Penjara Lebih Aku Sukai

Penjara Lebih Aku Sukai Daripada Yang Lainnya

Oleh: Ust. Abdus Shomad, S.Pd.I

Kehidupan yang dijalani oleh para Rasul dahulu tidaklah mudah, ia bukanlah jalan indah berbunga apalagi bergelarkan karpet merah, ia adalah jalan yang berliku tajam lagi terjal. Ujian yang ditemui pun tidak semudah manusia lainnya, bukan ujian biasa yang sekedar mengumpulkan keranjang nilai dan penghargaan, tapi lebih dari itu ia mengangkat derajat mereka yang lolos melewati ujian dengan gelar kekasih Allah, hamba yang dicintai-Nya.

Jalan ini penuh dengan kepahitan dan kesempitan, tidak ada tepuk tangan dan sorak sorai para pemuja. Bahkan diantara mereka ada yang berakhir tragis, dibunuh, dipersekusi, diusir dari negerinya hingga dimasukkan ke dalam kelamnya dinding penjara, setelah sebelumnya mengalami penyiksaan dan penghinaan, jiwa dan raga.

Allah Ta’ala berfirman;

وَإِذْ يَمْكُرُ بِكَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ لِيُثْبِتُوكَ أَوْ يَقْتُلُوكَ أَوْ يُخْرِجُوكَ ۚ وَيَمْكُرُونَ وَيَمْكُرُ ٱللَّهُ ۖ وَٱللَّهُ خَيْرُ ٱلْمَٰكِرِينَ 

Ingatlah -wahai Rasul- ketika orang-orang musyrik bersekongkol untuk menahanmu, membunuhmu, atau mengusirmu dari negerimu ke negeri lain. Mereka membuat tipu daya untuk mencelakakanmu, tetapi Allah membalas tipu daya mereka. Dan Allah adalah sebaik-baik pembalas tipu daya. (Qs. Al Anfal: 30)

Diriwayatkan bahwa Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallaahu ‘anhu bertanya: Wahai Rasulullah, Siapakah manusia yang paling keras ujiannya? Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

قَالَ: الأَنْبِيَاءُ، ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ، فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ، فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاؤُهُ، وَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِيَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ، فَمَا يَبْرَحُ الْبَلاءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِي عَلَى الأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ

Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda; Para nabi, kemudian yang semisalnya dan yang semisalnya, diuji seseorang sesuai dengan kadar agamanya, kalau kuat agamanya maka semakin keras ujiannya, kalau lemah agamanya maka diuji sesuai dengan kadar agamanya. Maka senantiasa seorang hamba diuji oleh Allah sehingga dia dibiarkan berjalan di atas permukaan bumi tanpa memiliki dosa.” (HR. At-Tirmidzy, Ibnu Majah, berkata Syeikh Al-Albany: Hasan Shahih)

Teladan Nabi Yusuf ‘alaihis salaam

Tapi ada kisah menarik yang Allah sampaikan dalam Al Qur’an saat mengisahkan tentang salah satu utusannya yang terkenal yaitu Nabi Yusuf  ‘alaihis salaam, ketika dihadapkan pada kondisi dimana ia bisa memilih antara diselamatkan Allah kemudian bebas seperti manusia biasa, atau dimasukkan penjara. Maka ia menjawab seperti ayat berikut;

قَالَ رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ ۖ 

“Yusuf berkata: “Wahai Rabbku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh”. (QS. Yusuf: 33)

Yusuf memilih untuk berada di penjara yang gelap, bau, terisolir, tersiksa dan hal-hal mengerikan lainnya untuk dihadapi daripada mengikuti ajakan mereka, yaitu wanita-wanita para penguasa negeri, untuk berzina. Yusuf diberikan pilihan oleh mereka, bersenang-senang atau hidup ‘hina’ dalam penjara, ternyata jawabannya di luar logika mereka, ia memilih penjara, mantap dan tegas, tanpa sedikitpun keraguan.

Pilihan yang diambil Yusuf sangat tidak umum, hitung-hitungan Yusuf tidak seperti manusia pada umumnya, dimana manusia banyak berhelah untuk menyelamatkan dirinya dari ‘kemudharatan’, atas nama maslahat atau darurat, Yusuf justru menyeburkan diri kedalam ‘kehinaan’ tersebut. Manusia lainnya tentu akan mengambil kesenangan atas dasar ‘keterpaksaan’, daripada mengambil resiko dihinakan manusia, dicaci maki, dijauhkan dari pergaulan serta tidak lagi diperdulikan keberadaannya, siapa yang sanggup?!!

Karena Mengikuti Perintah Allah

Kisah Nabi Yusuf di atas seakan mengada-ada dan perkara yang mustahil terjadi di tengah masyarakat hari ini, dimana hedonisme dan permisivisme menjadi budaya, yaitu setiap manusia bebas mencari kesenangan yang diinginkannya tanpa mengindahkan norma atau etika yang ada, atau sikap yang menghalalkan segala cara, semua hal boleh selama ‘tidak mengganggu’ privasi orang lain.

Tapi itulah fakta yang digambarkan Al Quran kepada kita, dan pilihan Yusuf ‘alaihis salam adalah pilihan iman. Begitu pula pilihan yang akan diambil oleh orang-orang yang beriman, landasannya adalah ketaatan kepada Allah. Keyakinan yang mantap bahwa apa saja yang Allah perintahkan, maka kerjakan walaupun dalam pandangan kita mungkin tidak baik. Atau setiap larangan yang Allah berikan maka tinggalkan, walaupun kesannya indah dan baik. Karena Allah Maha Tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya. Tugas kita hanya mengikuti perintah, sisanya Allah yang tentukan.

وَعَسَىٰ أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَن تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (Qs. Al Baqarah: 216)

Nabi Nuh, diperintahkan oleh Allah untuk membangun bahtera, tidak logis sebenarnya. Tapi beliau ikuti perintah, maka Allah selamatkan dari banjir bandang beserta seluruh pengikut setianya. Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam diperintah untuk menyembelih putra yang dicintainya, kesayangan yang lama dinanti kehadirannya, tapi beliau seorang hamba yang ditugaskan untuk menjalankan perintah. Maka Allah ganti persembahannya dengan yang terbaik dari sisi-Nya.

Allah perintahkan kepada ibunda Nabi Musa ‘alaihis salaam untuk melarungkan anaknya ke sungai, perasaan kasih seorang ibu muncul, sedih karena harus berpisah dengan bayinya, takut jika sang bayi ditemukan tentara fir’aun yang akan membunuhnya dan berat hati karena harus melepaskan buah hati yang baru saja dilahirkannya, tapi karena ia menjalankan apa yang diperintahkan oleh Allah, maka Allah bukan hanya mengembalikan Musa ke pangkuannya, tapi juga beserta fasilitas kerajaan didapatnya untuk membuat Musa tumbuh dengan baik.

Begitu pula Musa, diperintahkan untuk menyampaikan dakwahnya kepada Fir’aun dan pengikutnya. Perasaan takut dan khawatir menghantui Musa, manusiawi karena semua tahu bagaimana kejamnya Fir’aun kepada mereka yang bertentangan dengan dirinya, apatah lagi seorang bani israil, maka ancaman kematian dan pembunuhan selalu menantinya sepanjang. Tapi ia harus menyampaikan, karena itu perintah Allah. Apakah kemudian Musa mati ditangan Fir’aun? Haman? Tidak bahkan Firaun, Haman dan semua pasukan yang mengejar Musa binasa tenggelam kedalam lautan. Hanya dengan memukul tongkatnya ke batu, maka lautpun terbelah. Karena mengikuti perintah Allah.

Meminta Keteguhan Hati

Begitupun kita sebagai hamba, tidak diperintah kecuali untuk beribadah hanya kepada Allah semata, sebgaimana firman-Nya,

وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (Qs. Adz Dzariyat: 56)

Inilah hakikat penciptaan manusia, agar kita hanya menyembah Allah semata. Meminta, memohon pertolongan dan menggantungkan harap hanya kepada-Nya. Oleh sebab itu, menghadapi ujian dan fitnah yang berlaku di dunia, sepatutnya kita meminta kepada Allah keteguhan hati agar seberat apapun ujian dan fitnah yang menimpa, tidak memalingkan kita dari Allah Ta’ala, seburuk apapun pilihan hidup yang akan kita jalani, tidak membuat kita berburuk sangka kepadaNya.

Meminta kepada Allah agar membimbing kita untuk senantiasa berada diatas jalan kebenaran, walaupun aral melintang dan beratnya cobaan atau bahkan perihnya siksaan. Juga meminta agar dihindarkan dari tipu daya setan walau bentuknya kesenangan dan indahnya tampilan. Permintaan yang selalu kita lantunkan disetiap rakaat shalat kita, semoga Allah kabulkan.

ٱهْدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلْمُسْتَقِيمَ

Tunjukilah kami (Ya Allah) jalan yang lurus, tuntunlah kami ke sana, dan teguhkanlah kami di atasnya serta tambahkanlah hidayah bagi kami. Arti “aṣ-Ṣirāṭ al-Mustaqīm” adalah jalan yang terang serta tak berkelok, yaitu Islam yang Allah mengutus Muhammad -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- dengannya. (Qs. Al Fatihah: 6)

Wallaahu a’lam

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *