Pelajaran Politik Musa as vs Firaun (2); Misi Ideologi Sebelum Misi Sosial
وَقَالَ مُوسَىٰ يَا فِرْعَوْنُ إِنِّي رَسُولٌ مِّن رَّبِّ الْعَالَمِينَ (104)حَقِيقٌ عَلَىٰ أَن لَّا أَقُولَ عَلَى اللَّهِ إِلَّا الْحَقَّ ۚ قَدْ جِئْتُكُم بِبَيِّنَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ فَأَرْسِلْ مَعِيَ بَنِي إِسْرَائِيلَ (105)
Musa berkata: Wahai Firaun, aku adalah utusan dari Penguasa Semesta. (104) aku niscaya hanya akan bicara benar atas nama Allah. Aku punya bukti kebenaran ucapanku yang bisa aku tunjukkan kepadamu. Maka lepaskan bani Israil (dari perbudakanmu) agar bisa bersamaku.
(QS. al-a’raf: 104-105)
Diplomasi yang diperagakan Musa as menarik dijadikan pelajaran. Musa as berhadapan dengan tiran yang sedang berada di puncak kekuatan, kerusakan ideologi dan kezaliman sosial. Datang untuk menggugat ideologi dan kezalimannya. Misi yang sangat berat.
Meski demikian, diplomasi tetap ditunaikan dengan urutan yang benar, tak mengalami pembelokan akibat takut terhadap Firaun. Atau karena mencari dukungan publik.
Musa as mengawalinya dengan penegasan posisi ideologis sebagai pengemban amanat dari Allah, Tuhan Semesta Alam di hadapan raja yang mengklaim tuhan. Permulaan yang naif, menurut politisi zaman sekarang. Isu tauhid sama sekali tidak seksi sebagai bahan diplomasi. Akan lebih seksi mengangkat misi kedua, sisi kezaliman Firaun terhadap rakyat.
Pertama, diplomasi ideologi. Pernyataan Musa: aku adalah utusan dari Penguasa Semesta, merupakan penegasan posisi yang jelas, tanpa kabut. Ucapan itu menempatkan ideologi Firaun kontradiktif dengan ideologi Musa as. Sebuah narasi konfrontasi yang nyata.
Dalam realita kekinian, berarti sistem kufur yang dianut negara harus menjadi medan konfrontasi pertama. Konfrontasinya juga mesti jelas, tak mengandung bias. Islam vs kufur. Siyasah syar’iyyah vs demokrasi. Hukum Allah vs hukum manusia. Islamisme vs nasionalisme jahiliyah. Ekonomi halal vs ekonomi riba. Dan seterusnya.
Kedua, diplomasi sosial. Kezaliman Firaun digugat. Bani Israil yang diperbudak dan mengalami genosida, diminta untuk dibebaskan agar bisa mencari tempat aman di luar Mesir.
Dalam realita kekinian, perwajahan diplomasi ini bisa berupa pembelaan terhadap ketimpangan kekayaan, kemiskinan struktural, korupsi, kongkalikong pengusaha dan aparat, dan seterusnya.
Umumnya aktifis Islam masih melakukannya secara terbalik. Aspek kezaliman penguasa yang dibidik duluan, baru narasi ideologi disampaikan. Itupun cenderung tersamar, tak begitu jelas.
Bahkan ada yang sudah lepas sama sekali dari misi menggugat kemapanan ideologi. Baginya demokrasi sudah final. Hukum yang ada sudah bagus. Yang diperlukan hanya penegakan supremasi hukumnya. Ini namanya muslim yang buta arah perjalanan.
Maka politik Islam sudah semestinya kembali kepada teladan nabi kita Musa as. Kisah abadi yang harus diaktualkan dalam dinamika politik modern. Serang ideologi kufur, baru kemudian gugat ketimpangan sosial. Atau lakukan secara simultan. Hal yang pasti, jangan diam dari menggugat sistem kufur, hanya sibuk urusan sosial.
Sebagai pembanding, Nabi Muhammad saw fokus membidik ideologi jahiliyah semasa di Makkah. Isu sosial hanya menjadi konsekwensi logis dari jahiliyah. Wallahua’lam.
sumber: telegram.me/islamulia