Syaikh Abdul Halim Mahmud pernah menceritakan sebuah kejadian lucu. Di sebuah negara sekuler di benua Arfika, ada seorang tokoh yang menikah untuk yang kedua (poligami) secara sah sesuai syar’i. Namun karena negara tersebut melarang poligami secara mutlak, maka ia pun melakukannya dengan sembunyi-sembunyi. Namun, kabar pernikahan keduanya itu pun tercium oleh aparat yang segera menyelidikinya. Setelah yakin hal itu benar adanya, maka tokoh itu pun ditangkap dan diproses dalam pengadilan. Demi menghadapi ketentuan yang seperti itu, maka tokoh itu pun memutar akal. Ia katakan bahwa tidak benar ia berpoligami, wanita itu adalah teman kencannya. Mendengar pengakuan itu, maka atas nama pemerintah, para penuntut dan hakum pun meminta maaf. Selanjutnya tokoh tersebut dibebaskan.
Mungkin situasi seperti itulah yang dikehendaki oleh sementara orang yang mempermasalahkan poligami lantaran dianggapnya tidak manusiawi dan bentuk penindasan terhadap perempuan. Sedangkan terhadap maraknya perzinaan, tidak sedikitpun mereka perkarakan, bahkan dianggapnya sebagai bagian dari dinamika perkembangan zaman.
Mengapa Menyoal Poligami
Siapa yang tidak mengetahui, bahwa praktek perzinaan di zaman ini begitu luas merambah berbagai kelas dalam masyarakat. Akibat dan kerusakannya pun sudah demikian nyata; angka aborsi yang sangat tinggi, hancurnya sendi-sendi sosial dan keluarga, banyak terjadinya kasus pembunuhan dan tindak kriminal lain yang terkait, dan munculnya berbagai penyait yang belum ditemukan obatnya. Perzinaan, dari sudut pandang manapun, sungguh sangat tidak manusiawi. Di dalamnya wanita (atau juga sebaliknya) didudukkan hanya sebagai obyek seksual semata. Jika dibanding poligami, jelas sekali perbedaannya.
Poligami, atas dasar cara pandang apapun telah jelas manfaatnya. Dari zaman ke zaman, poligami juga sudah dikenal dalam kehidupan masyarakat di pusat-pusat peradaban dunia. Di Arab sendiri, poligami juga sudah ada sebelum kedatangan Islam. Hanya saja, poligami saat itu tidak ada aturan dan batasannya. Karena itulah, ketika Islam datang maka poligami juga menjadi bagian yang diaturnya. Sebagaimana kebiasaan yang sudah ada terlebihdulu lainnya; ada kebiasaan yang dilarang karena sebab madharatnya, ada yang diteruskan tanpa perubahan kaena manfaat dan kesesuaian dalam syariat, dan ada pula yang kemudian diatur dan diberikan batasan-batasannya. Nah, poligami termasuk kategori yang ketika ini. Karenanya, aneh jika di kemudian hari ada pihak-pihak yang menuntut pelarangan poligami, sedangkan Islam telah memperbolehkan. Kebalikannya, terhadap praktek zina, mereka anteng-anteng saja. Padahal telah jelas-jelas Islam melarangnya, walau hanya mendekatinya. Allah berfirman, “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Isra`: 32)
Keadilan Yang Dipersoalkan
Dalam Fatawa Mar`Ah: 2/62, Syaikh Abdul Aziz bin Baz pernah ditanya: Ayat tentang poligami dalam Al-Qur`an berbunyi, “Kemudian jika kamu tidak takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja.” (QS. An-Nisa`: 3). Dan dalam ayat yang lain Allah berfirman, “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu) walaupun kamu sangat ingi berbuat demikian.” (QS. An-Nisa`: 129)
Dalam ayat yang pertama disyaratkan adil tetapi dalam yang kedua ditegaskan bahwa untuk bersikap adil itu tidak mungkin. Apakah ayat yang pertama di-nasakh (dihapus hukumnya) oleh ayat yang kedua, yang berarti tidak boleh menikah kecuali hanya satu saja, sebab sikap adil tidak mungkin diwujudkan?
Menjawab pertanyaan itu Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan, bahwa dalam dua ayat tersebut tidak ada pertentangan, dan ayat yang pertama tidak di-nasakh oleh ayat yang kedua, akan tetapi yang dituntut dari sikap adil adalah adil di dalam membagi giliran dan nafkah. Adapun sikap adil dalam kasih sayang dan kecenderungan hati kepada para istri itu di luar kemampuan manusia, inilah yang dimaksud dengan firman Allah, “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu) walaupun kamu sangat ingi berbuat demikian.” (QS. An-Nisa`: 129)
Oleh sebab itu ada dalam sebuah hadits dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasannya Rasulullah telah membagi gilirannya di antara para istrinya secara adil, lalu mengadu kepada Allah dalam do’a,
اللَّهُمَّ هَذَا قَسْمِى فِيمَا أَمْلِكُ فَلاَ تَلُمْنِى فِيمَا تَمْلِكُ وَلاَ أَمْلِكُ
“Ya Allah inilah pembagian )giliran( yang mampu aku penuhi dan janganlah engkau mencela apa yang Engkau mampu lakukan namun aku tidak mampu melakukannya.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Hakim)
Itu sekaligus jawaban bagi yang mempersoalkan poligami dengan anggapan bahwa keadilan yang menjadi syaratnya tidak mungkin terpenuhi. Padahal Rasulullah, para sahabat dan generasi salaf setelahnya pernah melakukan, dan terbukti bisa. Karena yang dimaksud adil memanglah pada batas pembagian giliran dan hal-hal yang sesifat materi saja.
Syubhat Lainnya
Ada yang menuduh poligami sebagai bentuk penindasan terhadap perempuan. Padahal justru sebaliknya, poligami adalah cara untuk memenuhi hak perempuan. Tengoklah, berapa jumlah perempuan, seperti apa proporsinya dengan populasi laki-laki. Jumlah wanita jauh lebih banyak dibanding laki-laki, sedangkan mereka semua memiliki hak untuk mendapatkan suami. Wajar dan masuk akal jika syariat memperbolehkan poligami.
Pada pihak lain, ada juga yang menganggap poligami sebagai sesuatu yang wajib secara mutlak. Menolaknya, dalam arti seseorang laki-laki tidak mau berpoligami atau seorang wanita yang tidak siap dimadu, sebagai sebuah penentangan syariat. Padahal, Rasulullah saja pernah melarang Ali bin Abi Thalib -menantunya- untuk memadu Fatimah. Hal ini memberikan penjelasan, bahwa sebenarnya poligami, sebagaimana nikah, meski hukum asalnya boleh, hukum pelaksanaannya selalu berjalan seiring dengan kondisi-kondisi yang melingkupinya, al hukmu yaduru ma’a ‘illatihi (hukum suatu perkara tergantung ada tidaknya asalan yang menyertai). Itulah di antara bukti bahwa syariat Islam memang manusiawi. Wallahu a’lam.
Sumber: majalah arrisalah edisi 67 hal. 33-34 *dengan beberapa tambahan.