Perbedaaan Antara Hibah, Wasiat dan Warisan (Bag. 1)

Banyak umat Islam yang tidak memahami perbedaan antara Hibah, Wasiat dan Warisan. Meskipun antara ketiga istilah tersebut memiliki kesamaan, yaitu membagi-bagikan harta, akan tetapi dalam Syari’at Islam ketiganya memiliki hukum masing-masing. Maka sangat penting untuk memahami definisi Hibah, Wasiat dan Warisan serta hukum-hukum Syar’i yang berkenaan dengan ketiga istilah tersebut.

Apabila kita saksikan sebagian jama’ah haji ketika mau berangkat haji, seluruh kampung ikut mengantar sampai Bandara, padahal yang naik Haji cuma satu orang, tapi yang mengantar tiga bis. Kenapa? Karena barangkali itu adalah pertemuan terakhir, jama’ah haji tersebut tidak kembali lagi karena berkeinginan untuk meninggal  di Makkah atau Madinah dan itu tidak disalahkan. Karena beliau Umar bin Khattab Radhiallahu ‘Anhu sendiri bercita-cita untuk mati syahid di kota Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Bahkan Nabi Isa bin Maryam yang akan turun kembali di muka bumi untuk menegakkan syariat Nabi Muhammad di akhir zaman pun, ketika beliau memimpin dunia ini selama beberapa puluh tahun, beliau juga akhirnya berhaji, kemudian mengunjungi kota Madinah dan meninggal di situ lalu dikuburkan di samping kuburan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Jadi tidak aib dan berdosa jika sekiranya ada jama’ah haji yang bercita-cita mau haji, kemudian tidak balik lagi karena ingin meninggal di Madinah atau Makkah. Maka teman-teman yang mengantar hendaknya merelakan jika seumpama jama’ah haji tersebut ditakdirkan Allah Subhanahu wa Ta’ala meninggal di kedua kota suci tersebut.

Oleh karena itu, orang-orang dalam keadaan seperti ini perlu meninggalkan wasiat kepada keluarga, anak dan istrinya supaya nanti sepeninggalnya tidak ada keributan dalam membagi harta warisan. Tetapi yang tidak haji pun boleh meninggalkan wasiat, dan ini dianjurkan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Hendaknya sebelum tidur meninggalkan wasiatnya disamping bantalnya. Ketika tidak bangun kembali, maka seluruh wasiat tersebut telah tertulis di samping bantalnya sehingga tidak terjadi keributan di dalam membagi harta warisan.

Tetapi ada beberapa kalangan dalam keadaan sehat wal afiat, hartanya banyak, anaknya banyak, daripada anak mereka bertengkar “saya bagi harta itu sejak sekarang”. Karena itu ada pertanyaan, “Bagaimana hukum membagi harta warisan sebelum meninggal dunia?” Jawaban pertama, pertanyaan itu salah. Kenapa salah? Karena judulnya “membagi harta warisan sebelum meninggal dunia.” Sebab harta warisan itu hanya ada kalau orangnya sudah meninggal dunia. Lalu bagaimana seharusnya judul yang benar? Judul yang benar yaitu “membagi harta sebelum meninggal dunia”, atau “membagi harta warisan setelah meninggal dunia.”

Tetapi kenyataannya memang demikian, banyak kalangan umat Islam  yang melakukan pembagian harta sebelum meninggal, disebabkan orang-orang jujur sudah mulai sedikit pada hari ini. Bahkan ahli waris sering berebut harta warisan. Dan tidak sedikit dari ahli waris tersebut ketika ayahnya berada di rumah sakit, berkeinginan agar ayahnya cepat mati. Bahkan yang sangat sadis dengan membunuh orangtuanya, dengan tujuan tidak langsung agar mendapatkan harta warisan.

Sebagian yang lain, ada seorang suami yang mempunyai anak 4, dia mencintai anak yang paling besar, maka dia berikan harta itu kepada anak yang paling besar. Kemarin ada jama’ah yang bertanya, ia mempunyai 3 anak, dua anak lali-laki dan satu anak perempuan, lalu ia memberikan hibah 1 rumah kepada anak perempuannya. Hal ini terjadi di Sumatera, karena di Sumatera ada sebagian daerah yang menekankan supaya harta warisan diberikan kepada anak perempuan, sementara adik laki-lakinya yang lain tidak diberikan dengan dalih mereka bisa bekerja karena mereka adalah laki-laki, harta ini diberikan sebelum meninggal dunia.

Seolah-olah memberikan rumah kepada anak perempuan sesuai dengan Islam  karena menolong orang-orang yang lemah, yaitu perempuan yang tidak bekerja. Tetapi pada hakekatnya ini adalah perbuatan dzalim. Kenapa? Karena anaknya 3, kenapa yang diberi cuma satu saja. ini merupakan pemberian yang tidak adil dan merupakan sebuah dosa.

 

HIBAH

Harta Pemberian (Hibah) adalah harta yang diberikan oleh seseorang secara cuma-cuma pada masa hidupnya. (Ibnu Qudamah, al Mughni, Beirut, Daar al Kitab al Arabi, : 6/246)

Pemberian-pemberian sebelum meninggal dunia disebut dengan hibah, bukan warisan. Pemberian yang diberikan dalam keadaan sakit berat yang biasanya menyebabkan seseorang meninggal dunia, seperti gagal ginjal, atau mengalami kecelakaan maut di jalan tol. Atau ketika dalam keadaan sakaratul seseorang memberikan sesuatu kepada saudaranya, maka tidak disebut dengan hibah karena dalam keadaan sakaratul maut. Jumhur ulama’ mengatakan “ini adalah wasiat”. Tapi kalau sudah meninggal dunia maka disebut dengan “warisan”.

Hibah (pemberian) itu sah jika diberikan seseorang dalam keadaan sehat wal afiat. Ketika khawatir jika anak-anaknya nanti bertengkar tentang harta warisan, maka ia dibolehkan untuk membagi hartanya. Misalnya masing-masing anaknya diberikan satu rumah.

Jika seseorang telah menghibahkan sesuatu kepada anaknya atau orang lain, maka detik itu juga hak kepemilikannya berpindah, walaupun belum ganti nama. Ganti nama ini sekedar formalitas di negeri kita. Banyak bapak-bapak yang membeli mobil atas nama istrinya, padahal mobil itu miliknya. Daripada kena pajak progessif karena mempunyai dua mobil, maka mereka menggunakan nama istrinya. Tiba-tiba suatu ketika sang suami menikah lagi, sementara istrinya tidak rela, akhirnya apa? Harta itu diakui hartanya. Di depan pengadilan, sang isteri akan menang, kenapa? Karena mobil atau rumah tersebut diatas namakan dirinya. Walaupun pada hakekatnya mobil/rumah tersebut milik suaminya.

Sebab itu, harus dipisahkan antara harta istri dan suami, jangan dicampur. Karena kalau dicampur akan membuat bingung. Inilah yang menjadi sebab perselisihan antara suami isteri. Ketika keduanya bercerai, sang isteri meminta harta gono-gini terlebih dahulu. Harta gono gini ini hanya ada di Indonesia yang bermaksud bahwa harta gono gini itu adalah harta campuran penghasilan antara suami isteri selama mereka menikah, ini terdapat dalam kompilasi hukum Islam . Namun pengertian ini kurang tepat, sebab suami mempunyai harta sendiri dan istri juga punya harta sendiri. Karena itu ada istilah warisan setelah suami meninggal dunia.

Sebab, sang istri akan mendapat ¼ jika suami tidak mempunyai anak darinya, dan mendapat 1/8 jika suaminya punya anak darinya. Ada satu kasus Di Bandung, seorang ahli bedah baru menikah pada usia 70 tahun. Untuk apa ia menikah? Ternyata ia menikah karena ingin menyelamatkan hartanya. Ia menikah dengan seorang janda yang mempunyai 2 anak perempuan. Ketika sang professor meninggal dunia, terjadilah keributan. Kenapa? Karena saudara-saudara professor juga menuntut harta professor tersebut. Tetapi saudara-saudara aslinya telah meninggal dunia, yang ada hanya anak dari saudaranya (keponakannya) baik dari saudara laki-laki maupun saudara perempuan.

“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya.Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu.”  (QS. An-Nisa’: 12)

Ketika terjadi pembagian warisan, sang istri mengatakan bahwa “suaminya menghibahkan hartanya kepadanya”, kalau istri mendapatkan ¼, boleh ia mendapatkannya. Kenapa? Walaupun istri ini mempunyai anak, tetapi anaknya itu dari suami lain, bukan dari sang professor yang meninggal.

Lalu harta selebihnya diberikan kepada keponakannya (professor) dari saudara laki-laki, bukan keponakan dari saudara perempuan. Karena ahli waris perempuan jika telah meninggal dunia, tidak ada yang meneruskan, dan hubungan warisnya menjadi terputus.

Di dalam KHI (kompilasi hukum Islam ) sendiri terjadi masalah besar yang disebut dengan pengganti waris. Padahal di dalam Islam , tidak ada istilah pengganti waris. Ahli waris jika telah meninggal dunia, ya sudah.

Apakah keponakan ini sebagai pengganti waris dari bapaknya atau sebagai ganti dari saudara lakinya (professor) yang meninggal dunia? Tidak. Karena kalaupun bapaknya meninggal dunia, memang aslinya ia (anak) berhak mendapatkan warisan dan tidak menggantikan posisi bapaknya. Sebagaimana “cucu perempuan” dari anak laki-laki yang meninggal mendapat warisan langsung sesuai dengan syari’at, bukan sebagai pewaris pengganti.

Maka keponakannya (professor) yaitu anak dari saudara laki-lakinya mendapat “Ashabah” (sisa) dari harta warisan sebesar 3/4. Tetapi masalahnya, ketika istri Professor mengatakan “saya mendapatkan hibah dari suami”, lalu ditanyakan mana bukti hibah itu? Dihilangkan oleh keponakan suaminya, jawabnya.

Lalu mana yang kita benarkan? Membenarkan istri atau keponakannya? Keduanya tidak ada bukti. Untuk zaman sekarang, sesuatu jika tidak ada buktinya, maka susah untuk menghukuminya. Alhasil kita menghukumi secara lahirnya bahwa si istri ini dapat ¼, adapun tentang hibahnya, tidak ada bukti.

Sebab itu, agar sebuah hibah menjadi sah dan tidak berpotensi menimbulkan konflik di masa mendatang, maka haruslah dipenuhi syarat-syarat berikut:

 

  1. Surat Pernyataan Hibah

Orang yang akan memberikan hartanya kepada orang lain sebagai hibah harus menandatangani surat pernyataan di atas kertas bermaterai. Di atas pernyataan itu dijelaskan jenis hartanya, nilainya, dan kepada siapa pemberian itu ditujukan.

Selain itu, pernyataan itu harus mendapatkan persaksian dari pihak lain yang dipercaya (hukumnya sunnah dan lebih baik). Dan terutama sekali juga harus ditandatangani oleh para calon ahli waris si pemberi hibah agar tidak muncul masalah di kemudian hari.

Jadi agar hibah tidak menimbulkan konflik, surat pernyataan harus dibuat secara sah dan resmi.

 

  1. Pengurusan Surat Kepemilikan

Setelah surat pernyataan hibah ditandatangani oleh semua pihak yang terkait, selanjutnya harus dilengkapi pengurusan surat bukti kepemilikan atas suatu harta.

Misalnya, ketika seorang ayah menghibahkan rumah kepada anaknya, maka hibah itu baru sah dan resmi secara hukum manakala surat-surat kepemilikan atas rumah itu sudah diselesaikan. Misalnya, sertifikat tanah itu sudah dibalik-nama kepada anaknya.

Apabila yang dihibahkan berupa kendaraan bermotor, maka STNK dan BPKB harus dibalik-nama pada saat penghibahan itu.

 

  1. Penyerahan Harta

Bila harta itu berupa uang tunai, maka baru bisa disebut hibah kalau memang sudah diserahkan secara tunai, bukan sekedar baru dijanjikan.

Sebagai pihak yang diberikan hibah, sebaiknya jangan merasa sudah memiliki harta kalau harta itu secara fisik belum diserahkan. Kalau baru sekedar omongan, janji, keinginan, niat dan sejenisnya, harus disadari bahwa semua itu belum merupakan pemindahan kepemilikan.

Kalau ini dikatakan wasiat, tidak boleh. Karena wasiat tidak boleh diberikan kepada ahli waris, apalagi kepada istri. Yang benar adalah hibah jika ada bukti, namun jika tidak ada bukti, si istri tetap mendapatkan ¼, dan selebihnya diberikan kepada keponakannya.

Hibah menghendaki adanya penghibah, orang yang diberi hibah, dan sesuatu yang dihibahkan.

 

Diantara Syarat-Syarat Penghibah

  • Penghibah memiliki sesuatu untuk dihibahkan dan benar-benar memiliki harta tersebut.
  • Penghibah itu benar-benar ikhlas tidak dipaksa, sebab hibah itu akad yang mempersyaratkan keridhaan dalam keabsahannya.
  • Orang yang mendapat hibah, menerima hibah tersebut.
  • Kepemilikan pindah saat hibah diberikan, tidak harus menunggu meninggal dunia.

Bagaimana dengan saksi? Saksi itu dalam setiap transaksi hukumnya adalah sunnah. Termasuk dalam jual beli, hutang piutang ataupun hibah. Namun jika transaksi tersebut bernilai tinggi/berharga maka mengharuskan menghadirkan saksi karena jauh lebih baik. Hanya satu saja, yang mewajibkan adanya saksi yaitu dalam akad pernikahan. Padahal pernikahan termasuk bidang muamalah, namun muamalah khusus. Para ulama’ memisahkan antara muamalah dalam arti jual beli dan lain-lain, dan muamalah dalam arti pernikahan.  Akad nikah ini harus ada saksi, jika tidak ada maka akad nikah tersebut tidak sah.

Apakah hibah ini harus sama pembagiannya antara satu anak dengan anak lainnya? Atau antara laki-laki dan perempuan, ataukah harus dibedakan antara satu dengan yang lainnya ?

Para ulama berbeda pendapat di dalam masalah ini, mayoritas ulama menyatakan bahwa semua anak harus disamakan, tidak boleh dibedakan antara satu dengan yang lainnya. (Ibnu Jauzi, al Qawanin al Fiqhiyah, Kairo, Daar al hadits). Sedangkan ulama Hanabilah (para pengikut imam Ahmad) menyatakan bahwa pembagian harus disesuaikan dengan pembagian warisan yang telah ditentukan dalam al Qur’an dan hadist.

Tetapi pendapat yang lebih tepat adalah dirinci terlebih dahulu, yaitu sebagai berikut:

Pertama: jika tidak ada unsur yang membedakan antara mereka, seperti semua anak masih kecil-kecil semua, sebaiknya disamakan, agar terjadi keadilan.

Dalilnya adalah hadits di bawah ini:

Dari sahabat An-Nu’maan bin Basyiir, beliau berkata,

“Ayahku (Basyiir) memberikan suatu pemberian kepadaku, maka Ibuku ‘Amrah binti Rawaahah berkata, “Aku tidak ridha sampai engkau menjadikan Rasulullah sebagai saksi (atas pemberian ini)”. Maka ayahkupun mendatangi Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lalu berkata, “Aku telah memberikan kepada anakku -dari istriku ‘Amrah binti Rawaahah- sebuah pemberian, lantas istriku memintaku untuk meminta persaksian darimu wahai Rasulullah”. Nabi berkata, “Apakah engkau juga memberikan kepada seluruh anak-anakmu sebagaimana yang kau berikan kepada An-Nu’maan?”. Ayahku berkata, “Tidak”. Nabi berkata, “Bertakwalah engkau kepada Allah, dan bersikaplah adil terhadap anak-anakmu!”. Maka ayahkupun balik dan mengambil kembali pemberian yang telah ia berikan.” (HR. Al-Bukhari)

Adapun pemberian yang diberikan kepada An-Nu’man dari ayahnya adalah seorang budak milik ayahnya. (lihat HR. Abu Dawud)

Dalam lafal yang lain Rasulullah mengulang-ngulang perkataannya,

اعْدِلُوا بين أَوْلَادِكُمْ اعْدِلُوا بين أَبْنَائِكُمْ

“Bersikalah adil terhadap anak-anakmu, bersikaplah adil terhadap anak-anakmu.” (HR. Abu Dawud)

Dalam lafal yang lain Rasulullah berkata (dalam konteks larangan)

لَا تُشْهِدْنِي على جَوْرٍ

“Janganlah engkau menjadikan aku saksi atas suatu kedzaliman.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam lafal yang lain Rasulullah bersabda:

فَأَشْهِدْ على هذا غَيْرِي ثُمَّ قال أَيَسُرُّكَ أَنْ يَكُونُوا إِلَيْكَ في الْبِرِّ سَوَاءً قال بَلَى قال فلا إِذًا

“Carilah orang selainku untuk menjadi saksi atas hal ini !, Apakah senang jika seluruh anak-anakmu sama berbakti kepadamu?, ayahku berkata, “Tentu saja”, Nabi berkata, “Kalau bagitu jangan (kau berikan pemberian terhadap An-Nu’maan).” (HR. Muslim)

Dari hadits di atas jelas bahwasanya ayah An-Nu’man yang bernama Basyiir berpoligami, dan An-Nu’maan adalah seorang anak dari salah satu istrinya yang bernama ‘Amrah binti Rawaahah. Dan Basyiir ingin menghadiahkan seorang budak kepada An-Nu’man saja, sementara anak-anaknya yang lain dari istri-istri yang lainnya tidak ia berikan hadiah sebagaimana ia berikan kepada Nu’man.

Banyak ulama yang berpendapat bahwa hadiah yang diberikan oleh seorang ayah kepada anak-anaknya dengan tidak adil merupakan kedzaliman dan tidak sah, maka harus dikembalikan hadiah tersebut. Ini merupakan pendapat Madzhab Hanaabilah dan Madzhab dzohiriah, dan dikuatkan oleh Ibnu Taimiyyah.

Ibnu Qudamah Rahimahullahu dari madzhab Hanbali berkata, “Wajib bagi seseorang untuk menyamaratakan di antara anak-anaknya dalam hal pemberian –jika salah seorang diantara mereka tidak memiliki kondisi khusus yang membolehkan untuk dilebihkan dalam pemberian-. Jika ia mengkhususkan sebuah pemberian kepada sebagian anak-anaknya atau tidak sama rata dalam pemberian di antara anak-anaknya maka dia telah berdosa. Dan wajib baginya untuk menyamatarakan dengan salah satu dari dua cara, dengan mengambil kembali kelebihan pemberian yang telah diberikannya kepada sebagian anak-anaknya atau dengan menambah pemberian kepada anak-anaknya yang lain (sehingga sama rata).“  (Al-Mughni 8/256)

Ibnu Hazm Rahimahullahu berkata, “Tidak halal bagi seorangpun untuk memberi hadiah atau memberi shadaqah kepada salah seorang anaknya hingga ia memberikan yang sama kepada seluruh anak-anaknya. Dan tidak halal ia memberikan kepada anak lelaki lebih dari anak perempuannya atau sebaliknya. Jika dia melakukannya maka hadiah tersebut batal dan tertolak selamanya.“ (Al-Muhallaa 9/142)

Ibnu Taimiyyah Rahimahullahu pernah ditanya, “Tentang seseorang yang mengkhususkan sebagian anak-anak putrinya dengan memberikannya sekitar 200 ribu dirham, dan sebagian lagi diberikan wakaf sebagian hartanya. Apakah ahli waris orang ini berhak untuk membatalkan ini semua atau tidak?”

Ibnu Taimiyyah menjawab, “Alhamdulillah, bahkan wajib baginya untuk berbuat adil diantara anak-anaknya sebagaimana diperintahkan oleh Allah dan RasulNya, sebagaimana telah valid dalam hadits yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bahwasanya beliau berkata kepada Basyiir bin Sa’d, “Bertakwalah engkau kepada Allah dan bersikaplah adil diantara anak-anakmu.” Beliau juga berkata, “Janganlah menjadikan aku saksi atas kedzaliman!,” dan Nabi memerintahkannya untuk mengembalikan kelebihan (harta yang telah ia hadiahkan kepada An-Nu’maan-pent) kepada seluruh anak-anaknya.

Maka jika orang ini telah meninggal dan ia tidak berbuat adil maka kedlalimannya harus ditolak menurut pendapat yang lebih kuat diantara dua pendapat para ulama, sebagaimana diperintahkan oleh Abu Bakr dan Umar terhadap harta Sa’d bin ‘Ubaadah. Dan seluruh anak-anaknya yang terdlalimi berhak untuk menuntut hak mereka dan berhak untuk membatalkan pengkhususan (hadiah harta yang telah dilakukan ayah mereka-pent) yang menjadikan mereka terdlalimi. Dan sikap membantu anak-anak tersebut dalam rangka agar mereka memperoleh hak mereka termasuk perbuatan amalan shaleh yang pelakunya diberi pahala oleh Allah.“ (Jaami’ul Masaail 4/339)

Kedua: Jika ada hal yang menuntut untuk dibedakan karena ada unsur maslahatnya, maka dibolehkan untuk membedakan antara anak satu dengan yang lainnya, seperti anak yang satu sudah menikah dan mempunyai tanggungan istri dan anak, sedangkan dia termasuk orang yang membutuhkan bantuan, maka anak ini boleh diberikan jatah lebih banyak. Apalagi anak yang lain masih kecil-kecil dan belum mempunyai banyak keperluan. Dalilnya adalah apa yang dilakukan oleh Abu bakar as Shiddiq terhadap anaknya Aisyah Radiallahu ‘Anha ketika memberinya harta yang lebih (20 wisq) dari anak-anaknya yang lain.

Sebagian ulama menyatakan jika seorang ayah memberikan salah satu anaknya uang yang cukup banyak, seperti membantunya di dalam membayarkan mahar pernikahannya, atau membayarkan uang perkuliahannya, maka seharusnya dia juga memberikan kepada anak-anaknya yang lain dalam jumlah yang sama. Tetapi, jika sebagian dari anaknya menderita cacat seperti buta, atau lumpuh kakinya, sehingga tidak bisa bekerja dengan maksimal, maka dibolehkan bagi orang tua untuk memberinya lebih dari anak-anaknya yang lain. (Majalah Al Azhar, Kairo , edisi III, tahun ke- 14)

bersambung…

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *