Pemuda Pemilik Cita-Cita

Pemuda Pemilik Cita-Cita

 

Pagi itu cuaca disekitar Ka’bah cerah. Sekelompok sahabat Rasulullah yang masih tersisa dan beberapa tokoh tabi’in tampak tengah berzikir. Sementara itu, di dekat rukun yamani, empat orang remaja duduk berbincang. Awalnya hanya ngobrol dan berbagi cerita, sampai salah seorang di antara mereka mengusulkan agar masing-masing mengemukakan cita-cita yang didambakan.

Mulailah Abdullah bin Zubair angkat bicara, “Cita-citaku menguasai seluruh Hijaz dan menjadi Khalifah.”

Gantilah saudaranya, Mus’ab bin Zubair, angkat bicara, “Aku ingin menguasai dua wilayah Irak dan tak ada yang merongrong kekuasaanku.”

“ Bila kalian berdua sudah merasa cukup dengan itu,” sambut Abdul Malik bin Marwah, “Aku tidak akan puas sebelum bisa menguasai seluruh dunia dan menjadi Khalifah setelah Muawiyah bin Abi Sufyan.”

Sementara itu Urwah bin Zubair hanya diam. Akhirnya tiga orang temannya itu mendekat. “Bagaimana denganmu Urwah, apa cita-citamu kelak?” penasaran mereka bertanya.

“Semoga Allah memberkahi semua cita-cita kalian. Aku ingin menjadi ‘alim sehingga orang akan belajar tentang Al-Qur’an, sunnah, dan hukum-hukum agama dariku. Lalu aku berhasil di akhirat dan masuk surga dengan ridha Allah.”

Memiliki cita-cita itu penting agar kita tahu jalan mana yang akan kita tapaki. Mau jadi apa kita. Sumbangsih apa yang akan kita berikan bagi agama. Atau setidaknya kita menjadi berguna bagi lingkungan kita sehingga keberadaan kita tak hanya sekedar meramaikan dunia.

Mengikrarkan cita-cita juga penting agar kelak ada yang mengingatkan saat kita berhenti, saat kita mulai lelah, atau saat kita salah mengambil arah. Sebab jalan menuju cita-cita tak selamanya lempang. Terkadang harus melewati terjalnya rintangan dan memecah besarnya gelombang kesulitan.

Bukan, sama sekali saya tidak bermaksud menakut-nakuti karena saya yakin anda punya semangat seperti Ibnu Afra, anda memiliki kepandaian sekelas Umair. Saya hanya mengingatkan agar kelak cita-cita kita  terantuk karang kesulitan kita tak berhenti. Tak apalah berhenti sejenak untuk mengobati luka dan sedikit mengambil napas umtuk meneruskan perjalanan. Tapi bukan untuk berhenti untuk berputus asa dan mengubah jalan sambil bersungut, “Ternyata ini bukan yang terbaik. Tak pantas saya memiliki cita-cita ini.” bahkan tak jarang rintangan untuk sebuah cita-cita itu hadir di awal sebelum kita melangkah. “Mana mungkin mas saya jadi dokter, ibu saya hanya buruh cuci,” kata seorang siswa.

Padanya saya kisahkan cerita Muhammad. Seorang kuli pasar yang menjadi Khalifah di zaman Umayah.

Ah, mana mungkin? Ya, seolah tak mungkin. Bahkan hanya kita yang meragukan, bahkan teman terdekatnya pun ragu.

Ya, Allah Maha sanggup untuk berbuat apapun. Tak perlu merisaukan besarnya aral yang bakal menghadang karena kita punya Allah yang mahabesar. Ada yang berkata, bila menemui masalah, jangan katakana, “Ya Allah saya punya masalah besar.” Tapi katakanlah, “ Wahai masalah, saya punya Allah yang Maha Besar.”

Langkah selanjutnya setelah bercita-cita adalah berbuat. Take action, ambil jalan yang akan menuju pada cita-cita kita. Membuang rasa tak bisa dan mengambil jalan ke sana. Dan perlu diingat, sebuah cita-cita yang berada harus ditempuh dengan jalan yang berbeda pula.

Setelah mengikrarkan cita-citanya Urwah bin Zubair tak tinggal diam. Ia ketuk pintu rumah sahabat Nabi yang masih tersisa. Ia utarakan maksudnya untuk belajar ilmu agama. Ia datangi majelis mereka, shalat di belakang mereka. Pada gilirannya nanti, beliau berhasil menjadi satu di antara Fuqaha Sab’ah, tujuh ahli fikih Madina yang menjadi sandaran kaum muslimin dalam urusan agama.

(majalah ar risalah rubrik fityan: 08)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *