Perintah dan Larangan Allah
Syarh Aqidah Ath-Thahawiyah ke-22
وَأَمَرَهُمْ بِطَاعَتِهِ وَنَهَاهُمْ عَنْ مَعْصِيَتِهِ
“Dia memerintahkan mereka untuk mentaati-Nya dan melarang mereka dari bermaksiat kepada-Nya.”
Setelah menjelaskan prihal penciptaan semua makhluk pada matan sebelumnya Abu Ja’far Ath-Thahawi menyebut tentang perintah dan larangan Allah. Ini mengisyaratkan bahwa tujuan penciptaan makhluk adalah supaya mereka beribadah kepada Allah. Karena ibadah adalah melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan larangannya. Allah berfirman, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Allah juga berfirman, “(Allah) yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kalian, siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya.” (QS. Al-Mulk: 2) secara global Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk mentaati-Nya dan melarang mereka dari bermaksiat kepada-Nya.
Mentaati Allah
Ayat-ayat yang memerintahkan kita supaya mentaati Allah di antaranya; “Katakanlah, Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kalian berpaling, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (QS. Ali Imran: 32)
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’: 59)
“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling dari pada-Nya, sedang kamu mendengar (perintah-perintah-Nya).” (QS. Al-Anfal: 20)
Katakanlah: “Taat kepada Allah dan taatlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (QS. An-Nuur: 54)
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu.” (QS. Muhammad: 33)
Ketaatan kepada Allah tidaklah datang begitu saja. Ia akan datang kepada seseorang setelah ia yakin dan percaya kepada keesaan Allah dalam Rububiyah, Uluhiyah, dan Asma wa Shifat. Semakin tebal keyakinan dan kepercayaan seseorang dalam hal ini, semakin kuat pula ketaatannya kepada Allah. Kuatnya akidah seseorang berbanding lurus dengan ketaatannya kepada Allah. Tak bisa dikatakan kuat akidahnya jika seseorang keluar dari ketaatan kepada-Nya.
Tiga Perintah
Para ulama mengklasifikasikan perintah Allah kepada kita menjadi tiga: wajib atau fardhu, sunnah atau mustahab, dan ibahah atau mubah. Wajib atau fardhu adalah perintah Allah yang barangsiapa meninggalkannya ia mendapatkan ancaman siksa. Misal perintah yang wajib ini adalah: shalat lima waktu, shiyam Ramadhan, berbakti kepada kedua orang tua, dan lain sebagainya. Sunnah atau mustahab adalah perintah Allah yang barangsiapa meninggalkannya ia tidak dicela. Misalnya shalat dhuha, shiyam Arofah, shadaqah, dan lain sebagainya. Ibahah atau mubah adalah perintah Allah yang barangsiapa meninggalkannya atau pun melaksanakannya, ia tidak dicela. Meski tidak dicela, namun yang mubah tidak boleh ditinggalkan secara mutlak. Karena jika ditinggalkan sama sekali, maka mudharatlah yang akan datang. Misal dari yang mubah ini adalah makan, minum, tidur, berbicara, dan lain sebagainya.
Klasifikasi ini tidak dimaksudkan untuk memudahkan pemilihan prioritas; hal mana terkadang pada saat yang sama seorang mukallaf dibebani dengan lebih dari satu perintah. Dengan mengetahui mana yang wajib, mana yang sunnah, dan mana yang mubah ia bisa mendahulukan yang wajib daripada yang sunnah dan mendahulukan yang sunnah daripada yang mubah.
Manajemen ketaatan
Tak dapat dipungkiri bahwa manusia memiliki status sosial yang berbeda-beda. Ada pemimpin ada yang dipimpin, ada guru ada murid, ada mandor ada buruh, ada suami ada istri, ada orang tua ada anak, dan seterusnya. Di antara mereka yang berstatus sosial berbeda terjalin banyak hubungan yang salah satunya adalah ketaatan. Ada manajemen ketaatan yang mesti diikuti oleh orang beriman.
Ketaatan kepada Allah mutlak adanya. Tidak boleh ada ketaatan kepada Allah. Bahkan ketaatan kepada Rasulullah pun dalam rangka taat kepada Allah. Demikian pula halnya dengan ketaatan kepada ibu bapak. Allah berfirman, “Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu- bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Al-Ankabut: 8)
Meninggalkan Kemaksiatan
Di antara ayat-ayat Allah yang melarang bermaksiat adalah; Telah dila’nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas.” (QS. Al-Maidah: 78)
“Dan Kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh Fir’aun dan bala tentaranya, karena hendak menganiaya dan menindas (mereka); hingga bila Fir’aun itu telah hampir tenggelam berkatalah dia: “Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” Apakah sekarang (baru kamu percaya), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Yunus: 90-91)
Katakanlah: “Sesungguhnya aku takut akan siksaan hari yang besar jika aku durhaka kepada Tuhanku.” (QS. Az-Zumar: 13)
Madharat Kemaksiatan
Sebenarya meninggalkan kemaksiatan sebagaimana melaksanakan perintah adalah untuk kebaikan kita. Karena tidak bermadharat bagi Allah kemaksiatan seluruh manusia di bumi ini dan Allah tidak butuh kepada peribadatan kita sedikit pun. Yang ada kemaksiatan hanyalah mendatangkan madharat bagi kita.
Di dalam Al-Jawabul Kafi li Man Sa’ala ‘anid Dawa’isy Syafi, Ibnul Qayyim menyebutkan banyak mudharat kemaksiatan. Di antaranya yang beliau inventarisir adalah;
- Kemaksiatan dapat merusak tubuh dan akal. Tidak ada pakar kesehatan yang menyangkal banyaknya penyakit yang ditimbulkan oleh zina dan kerusakan organ tubuh yang diakibatkan oleh minum khamr (arak). Dan di antara penyakit-penyakit itu ada yang belum ditemukan obatnya.
- Kemaksiatan membuat pelakunya terhina di hadapan masyarakat. Yang dimaksud di sini adalah masyarakat Islami. Sebab masyarakat yang tidak bersendikan ajaran Islam terkadang justru menerima kenyataan seseorang yang menjadi palacur atau pelaku liwath (homoseksual dan lesbian). Di masyarakat yang Islam mereka tidak mendapatkan tempat. Sebab hukum Allah berkenaan dengan mereka adalah dicambuk, dirajam, dan dipicis.
- Kemaksiatan dapat menghalangi pelakuknya dari rezeki. Orang yang bermaksiat kapada Allah adalah orang yang tidak ‘menghormati’ Allah, Dzat yang memberinya rezeki. Dan Allah menjanjikan bagi orang-orang yang taat, rizkinya akan dilapangkan. Seandainya orang yang bermaksiat itu taat kepada Allah, tentunya ia termasuk yang dilapangkan rizkinya.
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raf: 96)
Demikianlah, sekiranya Allah tidak mengancam orang yang bermaksiat dengan siksaan, sebenarnya mudharat-mudharat yang ditimbulkan oleh kemaksiatan ini seharusnya cukup untuk membuat kita berpikir sekian kali sebelum bermaksiat.
Sumber: majalah ar risalah, edisi: 65