Polisi Dipuji, Polisi Dibenci
Oleh: Abu Athif, Lc –غفر الله له ولواديه-
Keberadaan aparat penegak hukum –dalam hal ini adalah polisi- merupakan kebutuhan mendasar dalam sebuah sistem ketatanegaraan. Tugas dan fungsinya sebagai penjaga hukum dan pengayom masyarakat adalah vital. Tanpanya bisa diprediksikan akan muncul banyak kericuhan dan keonaran.
Dalam perspektif syariat Islam, lembaga kepolisian telah ada cikal bakalnya sejak zaman Nabi Muhammad ﷺ. Pada saat itu ditunjuklah beberapa sahabat untuk menjaga penerapan hukum Islam di semua lini kehidupan. Penegakan amar ma’ruf nahi Munkar menjadi salah satu tugas penting di samping menjaga ketertiban dan keamanan bagi penduduk di kota Madinah dan sekitarnya.
Salah satu contoh dari penerapan sistem tersebut adalah penunjukkan Sa’id bin Sa’id bin al ‘Ash sebagai pengawas Pasar di kota Makkah pasca penaklukan kota tersebut dari cengkeraman rezim kafir Quroisy. Begitu juga penunjukkan seorang sahabat wanita yang bernama Samra’ binti Nahik al Asadi sebagai polisi hisbah di pasar-pasar Madinah. Di masa-masa para khulafaur rosyidin dan sesudahnya sistem penegakkan hukum, penjaga ketertiban dan keamanan terus diformalisasikan ke dalam bentuk lembaga hisbah yang hari ini seperti lembaga kepolisian.
Berangkat dari sinilah, sebenarnya menjadi polisi adalah amalan agung yang bernilai tinggi di sisi Allah ta’ala. Karena perannya sebagai penjaga dan penegak keadilan hukum Allah di muka bumi ini. Dalam bingkai syariat Islam seorang polisi sang penegak hukum-hukum Allah dinobatkan sebagai sebaik-baik manusia, sebagaimana firman Allah ta’ala: “Kalian adalah sebaik-baik manusia yang dikeluarkan di muka bumi ini untuk memerintahkan dengan perkara yang ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang Mungkar dan kalian beriman kepada Allah..”[QS. Ali Imron; 110].
Tak hanya itu, seorang polisi akan selalu dipuji karena kepahlawanannya yang menyelamatkan masyarakat dari keburukan dan mencegah kemungkaran yang menjadi penyebab utama terjadinya adzab bencana. Hal tersebut disebutkan dalam hadits Nabi ﷺ : “Demi Dzat yang diriku ada di dalam genggaman tangan-Nya, sungguh kalian harus beramar makruf nahi Munkar, atau Allah akan menimpakan kepada kalian hukuman bencana dan doa kalian tidak dikabulkan” (HR. Tirmidzi). Dengan kewenangan yang dimiliki seorang polisi, maka keburukan dan kemungkaran bisa dicegah bahkan dihilangkan.
Namun ketika tugas dan wewenang polisi beralih menjadi pendukung atau bahkan pelindung kemaksiatan dan kemungkaran maka sebuah bencana besar pun mulai mengancam dan merusak sendi-sendi kehidupan dalam ranah hukum dan kenegaraan. Di saat polisi tidak lagi menjadi pengayom masyarakat dan hanya sekedar instrumen penjaga bagi kedzoliman rezim atau tameng bagi pemodal dan pelaku kemaksiatan, maka tanda kehancuran peradaban sebuah bangsa pun semakin dekat.
Ketika paradigma polisi telah berubah menjadi alat pukul penguasa dan pengusaha untuk menentang amar ma’ruf-nahi Munkar dan tegaknya hukum di tengah masyarakat, maka keadaan dan kedudukannya pun berubah total. Semula dipuji, namun sejurus kemudian akan dibenci. Bukan hanya dibenci oleh manusia semata namun dibenci dan dimurkai oleh Allah ta’ala. Hal ini disampaikan oleh Nabi Muhammad ﷺ dalam sebuah haditsnya:
سَيَكُونُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ شَرَطَةٌ، يَغْدُونَ فِي غَضِبِ اللَّهِ، وَيَرُوحُونَ فِي سَخَطِ اللَّهِ، فَإِيَّاكَ أَنْ تَكُونَ مِنْ بِطَانَتِهِمْ (رواه الطبراني في المعجم الكبير)
Artinya: “Akan datang suatu zaman ketika polisi berangkat di pagi harinya mendapat kemurkaan Allah, dan perginya di waktu sore hari juga berada dalam kemurkaan Allah. Maka janganlah engkau menjadi bagian dari mereka”. (HR. Thobroni dalam al Mu’jam al Kabir, dan diriwayatkan pula oleh Ibnu Hajar al Asqolani dalam kitab Al Qoul al Musaddad, dan dishohihkan oleh syaikh Al Albani dalam Shohihl Jami’).
Seperti yang terjadi pada beberapa waktu lalu,beberapa anggota FPI justru ditangkap oleh aparat kepolisian pasca penangkapan pengedar narkoba. Dan ironisnya penangkapan anggota FPI tersebut didasarkankan atas pengaduan dari pelaku atau pengedar narkoba. Hal ini mengindikasikan bahwa objektivitas kepolisian dalam melihat kasus mulai pudar. Lebih membahayakan lagi ketika “sense” amar ma’ruf nahi Munkar dar aparat kepolisian juga mulai hilang.
Kita berharap preseden buruk seperti ini tidak terulang lagi di kemudian hari. Semuanya pun pasti memiliki harapan yang sama bahwa aparat kepolisian haruslah menjadi pionir dalam amar ma’ruf-nahi Munkar, dengannya lembaga dan aparat kepolisian akan dipuji dan dicinta. Masyarakat pun akan antusias untuk membantu dan mendukung kepolisian. Namun jika kondisinya hanya sekedar menjadi alat pukul penguasa dan pemodal kemaksiatan, maka celaan dan kemurkaan lah yang diraihnya. Lebih dari pada itu, masyarakat akan hilang kepercayaannya. Hanya Allah ﷻ jua-lah yang menjadi sebaik-baik Pelindung. Wallohu a’lam.