang Allah perintahkan kepada manusia melainkan di dalamnya terdapat kebaikan dan mashlahat bagi kehidupan manusia itu sendiri. Termasuk puasa, di dalamnya Allah telah berikan faidah dan hikmah yang banyak, akan tetapi tidak semuanya dapat diketahui atau diindera, sebagian hikmah hanya Allah yang tahu.

Syaikh Muhammad az-Zuhaili menyebutkan sekian hikmah dari adanya pensyariatan puasa, beliau membaginya dalam beberapa bagian, diantaranya:

  1. Hikmah dalam aqidah, puasa menambahkan kekuatan iman dan ketaatan kepada Allah, dan memperkuat perasaan diawasi oleh Allah (muraqabah).
  2. Hikmah dalam ibadah, puasa adalah sebuah ibadah yang penuh dengan ketaatan kepada Allah Ta’ala, puasa juga menunjukkan penghambaan yang sempurna kepada Allah Ta’ala dalam mengerjakan perintah dan menjauhi laranganNya, bahkan saat puasa seorang hamba meninggalkan sesuatu yang dibolehkan dan halal untuk Allah semata.
  3. Hikmah dalam pendidikan, puasa menata jiwa manusia, melembutkan sanubari, dan mendisiplikan urusan makan pada waktu-waktu yang telah ditentukan.
  4. Hikmah dalam kehidupan sosial, mengajarkan untuk empati terhadap orang-orang fakir dan miskin dengan memberikan makanan dan bantuan untuk mereka.
  5. Hikmah dalam kesehatan, menjaga kesehatan tubuh sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ahli kesehatan dulu maupun sekarang. (lihat: al-Mu’tamad fii al-Fiqhi asy-Syafi’i, 2/158)

 Wallahu a’lam.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *