Pemimpin Yang Qana’ah
فَلَمَّا جَاءَ سُلَيْمَانَ قَالَ أَتُمِدُّونَنِ بِمَالٍ فَمَا آتَانِيَ اللَّهُ خَيْرٌ مِمَّا آتَاكُمْ بَلْ أَنْتُمْ بِهَدِيَّتِكُمْ تَفْرَحُونَ
“Maka tatkala utusan itu sampai kepada Sulaiman, Sulaiman berkata: “Apakah kamu ingin memberikan kepadaku harta? maka apa yang diberikan Allah kepadaku lebih baik daripada apa yang diberikan-Nya kepadamu; tetapi kamu merasa bangga dengan hadiahmu.” (Qs. An-Naml: 36)
Pelajaran dari ayat di atas:
Pelajaran Pertama: Tidak Terpengaruh dengan Harta
(قَالَ أَتُمِدُّونَنِ بِمَالٍ)
“Sulaiman berkata: “Apakah kamu mau memberikan kepadaku harta?”
(1). Seorang pemimpin hendaknya tetap istiqamah pada prinsip dan ideologi yang ia pegang, tidak terpengaruh dengan bujukan, iming-iming harta, wanita dan tahta. Nabi Sulaiman ditawari hadiah yang begitu banyak dan melimpah serta tidak ternilai harganya dari Ratu Bilqis, dengan harapan beliau tidak menyerang kerajaan Saba’ dan tidak meneruskan usahanya untuk mendakwahi Ratu Bilqis. Tetapi tawaran tersebut ditolaknya, karena menyangkut prinsip yang dia pegang selama ini. Inilah tipe pemimpin yang dirindukan hari ini.
(2) Dibolehkan seorang pemimpin atau pejabat mempunyai harta yang banyak dari sumber yang halal, atau menaikkan gaji pegawai (remunerasi) dengan tujuan agar tidak mudah terpengaruh dengan suap. Hal ini penting, karena korupsi, manipulasi, suap dan gratifikasi dalam lingkungan kepegawaian, salah satunya disebabkan karena merasa kurang cukup dengan gaji yang ada. Dengan ditingkatkan kesejahteraan mereka, diharapkan bisa mengurangi budaya korupsi yang akan merusak sendi-sendi bangsa.
Pelajaran Kedua: Merasa Cukup dengan Rezeki Allah
(فَمَا آتَانِيَ اللَّهُ خَيْرٌ مِمَّا آتَاكُمْ)
“Maka apa yang diberikan Allah kepadaku lebih baik daripada apa yang diberikan-Nya kepadamu”
(1). Ayat di atas menunjukkan bahwa seorang pemimpin hendaknya merasa cukup (qana’ah) dengan rezeki Allah yang diterimanya, walaupun sedikit. Al-Mawardi (450 H ) di dalam kitab Adabu ad-Dunya wa ad-Din (1/12) menyebutkan :
قَلِيلٌ يَكْفِي خَيْرٌ مِنْ كَثِيرٍ يُطْغِي .
“Sedikit yang mencukupi, lebih baik dari banyak yang berlebihan. “
Dalam riwayat lain disebutkan,
قليل يكفي خير من كثير يلهي
“Sedikit yang mencukupi, lebih baik dari banyak yang melengahkan.”
(2). Ayat di atas juga menunjukkan bahwa seorang pemimpin harus mempunyai aqidah yang kuat, harus menyakini bahwa Allah adalah ar-Rozaq (Maha Pemberi Rezeki), sehingga tidak pernah khawatir kehabisan rezeki, tidak khawatir kehabisan makanan, sebagaimana dia tidak khawatir kehabisan tanah kuburan jika dia mati. Imam Syafi’i pernah berkata :
أمطري لؤلؤاًجبالَ سرنديـ ـبَ وَفِيضي آبارَ تبريز تِبْرَا
أَنَا إنْ عِشْتُ لَسْتُ أعْدَمُ قُوتاً وَإذا متّ لَسْتُ أعْدَمُ قَبْرَا
همتي همَّة الملوكِ ونفسي نَفْسُ حُرٍّ تَرَى الْمَذَلَّة َ كُفْرَا
وإذا ما قنعتُ بالقوتِ عمري فَلِمَاذَا أهابُ زَيْداً وَعَمْرَا
“Wahai gunung-gunung Sarnadib hujanlah dengan permata, dan wahai sumur-sumur Tibriz semburkan emas
“Saya, jika hidup, tidak akan kehabisan makanan, dan jika saya mati, tidak kehabisan tanah kuburan.”
“Jika saya sudah qana’ah dengan rezeki (yang Allah berikan) dalam hidup saya, kenapa saya harus takut dengan Zaid dan Amr.”
(3) Sifat Qana’ah para pemimpin dan pejabat akan menyelamatkan Negara dari kehancuran. Penjualan aset-aset Negara kepada asing dan aseng oleh asong, serta banyaknya korupsi adalah dampak dari jiwa yang tidak qana’ah dan tidak pernah kenyang dengan harta dunia. Maka, kita diperintahkan untuk selalu berdo’a sebagaimana dalam hadits Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu,
اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُبِكَ مِنْ عِلْمٍ لَا يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لَا يَخْشَعُ وَمِنْ نَفْسٍ لَا تَشْبَعُ وَمِنْ دَعْوَةٍ لَا يُسْتَجَابُ لَهَا
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyuk, jiwa yang tidak merasa kenyang (puas), dan dari doa yang tidak dikabulkan.” (HR. Muslim)
Wallahu A’lam