Pergaulan bebas di kalangan pemuda dan pemudi pada zaman sekarang telah menjadi fenomena serius. Pacaran, kumpul kebo, kehamilan di luar nikah, hingga aborsi menjadi akibat yang tak terhindarkan dari pergaulan bebas.
Orang tua, pemuda, dan pemudi yang paham agama akan berupaya membentengi dirinya dari pergaulan bebas. Salah satu alternatif yang mereka ambil adalah dengan melakukan apa yang dikenal dengan istilah pernikahan muyassar.
Nikah muyassar adalah pernikahan yang telah memenuhi semua syarat dan rukun nikah, yaitu adanya mempelai pria, mempelai wanita, wali mempelai wanita, proses ijab dan kabul, dua saksi laki-laki, dan adanya mahar. Namun untuk sementara waktu mempelai pria belum memberikan sebagian hak mempelai wanita, seperti hak tempat tinggal atau hak nafkah. Setelah menikah, keduanya biasanya berkomunikasi melalui telepon/HP. Terkadang mempelai pria memberikan nafkah batin kepada istrinya.
Pernikahan muyassar biasanya dilakukan antara seorang wanita dan pria yang masih sama-sama kuliah, atau mempelai pria belum memiliki pekerjaan tetap. Meski sudah menikah, kedua mempelai tidak hidup serumah. Nafkah sehari-hari dan tempat tinggal bagi mempelai wanita untuk sementara waktu ditanggung orang tuanya, sampai mempelai pria lulus kuliah atau memiliki kemandirian ekonomi.
Bagaimana hukum nikah muyassar? Di kalangan ulama kontemporer terdapat perbedaan pendapat tentangnya.
NIKAH MUYASSAR SAH DAN BOLEH
Sebagian ulama kontemporer berpendapat nikah muyassar itu sah dan boleh, dengan syarat mempelai wanita ridha, pada awal akad tidak ditentukan lamanya waktu “perpisahan” kedua mempelai, dan tidak diniatkan talak.
Di antara ulama tersebut adalah Syaikh Abdul Aziz bin Bazz, Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syaikh, Yusuf Muhammad al-Muthlaq, Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin, Abdul Muhsin al-Ubaikan, Abdul Hamid Hamdi, Ibrahim bin Shalih al-Khudhairi, dan Sa’ad al-Unzi.
Argumentasi mereka adalah:
Pernikahan tersebut telah memenuhi semua syarat dan rukun nikah.
Mempelai wanita boleh melepaskan sebagian haknya seperti tempat tinggal, nafkah, atau bermalam bersamanya; dengan syarat atas dasar keridhaan dirinya dan bukan atas permintaan atau paksaan dari mempelai pria.
Pernikahan ini selaras dengan ajaran syariat untuk mempermudah beban-beban pernikahan.
Nabi n bersabda:
أَعْظَمُ النِّسَاءِ بَرَكَةً أَيْسَرُهُنَّ مَئُونَةً
“Istri yang paling besar keberkahannya adalah yang paling ringan beban nafkahnya.” (HR. Ahmad, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi)
إِنَّ مِنْ يُمْنِ الْمَرْأَةِ تَيْسِيرَ خِطْبَتِهَا وَتَيْسِيرَ صَدَاقِهَا وَتَيْسِيرَ رَحِمِهَا
“Sesungguhnya di antara keberkahan seorang wanita adalah ia mudah dilamar, mudah maharnya, dan mudah melahirkan bayinya.” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim)
Pernikahan ini merealisasikan tujuannya, yaitu ketenangan jiwa, kasih sayang, terjaganya pandangan mata, telinga, hati, dan kemaluan dari perbuatan haram. Sebab, dengan pernikahan ini telah halal hubungan suami – istri.
NIKAH MUYASSAR HALAL TAPI MAKRUH
Sebagian ulama kontemporer berpendapat pada asalnya hukum nikah muyassar adalah sah dan boleh. Namun mereka menyatakan bisa berubah menjadi makruh. Mereka memberikan beberapa catatan. Di antara mereka adalah Syaikh Muhammad Sayyid at-Thantawi, Abdullah bin Mani’, Su’ud asy-Syuraim, Muhammad Raf’at Utsman, dan Yusuf al-Qaradhawi.
Argumentasi mereka adalah:
Nikah muyassar telah memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat nikah, sehingga secara asal hukumnya sah dan halal.
Mempelai wanita boleh merelakan sebagian haknya, seperti tempat tinggal dan nafkah.
Nikah muyassar bukanlah pernikahan ideal yang bisa merealisasikan tujuan-tujuan pernikahan sebagaimana yang ditetapkan oleh Islam. Nikah muyassar “hanya” merealisasikan salah satu tujuan nikah saja, yaitu terjaganya pandangan mata, telinga, hati, dan kemaluan dari hal yang diharamkan. Padahal tujuan-tujuan pernikahan dalam Islam lebih luas dari hal itu.
Hanya saja kondisi nikah muyassar adalah pernikahan yang diharuskan oleh paksaan kondisi kehidupan dan kemampuan ekonomi.
Meskipun halal dan sah, mempelai laki-laki tetap wajib memperhatikan problem-problem rumah tangga setelah terjadinya pernikahan. Apabila tidak mendapatkan nafkah yang cukup dari orang tua, mempelai wanita berhak meminta nafkah kepada suaminya.
Mempelai pria wajib memperhatikan pendidikan anak mereka, jika anak mereka telah lahir.
NIKAH MUYASSAR HARAM
Sebagian ulama kontemporer menyatakan nikah muyassar adalah haram. Di antara mereka adalah Syaikh Nashr Farid Washil, Abdul Aziz al-Musnid, Ajil Jasim an-Nasymi, Muhammad az-Zuhaili, Umar Sulaiman al-Asyqar, dan Ali Qurrah Daghi.
Argumentasi mereka adalah:
Nikah muyassar tidak merealisasikan tujuan utama pernikahan yaitu membina keluarga yang stabil dan mendidik anak-anak. Nikah ini hanya menjadi sarana komunikasi atau melampiaskan kebutuhan seksual semata.
Nikah muyassar tidak merealisasikan sakinah (ketenangan jiwa), mawaddah (cinta yang mendalam) dan rahmah (kasih sayang) bagi mempelai wanita, saat ia membutuhkan keberadaan suaminya di sampingnya.
Dalam nikah muyassar, wanita tidak bisa menunaikan banyak kewajibannya terhadap suami.
Mempelai wanita dihadapkan pada kemungkinan diceraikan saat ia meminta nafkah, tempat tinggal, atau hak lainnya kepada suaminya. Sebab, suaminya bisa jadi menolaknya dengan alasan saat akad nikah telah ada kerelaan dari pihak mempelai wanita.
KAJIAN PENDAPAT DAN TARJIH
Dari kajian masing-masing pendapat dan argumentasinya, Syaikh Fahd bin Abdullah dan Ahmad bin Yusuf ad-Daryuwaisy menarik kesimpulan bahwa pendapat pertama adalah pendapat yang lebih kuat. Hal itu karena beberapa alasan berikut:
Nikah muyassar adalah pernikahan yang telah memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat pernikahan yang ditetapkan oleh syariat. Maka ia pernikahan yang sah secara syar’i.
Nikah muyassar tidak mengandung unsur penipuan, pemalsuan, niat untuk mentalak, penambahan ataupun pengurangan terhadap syarat-syarat sah pernikahan.
Mempelai pria dan mempelai wanita tidaklah berdosa jika mereka rela tidak menerima sebagian hak mereka dari pasangannya.
Nikah ini merealisasikan salah satu tujuan utama pernikahan, yaitu menjaga pandangan mata, telinga, dan hati dari zina dan perbuatan keji lainnya. Tidak diragukan lagi bahwa bagi para para pemuda dan pemudi, dorongan syahwat adalah salah satu problem terbesar yang mereka hadapai dalam kehidupan sehari-hari. Belum lagi kondisi pergaulan bebas yang sangat kuat mengajak mereka kepada perbuatan zina dan sejenisnya.
Akad nikah tidak mesti merealisasikan semua tujuan utama pernikahan. Jika sebagian tujuan utama telah tercapai, maka hal itu sudah mencukupi.
Hukum sebuah perkara didasarkan kepada terpenuhinya syarat-syarat dan rukun-rukun serta tiadanya pembatal-pembatal pada perkara yang bersangkutan; bukan kepada hikmah-hikmah dari perkara tersebut. Demikian pula keabsahan akad nikah.
Penulis: Abu Ammar
sumber: majalah hujjah