Permudahlah Dalam Berdakwah & Beribadah

Permudahlah Dalam Berdakwah & Beribadah

Sebagian orang menyangka bahwa cara beribadah paling utama ialah yang paling memberatkan jiwa. Membuat diri sulit beramal untuk dunia. Membuat diri tidak memiliki sisa waktu untuk bergaul dengan masyarakat.

Sebenarnya pemahaman ini tidak seratus persen salah. Meski juga tidak seratus persen benar. Tetapi harus didudukkan sesuai waktu, tempat, kondisi dan jenis ibadah yang dimaksud. Misalnya ibadah jihad memang berat dan ujiannya sangat banyak; mulai ujian anak, istri, keluarga dan lainnya. “Oleh karena itu Allah menyiapkan pahala yang besar bagi orang yang melaksanakannya dengan ikhlas. pahala itu tidak bisa ditandingi ibadah lainnya,” kata Syaikh Dr. Abdullah Azzam.

Pada prinsipnya, ajaran Islam itu mudah. Diturunkan untuk mempermudah manusia berinteraksi dengan Allah dan sesama manusia lainnya. Jika diamalkan dengan tepat, seorang hamba akan masuk surga Allah dengan mudah.

Bahkan, di antara tujuan dasar diturunkan syariat Islam (at-tasyri’) adalah untuk mempermudah. Salah satunya ialah firman Allah:

“Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS. Al Hajj: 78)

Dalam akidah, konsep Islam sungguh sangat mudah. Tidak sesulit filsafat yang seringkali membuat orang stress dan putus asa mempelajarinya. Hati dan jiwa hampa. Akidah tauhid sangat mudah dicerna, tidak seperti doktrin trinitas yang membingungkan penganutnya.

Ibadah yang diajarkan Islam pun mudah. Shalat misalnya, cukup lima kali sehari. Syarat dan tatacaranya pun gampang. Anak kecil pun bisa meniru. Sesuai dengan fitrah manusia serta sejalan dengan ilmu kesehatan. Bisa dilakukan di daerah mana saja. Jika tidak bisa berdiri, bisa dengan duduk atau bahkan berbaring.

Dalam muamalah, Islam juga mengajarkan cara yang mudah. Tidak pernah memberatkan. Mulai dari jual beli dan berbagai bentuk interaksi yang bertumpu pada prinsip keadilan, kasih sayang dan saling menguntungkan.

Taubat juga demikian. Tidak seperti ajaran agama lain yang mengharuskan pendosa membeberkan aibnya atau menebus dengan sejumlah uang. Rahasia orang bertaubat terjaga, karena hanya antara dia dan Allah yang tahu. Taubat juga diterima dari siapa saja; orang kaya maupun miskin.

Orang yang mempersulit justru terancam akan dijauhkan dari kemampuan melaksanakan ajaran Islam. Rasulullah bersabda:

Orang yang mempersulit justru terancam akan dijauhkan dari kemampuan melaksanakan ajaran Islam. Rasulullah bersabda:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضي الله عنه عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : ( إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا ، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَىْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ ) رواه البخاري

“Sesungguhnya agama itu mudah. Tidaklah seseorang mempersulit (berlebih-lebihan) dalam agama melainkan ia akan dikalahkan. Oleh karena itu kerjakanlah dengan semestinya, atau mendekati semestinya dan bergembiralah dengan pahala Allah dan mohonlah pertolongan di waktu pagi, petang dan sebagian malam.” (HR. Bukhari)

Seorang yang terlalu berlebih-lebihan dalam menjalankan agama, kelak akan mengalami kesulitan. Besar kemungkinan ia akan futur di tengah jalan. Di saat yang lain sedang semangat-semangatnya. Ia akan kehabisan energi dan dilanda rasa bosan atau putus asa.

Dalam riwayat Bukhari, sahabat Amir bin Abi Musa mengisahkan, bahwa ketika ayahnya, Abu Musa, diutus oleh Rasulullah bersama Muadz bin Jabal ke Yaman, Rasulullah menasehati mereka berdua;

“Permudahlah jangan mempersulit dan berikanlah kabar gembira, jangan membawa berita yang membuat orang lain lari dari agama. Bersatulah dan janganlah bercerai berai.”

Imam Bukhari juga meriwayatkan, “Suatu hari Nabi masuk ke dalam masjid. Beliau mendapatkan seutas tali terikat di antara dua tiang masjid. Lantas Rasulullah bertanya, “Tali untuk apa ini?” Para sahabat menjawab, “Tali ini milik Zainab. Apabila dia merasa lelah ketika shalat, dia pun bersandar dengan tali tersebut.” Maka Nabi memerintahkan, “Lepaskan tali ini! Hendaknya siapapun di antara kalian menegakkan shalat dalam keadaan giat. Apabila merasa capek, hendaknya dia duduk.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dalam syarh Riyadh Shalihin, Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan, “Dalam hadits ini ada dalil bahwa tidak dibenarkan seseorang terlalu ekstrim serta berlebihan dalam beribadah. Dengan memaksakan diri untuk melaksanakan sesuatu yang di luar batas kemampuannya. Seyogyanya, ia menunaikan shalat dalam keadaan semangat. Ketika merasa lelah hendaknya berhenti dan tidur untuk istirahat.”

Orang yang shalat dalam kondisi lelah, konsentrasinya akan buyar, tidak bisa khusyu’, jenuh dan jemu. Mungkin saja ia akana membenci ibadah tersebut. Bahkan bisa jadi yang tadinya ingin mendoakan kebaikan, ternyata malah mendoakan kejelekan bagi dirinya.

Maka mari kita mempermudah urusan Islam, tidak mempersulit diri, dan juta umat Islam. Tentunya, mempermudah dalam beragama itu selama tidk bertentangan dengan tuntutan Rasulullah. Jika bertentangan itu nama tafrith. Ini merupakan salah satu pintu setan dalam mencelakakan anak adam.

Nasehati saudara kita yang ghuluw dalam mengamalkan Islam. Sebab, sikap tersebut merupakan jebakan setan dalam menjerumuskan manusia menjadi khawarij dan sejenisnya.

Alangkah indah kisah Salman al-Farisi yang menasehati saudaranya, Abu Darda’. Imam Bukhari meriwayatkan kisah mereka berdua:

Nabi mempersaudarakan antara Salman dan Abu Darda’. Suatu hari Salman Al-Farisi datang berkunjung ke rumah Abu Darda’. Mendapati keluarganya kurang mendapatkan perhatikan dari Abu Darda’, Salman Al-Farisi pun bertanya, “Ada masalah apa?” Istri Abu Darda’ menjawab, Saudaramu, tidak lagi membutuhkan dunia.”

Kemudian datanglah Abu Darda’ membuat makanan untuk Salman dan berkata, “Makanlah, aku sedang berpuasa.” Salman berkata, “Saya tidak akan menikmati makanan ini kecuali engkau menemaniku makan.” Maka Abu Darda’ ikut menyantap makanan tersebut.

Di saat malam tiba Abu Darda’ bangkit untuk mengerjakan shalat malam. Salman menasehati Abu Darda’ agar istirahat dan tidur. Beliau pun menurut dengan segera tidur. Di pertengahan malam Abu Darda’ ingin menegakkan shalat malam. Salman masih memberi nasehat yang sama, agar beliau istirahat dan tidur. Setelah masuk waktu akhir malam, Salman pun membangunkan Abu Darda’, “Bangunlah sekarang!” Mereka berdua lalu shalat malam.

Sesudah itu Salman menyampaikan nasehat, “Sesungguhnya Rabb-mu memiliki hak darimu. Dirimupun pun juga memiliki hak. Demikian pula keluargamu memiliki hak yang harus engkau tunaikan. Maka tunaikanlah haknya masing-masing.” Setelah kejadian ini, Abu Darda’ menemui Nabi, untuk menceritakan kisahnya. Rasulullah bersabda, “Salman memang benar.”

Semoga kita bisa mencontoh Abu Darda’ yang serius beribadah kepada Allah, sekaligus bisa meneladani Salman Al-Farisi yang tawasuth (seimbang) dalam beribadah. Amin.

(majalah an najah: 115)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *