Permintaan Penghuni Neraka
Allah Ta’ala berfirman
﴿وَنَادَىٰ أَصْحَابُ النَّارِ أَصْحَابَ الْجَنَّةِ أَنْ أَفِيضُوا عَلَيْنَا مِنَ الْمَاءِ أَوْ مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ ۚ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَهُمَا عَلَى الْكَافِرِينَ﴾ [الأعراف: ٥٠]
Sejatinya surat Al-A’raf ayat 50 berbicara tentang permintaan penghuni neraka kepada penduduk jannah akan minum dan makanan yang dirizkikan kepada mereka. Namun penduduk jannah menjawab permohonan mereka dengan, “Sesungguhnya Allah mengharamkan keduanya atas orang-orang kafir.”
Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari ayat di atas?
Umumnya kita berpendapat bahwa ayat di atas setidaknya memberikan dua pelajaran penting:
Pertama, Rendahnya nilai dunia di sisi Allah
Hal ini terlihat betapa berbedanya antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Kehidupan dunia dibentangkan kepada siapa pun sebagai ujian baginya. Bahkan terkadang orang kafir lebih sering diluaskan dan dimudahkan rizkinya dibanding orang mukmin.
Maka, Nabi pun mengingatkan Umar bin Khattab ketika ia menangis karena tikar yang digunakan oleh Nabi tidur membekas di punggung beliau. Beliau mengingatkan, “Tidak ridhakah kamu wahai Umar bila dunia menjadi milik mereka, sedang akhirat menjadi milik kita?.”
Dan Nabi pun mengingatkan kepada umatnya, _“Sekiranya dunia ini senilai sesayap nyamuk, Allah takkan memberi seteguk air pun kepada orang kafir.”
Demikianlah. Karena dunia yang fana tiada nilainya di sisi Allah, maka Allah pun memberikannya kepada hamba-hamba-Nya di dunia, baik orang mukmin maupun orang kafir, baik muslim maupun munafik, baik orang yang berbakti maupun para durjana, baik orang adil maupum orang zhalim. Semua mendapat bagiannya.
Berbeda dengan akhirat, Allah mengharamkan air minum dan makanan atas orang-orang kafir. Air minum mereka adalah hamim dan makanan mereka adalah zaqqum. Minuman dan makanan yang tidak layak disebut sebagai minuman dan makanan.
Kedua, mahalnya nikmat air minum
Air minum yang dinikmati oleh manusia, tak selamanya bisa dinikmati. Utamanya bagi orang-orang kafir di akhirat nanti.
Maka ini menegaskan bahwa nikmat air minum adalah nikmat yang selayaknya disyukuri. Karena, bukankah nikmat air minum ini yang diingatkan Allah dalam surat Al-Waqi’ah ayat 68-69 firman-Nya,
أفرأيتم الماء الذي تشربون (68) ءأنتم أنزلتموه من المزن أم نحن المنزلون (69)
Namun selain dua pelajaran di atas, ada pelajaran lain yang mungkin tidak kita duga. Pelajaran ini bisa kita rujuk pada buku Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an karya Imam Al-Qurthubi rahimahullah.
Imam Al-Qurthubi menyebutkan bahwa surat Al-Araf ayat 50 ini berisi dalil bahwa memberi (air) minum termasuk amal yang paling utama.
Imam Al-Qurthubi kemudian memperkuat pendapatnya dengan atsar Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma. Ketika ditanya, “Ayyush shadaqati afdhal…., sedekah apakah yang paling utama?”, Ibnu Abbas menjawab, “(Sedekah) air. Tidakkah kalian lihat bahwa ketika meminta tolong kepada penduduk jannah, penghuni neraka berkata, “Curahkanlah kami air (minum) atau sesuatu yang dirizkikan Allah kepada kalian.”
Imam Al-Qurthubi juga menyebutkan hadits yang dikeluarkan oleh Imam Abu Dawud bahwa Sa’d datang menghadap Nabi seraya bertanya, “Sedekah apakah yang paling membuat Anda takjub?”, beliau bersabda, “(Sedekah) air.” Di dalam riwayat lain, “Lalu Sa’d membuat sumur, dan berkata, “Sumur ini milik Ummu Sa’d.”
Hal di atas dikuatkan lagi dengan hadits Anas bahwa Sa’d berkata, “Ya Rasulallah, sesungguhnya Ummu Sa’d suka sekali bersedekah. Apakah akan bermanfaat baginya jika aku bersedekah atas namanya?” Beliau bersabda, “Ya, dan hendaknya kamu bersedekah dengan air.”
Imam Al-Qurthubi kemudian menyimpulkan, “Ini menunjukkan bahwa memberi minum termasuk bentuk taqarrub yang paling besar di sisi Allah. Sebagian tabi’in berkata, “Barangsiapa yang banyak dosanya, maka hendaklah memberi sedekah air.”
‘Sungguh,” lanjut Imam Al-Qurthubi, “Allah telah mengampuni dosa orang yang memberi minum kepada anjing -yang kehausan lalu dengan sebab itu Allah berterima kasih kepadanya, dan mengampuni dosa-dosanya-. Lantas, bagaimana dengan orang yang memberi minum kepada lelaki mukmin yang muwahhid, dan menghidupinya?”
Akhukum fillah,
Ibnu Abdil Bari حفظه الله