Perang Uhud Dan Tamhis Rabbani | Serial Tadabbur Sirah 1

Perang Uhud Dan Tamhis Rabbani

(Serial Tadabbur Sirah 1)

Oleh: Ust. Fajar Jaganegara, S.Pd.I

7 Syawal tahun 3 H, sebagaimana yang dicatat oleh Syaikh Shaiyurrahman al-Mubarakfuri dalam Rahiq al-Makhtum tentang satu peristiwa sembilu. Hari itu, hari sabtu kelabu, di mana duka dan luka membebat hati dan perasaan Sang Nabi.

Tanah lapang yang diapit beberapa bukit itu dipenuhi dengan jasad-jasad tak bernyawa. Mayat-mayat penuh luka, tanah yang basah dengan darah menandakan baru saja terjadi peperangan di sana.

Bukit Uhud yang berjarak kurang lebih 5 mil dari Madinah adalah tempat yang mempertemukan kedua pasukan. 3000 pasukan musyrikin Quraisy yang ditopang dengan 3000 ekor unta dan 200 ekor kuda harus berhadapan dengan 700 pasukan kaum muslimin dengan persenjataan yang jauh dari kata cukup.

Nabi bersama para sahabat semenjak mendirikan negara Madinah tidak pernah punya pasukan cukup untuk melawan musuh-musuh yang mengganggu dakwah Islam. Jumlah angka pasukan iman selalu lebih kecil dibandinkan musuh-musuhnya.

Tapi itulah bahasa iman, ia menggerakan manusia dengan dorongan yang berbeda. Iman melahirkan cinta untuk berkorban tanpa memikirkan konsekuensi dari apa yang akan terjadi. Apatah lagi yang menyeru hal tersebut adalah Sang Nabi.

Maka matematika dalam ukuran manusia tidak berlaku dalam hal ini, jika itu sudah berurusan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Mendengar dan taat menjadi pilihan mutlak untuk dijalankan.

Imam al-Waqidi menyebutkan sabda Nabi sebelum kedua pasukan berperang, “Pada hari ini kalian akan mendapatkan pahala dan simpanan kebaikan bagi siapa saja yang menyiapkan dirinya untuk bersabar, yakin dan bersungguh-sungguh. Allah bersama orang-orang yang menaati-Nya, sedangkan setan bersama orang-orang yang mendurhakai-Nya.” (al-Maghazi, al-Waqidi, 1/221-222)

Bahasa iman selalu menjadi poin dari setiap sabda dan penjelasan Nabi kepada para sahabat. Iman menjadi dorongan paling kuat yang menggerakkan mereka untuk berjuang dan berkorban. Maka sejarah mencatat, para sahabat adalah orang-orang dengan iman yang jujur dan benar.

Kejujuran iman mereka terhadap Allah dan Rasul-Nya termanifestasikan lewat ketaatan purna terhadap segala yang diperintahkan kepada mereka. Harta dan jiwa sudah bukan lagi prioritas mereka. Bagi para sahabat, nyawa mereka begitu murah untuk dikorbankan, asalkan agama ini menang di muka bumi.

Iman Itu Butuh Ujian

Adalah Sa’ad bin Rabi’ radhiyallahu ‘anhu, salah seorang sahabat yang Allah takdirkan gugur menjadi syahid pada pertempuran ini. Paska perang, Nabi mengutus Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu untuk mencari tahu keadaan Sa’ad bin Rabi’, apakah ia selamat atau termasuk mereka yang gugur.

Setelah mencari diantara puluhan jasad yang gugur, didapati Sa’ad bin Rabi’ radhiyallahu ‘anhu tengah tergeletak dengan sisa-sisa nafas yang tersenggal, tubuhnya penuh luka; tembakan panah, tusukan tombak dan sabetan pedang terpahat di sekujur tubuhnya.

Ajal sudah begitu dekat, tapi yang ia khawatirkan justru Sang Nabi tercinta, “Semoga keselamatan senantiasa terlimpahkan kepada Nabi dan kepadamu (Ubay bin Ka’ab). Sungguh aku telah mencium aroma Surga.”

Ubay bin Ka’ab menyimak dengan seksama kalimat terakhir yang diucapkan Sa’ad bin Rabi’, sebuah kalimat penuh cinta kepada Sang Nabi, “Sampaikan kepada kaumku (kaum Ansar), tidak ada maaf bagi kalian jika Rasulullah tertimpa musibah, sedangkan mata kalian masih berkedip.” 

Bahasa iman yang menggetarkan. Di saat nyawa akan lepas dari raga, tapi yang paling dikhawatirkan adalah Sang Nabi tercinta. Luka-luka yang ia derita seperti bukan apa-apa, asalkan Nabi dalam keadaan baik dan selamat.

Syaikh ‘Ali ash-Shalabi berkomentar tentang ini, “Inilah gambaran tentang kekuatan iman, tentang loyalitas dan tekad yang sempurna atas kebenaran yang tidak terpengaruh dengan rasa sakit kematian dan luka-luka pertempuran.” (Ali ash-Shalabi, Sirah Nabawiyah, 659)

Iman dan Cinta itu butuh diuji, untuk memperlihatkan siapa mereka yang jujur dengan cintanya, dan siapa yang sekedar kata-kata penuh dusta. Perang Uhud; keadaan di mana kaum muslimin terpuruk, adalah tempat di mana Allah menguji siapa yang benar beriman, dan siapa dusta.

Perang Uhud: Tamhis Rabbani

Perang Uhud menjadi tempat di mana Allah Ta’ala memperlihatkan siapa saja yang jujur dengan imannya dan siapa yang berdusta. Perang adalah cobaan dan ujian keimanan, di mana tempat membedakan antara mukmin dan munafik.

Uhud ibarat api yang membakar yang emas, ia menyingkirkan kotoran dan karat dari kemurnian dan menampakkan kemilaunya.

Allah berfirman tentang peristiwa ini dalam surat Ali Imran:

وَمَآ أَصَٰبَكُمۡ يَوۡمَ ٱلۡتَقَى ٱلۡجَمۡعَانِ فَبِإِذۡنِ ٱللَّهِ وَلِيَعۡلَمَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ وَلِيَعۡلَمَ ٱلَّذِينَ نَافَقُواْۚ وَقِيلَ لَهُمۡ تَعَالَوۡاْ قَٰتِلُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ أَوِ ٱدۡفَعُواْۖ قَالُواْ لَوۡ نَعۡلَمُ قِتَالا لَّٱتَّبَعۡنَٰكُمۡۗ هُمۡ لِلۡكُفۡرِ يَوۡمَئِذٍ أَقۡرَبُ مِنۡهُمۡ لِلۡإِيمَٰنِۚ يَقُولُونَ بِأَفۡوَٰهِهِم مَّا لَيۡسَ فِي قُلُوبِهِمۡۚ وَٱللَّهُ أَعۡلَمُ بِمَا يَكۡتُمُونَ

“Dan apa yang menimpa kamu pada hari bertemunya dua pasukan, maka (kekalahan) itu adalah dengan izin (takdir) Allah, dan agar Allah mengetahui siapa orang-orang yang beriman. Dan supaya Allah mengetahui siapa orang-orang yang munafik. Kepada mereka dikatakan: “Marilah berperang di jalan Allah atau pertahankanlah (dirimu)”. Mereka berkata: “Sekiranya kami mengetahui akan terjadi peperangan, tentulah kami mengikuti kamu”. Mereka pada hari itu lebih dekat kepada kekafiran dari pada keimanan. Mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak terkandung dalam hatinya. Dan Allah lebih mengetahui dalam hatinya. Dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan.”  (QS. Ali Imran: 166-167)

Para sahabat menggambarkan perang Uhud sebagai tempat ujian dan cobaan serta seleksi (tamhis), di mana Allah mengujji orang-orang beriman, dan membinasakan orang-orang kafir dan munafik, yang lisannya menampakkan keislaman  sedangkan hatinya dipenuhi kebencian dan kekafiran. (Munir Muhammad Ghadban, at-Tarbiyah al-Jihadiyah, 1/190)

Pada perang Uhud inilah Allah menampakkan orang-orang yang di dalam hatinya terpendam kemunafikan. Tercatat ada 300 an orang yang membelot dipimpin oleh Abdullah bin Ubay bin Salul pulang kembali ke Madinah.

Penyebab yang mereka utarakan adalah karena Nabi tidak mengikuti saran mereka untuk tetap bertahan di dalam kota Madinah, bukan menyongsong musuh di Uhud. Melainkan mereka memang pengecut dan munafik, alasan utama mereka adalah ingin menimbulkan keguncangan dan keresahan di tengah pasukan kaum muslimin dan menurunkan mental bertempur mereka. (Syafiyurrahman al-Mubarakfuri, ar-Rahiq al-Makhtum, 464)

Demikianlah Allah menampakkan kemunafikan itu di hadapan Nabi-Nya. Agar jelas siapa yang menjadi musuh dalam selimut, dan siapa yang setia berjuang membela kebenaran dengan sepenuh hatinya. Inilah yang disebut dengan at-Tamhis ar-Rabbani, Ujian Iman.

Bahasa Cinta Itu Berkorban

Bukti konkrit dari kecintaan seseorang terhadap sosok yang ia cintai adalah ia siap berkorban apapun demi sosok yang dicintai. Begitulah yang dilakukan para sahabat di medan Uhud. Mereka membuktikan kecintaan mereka terhadap Allah dan Rasul-Nya dengan pembuktian sesungguhnya.

Pada diri mereka terpancar kejujuran iman terhadap apa yang telah Allah dan Rasul-Nya janjikan. Bahwa mereka yang berjuang demi agama-Nya akan dibalas Surga, sedangkan mereka yang mendustakan akan tersiksa kelak di Neraka.

Allah berfirman:

مِّنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُواْ مَا عَٰهَدُواْ ٱللَّهَ عَلَيۡهِۖ فَمِنۡهُم مَّن قَضَىٰ نَحۡبَهُۥ وَمِنۡهُم مَّن يَنتَظِرُۖ وَمَا بَدَّلُواْ تَبۡدِيلا

“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak merubah (janjinya),” (QS. Al-Ahzab: 23)

Ayat ini menjelaskan tentang para sahabat yang tetap setiap bersama Rasulullah bahkan hingga detik-detik mendebarkan, saat tembakan anak panah, sabetan pedang dan tusukan tombak mengarah kepada Rasulullah, dan mereka tetap tegar dan sabar membersamai Sang Nabi. Melindunginya dengan seluruh nyawa mereka. (lihat: Tafsir al-Quran al-‘Adzim, Ibnu Katsir, 11/135-136)

Allah membalas perjuangan mereka dan kejujuran iman mereka kelak dengan Surga. Dan Allah akan mengadzab mereka yang berdusta dan menyelisihi perintah Allah dan Nabi-Nya dengan adzab yang pedih.

لِّيَجۡزِيَ ٱللَّهُ ٱلصَّٰدِقِينَ بِصِدۡقِهِمۡ وَيُعَذِّبَ ٱلۡمُنَٰفِقِينَ إِن شَآءَ أَوۡ يَتُوبَ عَلَيۡهِمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ غَفُورا رَّحِيما

supaya Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang benar itu karena kebenarannya, dan menyiksa orang munafik jika dikehendaki-Nya, atau menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 24)

Ibnu Katsir rahimahullah berkomentar tentang ayat ini, “Sesungguhnya Allah menguji hamba-hamba-Nya dengan rasa cemas dan ketakutan (perang) untuk membedakan siapa di antara mereka yang baik dan buruk. Dan hal itu akan tampak dari perbuatan yang mereka kerjakan.”(Tafsir al-Quran al-‘Adzim, Ibnu Katsir, 11/138)

#MerawatIngatan
#TadabburSirah

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *