Perang Uhud, Menang atau Kalah?

Perang Uhud, Menang atau Kalah?

(Serial Tadabbur Sirah 3)

Oleh: Ust. Fajar Jaganegara, S.Pd.I

Menang dalam sebuah perang adalah hal penting sebagai hasil akhir dari pertempuran. Di mana pihak pemenang mengalahkan musuh dengan memberikan kerugian baik secara materil dan juga moril.

Pada episode perang Uhud, pasukan musyrikin Mekkah hanya berhasil melakukannya dari sisi materil; mereka berhasil mengantarkan 70 orang dari kaum muslimin menjadi syuhada; dalam arti, gugur di medan laga.

Sedangkan di pihak musyrikin Quraisy tercatat ada 37 orang yang tewas menurut catatan Syaikh Syafiyurrahman dalam kitab sirahnya. Secara kalkulasi matematika perang, pasukan musyrikin Mekkah memenangkan pertempuran.

Meski pada putaran pertama kaum muslimin di atas angin, namun sebab kelalaian pasukan pemanah yang meninggalkan pos jaga di bukit ‘Ainain sebagai pelindung bagian belakang pasukan muslimin,  Sehingga kemenangan yang hampir diraih berbalik arah menjadi tragedi perih.

Pasukan kavaleri Khalid bin Walid mengambil momentum untuk memukul mundur setelah melihat celah tersebut. Mangkirnya 40 pasukan pemanah dari pos jaga menyebabkan catur pertempuran berubah arah. Hingga ending dari episode perang Uhud berakhir dengan duka dan luka.

Namun apakah yang demikian bisa dinilai sebagai sebuah kekalahan? Dengan jumlah pasukan yang gugur dari pihak kaum muslimin lebih banyak dari korban yang jatuh di pihak musyrikin. Apakah hal tersebut cukup menyebut hal tersebut sebagai sebuah kekalahan?

Kaum Muslimin Tidak Kalah

Para sejarawan banyak menyebut bahwa hasil akhir dari perang Uhud adalah kalahnya pasukan Madinah dari musyrikin Mekkah. Tentu dengan penilaian untung-rugi yang diterima masing-masing pihak.

Tapi menarik apa yang diutarakan oleh Mayjen. Mahmud Syet al-Khathab dengan sudut pandang yang berbeda dari kebanyakan pengamat sirah lainnya. Dengan latar belakang militer, Syet al-Khathab memandang bahwa perang Uhud tidak berakhir dengan kekalahan.

“Saya tidak sepakat dengan para ahli sejarah ketika menyebut kesimpulan dari perang Uhud, bahwa kemenangan di pihak pasukan musyrikin dan kekalahan bagi pasukan muslimin. justru dalam sudut pandang militer, justru kemenangan di pihak muslimin, meskipun kerugian mereka lebih besar.” (Rasulullah Sang Panglima, Mahmud Syet al-Khathab, 249)

Meskipun kerugian yang menimpa kaum muslimin lebih besar, namun hal tersebut bukan satu-satunya alat ukur kemenangan dalam sebuah perang. Dalam kacamata militer, aspek terpenting dari kemenangan adalah tujuan dari perang itu sendiri.

Jika melihat dari tujuan keluarnya pasukan Mekkah menuju Madinah tidak lain adalah sebagai misi balas dendam atas kekalahan pahit mereka pada perang Badar.

Di mana mereka menderita kerugian yang besar; 70 pasukan tewas termasuk beberapa pembesar Quraisy, 70 lainnya tertawan, dan rampasan besar bagi kaum muslimin sekaligus harta tebusan dari tawanan yang berhasil ditangkap.

Maka tujuan mereka berperang jelas, menumpas Madinah hingga tak berbekas. Sebagaimana yang disampaikan oleh Abu Sufyan di hadapan pemu Quraisy:

“Wahai orang-orang Quraisy, Muhammad telah membuat kalian ketakutan dan membunuh orang-orang yang terbaik di antara kalian. Karena itu, tolonglah kami dengan harta kalian untuk memeranginya. Semoga kita bisa menuntut balas.” (Ar-Rahiq al-Mahktum, Syafiyurrahman al-Mubarakfuri, 456-457)

Dengan kekuatan 3000 personel berikut perlengkapan perang dan logistik yang mapan, seharusnya musyrikin Mekkah bisa mewujudkan ambisi nista mereka untuk meluluh lantakkan Madinah berikut orang-orang di dalamnya.

Namun bagai pungguk merindukan bulan. Rasulullah dan para sahabat bukan lawan yang mudah untuk ditaklukkan. Meski dengan kekuatan yang jauh di bawah pasukan Mekkah, Rasulullah tetap menunjukkan kualitas sebagai penglima yang cerdas dan tangkas.

Ada tiga faktor yang menjadi alasan bahwa Madinah tidak sepenuhnya kalah di perang Uhud. Justru bisa dikatakan sebagai pihak yang memenangkan pertempuran.

Pertama, sisi kekuatan dan tujuan masing-masing pasukan.

Pasukan Mekkah berperang dengan tujuan menumpas pasukan Muslimin sehancur-hancurnya sebagai aksi balas dendam atas kekalahan di Badar. Sedangkan tujuan Pasukan Nabi jelas, bertahan dari gempuran pasukan lawan.

Dengan kekuatan persenjataan dan logistik yang lebih mapan seharusnya pasukan Mekkah bisa dengan mudah memenangkan perang. Namun pada awal pertempuran, justru Rasulullah bersama para sahabat berhasil memukul mundur mereka dan menguasai jalannya pertempuran.

Ditambah lagi, setelah keadaan berbalik 180 derajat, saat pasukan Mekkah di atas angin, juga tidak berhasil melumpuhkan pasukan Madinah yang berkekuatan jauh lebih kecil dari pasukan mereka. Hanya 70 orang yang gugur, dan itu sama dengan jumlah pasukan Mekkah yang tewas ketika perang Badar.

Kedua, tidak berhasil menimpakan kerugian materil yang berarti.

Kemenangan dalam perang biasanya juga ditandai dengan tertawannya pihak musuh dan didapatnya harta rampasan perang dari pihak lawan.

Akan tetapi pada perang Uhud tidak ada dari kaum muslimin yang berhasil ditawan, sebagaimana kaum muslimin berhasil menawan sebanyak 70 orang dari musyrikin Mekkah pada perang Badar. Termasuk juga tidak ada rampasan perang yang cukup berarti yang berhasil mereka dapatkan.

Kerugian kaum muslimin pada perang Uhud secara materil pun dalam hitungan militer juga tidak terlalu besar. Sebagaimana kerugian yang diderita pasukan Mekkah pada perang Badar.

Hal itu disampaikan oleh Abu Sufyan di hadapan para pasukan musyrikin Quraisy ketika mereka berada di Rauha’, 73 KM dari Madinah, “Muhammad belum berhasil kalian bunuh, dan tidak pula kalian membawa gadis-gadis tawanan. Buruk sekali apa yang kalian lakukan.” (Ghazawatu ar-Rasul, Ali ash-Shalabi, 126)

Ketiga, belum mampu membunuh moral pasukan muslimin.

Serangan dahsyat dari pasukan musyrikin Mekkah atas Madinah dengan ketimpangan kekuatan yang besar, ternyata belum mampu membuat Rasulullah dan para sahabat tertunduk kalah. Baik secara materil dan moral pasukan Madinah masih di atas angin.

Buktinya Rasulullah dan para sahabat yang menerima luka parah pada perang ini masih dapat survive menahan serangan hingga Abu Sufyan CS angkat kaki dari medan laga. Bahkan Rasulullah masih melakukan pengejaran dengan pasukan yang sama pada perang Hamra’ul Asad.

Rasulullah mampu mengkonsolidasikan kembali pasukan yang berada di titik kritis kembali pada posisi optimis. Dengan menyongsong pasukan Mekkah di Hamra’ul Asad dan menunggu mereka selama tiga hari.

Namun tidak ada respon dari pihak Mekkah, yang bisa dikatakan pihak musyrikin Mekkah tidak berani untuk bertempur kembali. Sehingga secara pamor, kaum muslimin semakin mengukuhkan diri sebagai pihak yang menang. Dan secara moral pasukan Madinah masih dalam keadaan prima. Tidak mundur meski selangkah.

Pasukan Mekkah justru mencukupkan diri dengan kemenagan kecil mereka, meski hasil yang mereka peroleh tidak sebanding dengan yang mereka harapkan. Jauh panggang dari api, dendam Badar belum tuntas terbalas.

Bayangkan saja, untuk pasukan dengan jumlah yang jauh lebih kecil dan baru saja kehilangan 70 prajuritnya, ditambah luka-luka dari sisa perang sehari sebelumnya yang masih basah dan lelah yang masih melekat, ternyata tidak menyurutkan sedikitpun semangat mereka menyongsong musuh kembali.

Justru pasukan Mekkah mundur dan tidak bernyali untuk maju kembali. Dengan ukuran jumlah, persenjataan dan kekuatan yang lebih besar dari kaum muslimin, menunjukkan jatuhnya mental bertempur pasukan Mekkah atas kaum muslimin.

Pada perang Hamra’ul Asad ini ada beberapa poin strategis yang menunjukkan kecakapan Nabi sebagai seorang panglima. Sebagaimana yang dituliskan oleh Syaikh ‘Ali ash-Shalabi, ada empat yang menjadi misi keluarnya Nabi menyongsong pasukan Mekkah.

  1. Membuat kesan akhir bagi pasukan bahwa hasil dari pertempuran ini bukanlah kekalahan.
  2. Memberitahukan kepada mereka bahwa mereka mampu menyerang musuh ketika mereka bisa menyingkirkan rasa lemah dan rasa gagal dan menyambut seruan Allah dan Rasul-Nya.
  3. Menunjukkan keberanian para sahabat melawan musuh-musuhnya.
  4. Memberitahukan kepada mereka bahwa apa yang menimpa mereka (pada perang Uhud) adalah berupa cobaan dan ujian yang datang dari Allah berdasarkan kehendak dan Hikmah dari-Nya. Dan menunjukkan mereka adalah orang-orang yang kuat dan musuh mereka adalah orang-orang yang lemah. (Ghazawatu ar-Rasul, Ali ash-Shalabi, 128-129)

Tidak Ada Istrihat Dalam Berjuang

Salah satu pelajaran penting yang bisa kita reguk adalah; tidak ada kata istirahat dalam berjuang. Nabi dan para sahabat memberi teladan terbaik dalam hal ini. Bahwa jalan perjuangan memang ditaburi onak dan duri.

Mari Renungkan. Baru saja Nabi dan kaum muslimin tiba di Madinah dalam keadaan yang memprihatinkan; kesedihan atas gugurnya para sahabat, luka-luka yang masih membebat, bahkan Nabi sendiri terluka cukup serius.

Tidak terbayang keadaan kaum muslimin ketika itu. Sedih, lelah, dan terluka menjadi alasan yang pantas untuk berhenti sejenak untuk berbenah dan istirahat. Akan tetapi Allah dan Rasul-Nya memerintahkan sebaliknya. Mengejar musuh.

Dalam hal ini Allah berfirman:

وَلَا تَهِنُواْ فِي ٱبۡتِغَآءِ ٱلۡقَوۡمِۖ إِن تَكُونُواْ تَأۡلَمُونَ فَإِنَّهُمۡ يَأۡلَمُونَ كَمَا تَأۡلَمُونَۖ وَتَرۡجُونَ مِنَ ٱللَّهِ مَا لَا يَرۡجُونَۗ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا

“Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari pada Allah apa yang tidak mereka harapkan. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa’:104)

Allah masih memerintahkan Nabi dan kaum muslimin untuk mengejar musuh yang sudah lumayan pergi menjauh. Saat luka masih basah, badan remuk redam dan lelah, perintah ini sungguh sangat berat. Tapi itulah bahasa iman, ia mampu menggerakkan tubuh yang luka dan hati yang duka.

‘Kami dengar dan kami taat’ itu jawaban para sahabat saat perintah itu dikomandokan. Selalu taat meskipun berat, selalu siap meskipun yang diinginkan adalah rehat.

Lewat ayat ini Allah ingin menyampaikan sebuah pesan berharga untuk tidak berlemah diri dan bermalas-malasan dalam berjuang melawan musuh-musuh. Dan perintah untuk menjadi orang-orang yang kuat dan semangat

Karena lelah, capek, duka, terluka yang dirasakan, maka musuh pun merasakan hal yang sama. Adapun yang membedakan adalah; orang-orang beriman mengharapkan pahala dan Surga dari sisi Allah dengan menolong agama-Nya dan menjalankan Syariat-Nya. (Tafsir as-Sa’di, Abdurrahman as-Sa’di, 216)

#TadabburSirah

#MerawatIngatan

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *