Panduan Takbiran di Dua Hari Raya (Idul Fithri dan Idul Adlha)

Oleh: Abu Athif, Lc. –غفر الله له ولواديه-

Kebahagiaan dan kegembiraan merupakan suasana hati yang diinginkan setiap hamba. Islam sebagai agama yang sempurna dan paripurna hadir untuk membawa kebahagiaan serta kesejukan dalam hidup manusia di akhirat dan juga di alam dunia. Sebagaimana yang Allah firmankan:

﴿ يَاأَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ (57) قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ (58) ﴾ -( يونس: 57-58 )-

Artinya: “Wahai sekalian manusia telah datang dari Tuhan kalian kepada kalian pelajaran, obat penawar untuk (penyakit-penyakit) di dalam dada, petunjuk dan kasih sayang bagi orang-orang beriman. (maka) katakanlah (wahai Muhammad): dengan karunia dan rahmat Allah sajalah maka dengan itulah hendaknya mereka bergembira, (petunjuk) itulah lebih baik dari pada apa yang mereka kumpulkan”. [QS. Yunus: 57-58]

Kebahagiaan dan kegembiraan seorang muslim senantiasa terkait dengan karunia berupa petunjuk iman dan islam. hal itu ditandai dengan keberhasilan menyelesaikan suatu amalan yang dipersembahkan untuk Allah ﷻ maka di sinilah arti puncak kebahagiaan dan kegembiraan seorang muslim.

Salah satu kesempurnaan syariat Islam adalah hadirnya hari raya. Hari raya merupakan waktu yang diperbolehkan untuk mengekspresikan keceriaan dan suka cita. Setiap umat memiliki hari raya. Hari raya untuk umat Islam adalah idul fithri dan idul adlha. Kedua hari tersebut merupakan pilihan Allah ﷻ untuk para hamba-Nya yang beriman. Sebagaimana yang telah dijelaskan sendiri oleh Nabi Muhammad ﷺ dalam salah satu haditsnya:

عن أنسٍ قالَ : قدمَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ المدينةَ ولَهم يومانِ يلعبونَ فيهما فقالَ ما هذانِ اليومانِ قالوا كنَّا نلعبُ فيهما في الجاهليَّةِ فقالَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ إنَّ اللَّهَ قد أبدلَكم بِهما خيرًا منهما يومَ الأضحى ويومَ الفطرِ (رواه أبو داود)

Artinya: Dari Anas, ia berkata: saat  Rasulullah ﷺ telah tiba di Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari raya yang mereka gunakan bermain. Lalu beliau bertanya: “Dua hari apa ini?” mereka menjawab: “Kami sudah terbiasa bermain di kedua hari ini di masa jahiliyah”. Lalu Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menggantikan untuk kalian dua hari raya yang lebih dari pada keduanya yaitu hari idul fithri dan idul adlha”. [HR. Abu Dawud].

Dipilihnya kedua hari raya tersebut karena berkaitan erat dengan penunaian ibadah agung yang merupakan rukun Islam yaitu ibadah puasa Ramadhan dan Haji. Di kedua hari raya itulah Allah mengampuni orang yang menjalankan puasa dan haji serta menebar kasih sayang-Nya untuk para hamba-Nya. Di sinilah perbedaan yang tampak antara hari raya kaum muslimin dengan hari raya kaum kafirin. Hari raya kaum kafirin didasarkan pada hawa nafsu. Sementara hari raya kaum muslimin berkaitan erat dengan ibadah kepada Allah ﷻ.

Dalam merayakan hari raya idul fitrhi dan idul adlha bukan berarti boleh melakukan apa saja sesuka hati. Namun semua ada aturannya. Suka cita dan kegembiraan haruslah berada dalam koridor ibadah. Sebagaimana ketika duka cita menerpa maka di sana ada aturan syariat yang menjaga diri seorang hamba dari perbuatan yang berlebihan dan melampaui batas. Di antara aturan dan adab penting yang diajarkan oleh Nabi saat meluapkan kegembiraan di hari raya adalah memperbanyak bacaan takbir.

Saat hari raya tiba, kaum muslimin di seluruh dunia mengumandangkan takbir, tak ketinggalan pula kaum muslimin yang ada di Indonesia. Di Indonesia mengumandangkan lafadz takbir di hari raya idul fithri dan idul adlha diistilahkan dengan takbiran. Gegap gempita takbiran menyelimuti tiap sudut kota hingga desa. Dari masjid dan mushola hingga takbiran keliling di jalanan pun juga digelar. Semua larut dan hanyut dalam suka cita takbiran.

Seiring dengan perjalanan waktu, penulis mendapati ada beberapa hal yang kurang sesuai dengan tuntunan syariat Islam dalam mengumandakan takbir di saat hari raya tiba. Salah satu contoh yang penulis dapatkan adalah masih berlangsungnya gema takbir di sebagian masjid pada hari kedua syawal. Sementara di tempat dan kesempatan lain tidak ada gema takbir dalam rangkaian hari tasyriq di bulan Dzulhijjah. Ada pula yang mengumandangkan gema takbir dengan iringan music, sehingga yang terjadi adalah hilangnya suasana khusyu’ dan bahkan lebih mendekati pada pelecehan terhadap kalimat takbir itu sendiri. –الله المستعان-.

Berangkat dari permasalahan inilah penulis mencoba menghadirkan tulisan sederhana yang membahas seputar hukum, waktu, lafadz dan adab-adab dalam takbiran. Semoga tulisan sederhana ini bisa menjadi pengingat bagi kaum muslimin untuk senantiasa menjaga syiar-syiar Islam sesuai dengan tuntunan yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ. Sekaligus sebagai upaya menjaga asholah (keotentikan) ilmu dan amal seperti yang telah diajarkan oleh para ulama ahlus sunnah dari generasi ke generasi.

Hukum Kumandang Takbir

Hukum kumandang takbir di dua hari raya (idul fithri dan idul adlha) adalah sunnah. Untuk takbir di hari raya idul fithri didasarkan pada firman Allah ﷻ :

﴿وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ۝﴾ -(البقرة: ۱۸٥)-

Artinya: Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. [QS. Al Baqoroh: ayat 185]

Sementara perintah takbir di waktu idul adlha didasarkan pada firman Allah ﷻ:

﴿لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ۝﴾  -(الحج: ٢۸)-

Artinya: Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir. [QS. Al Hajj: ayat 28]

Didasarkan pula pada hadits Nabi Muhammad ﷺ:

عن نافع ، عن عبد الله بن عمر أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ كَانَ يَخْرُجُ فِي الْعِيْدَيْنِ مَعَ الفَضْلِ بْنِ عَبَّاسٍ ، وَعَبْدِ اللهِ ، وَالعَبَّاسِ ، وَعَلِيٍّ ، وَجَعْفَرَ ، وَالْحَسَنِ ، وَالْحُسَيْنِ ، وَأُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ ، وَزَيْدِ بْنِ حَارِثَةَ ، وَأَيْمَنِ ابنِ أُمِّ أَيْمَن – رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ – رَافِعًا صَوْتَهُ بِالتَّهْلِيْلِ وَالَّتكْبِيْرِ ، فَيَأْخُذُ طَرِيْقَ الحَدَّادِيْنِ حَتَّى يَأتِيَ الْمُصَلَّى ، وَإِذَا فَرَغَ رَجَعَ عَلَى الحَذَّائِيْنَ حَتَّى يَأْتِيَ مَنْزِلَهُ (رواه البيهقي في السنن الكبرى)

Artinya: Dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah  keluar di dua hari raya (idul fithri dan idul adlha) bersama Fadhl bin Abbas, Abdullah, Abbas, ‘Ali, Ja’far, Hasan, Husain, Usamah bin Zaid, Zaid bin Haritsah, Aiman bin Ummi Aiman –semoga Allah meridhoi semuanya- dengan meninggikan suara tahlil dan takbir, lalu beliau mengambil jalannya orang-orang yang mengambil buah hingga sampai tiba di tempat sholat id, dan apabila telah usai (dari pelaksanaan sholat id) beliau langsung bergegas seperti orang-orang yang mempercepat jalannya hingga tiba di rumah beliau. [HR. al Baihaqi dalam Al Sunan al Kubro]

Lafadz Takbir

Para ulama menjelaskan bahwa lafadz (shighoh) takbir memiliki banyak varian dan tidak dibatasi pada satu bentuk shighoh saja. Hal ini didasarkan pada keumuman firman Allah :

﴿وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ۝﴾ -(البقرة: ۱۸٥)-

Artinya: Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. [QS. Al Baqoroh: ayat 185]

Dari keumuman ayat tersebut dan juga didasarkan dari beberapa periwayatan dari para sahabat Nabi –ridlwanulloh ‘alaihim– para ulama menjelaskan bahwa lafadz (shighoh) takbir yang dikumandangkan di dua hari raya (idul fithri dan idul adlha) terdiri dari lafadhz takbir, tahlil dan tahmid.

Adapun lafadz takbir yang masyru’ dan sering diperdengarkan serta diakui oleh semua madzhab fiqh adalah sebagai berikut:

اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، لَا إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، وَلـِــلّهِ الْحَمْدُ

Artinya: Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali hanya Allah, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, dan Hanya untuk Allah segala pujian.

Dalam riwayat lain yang dinisbahkan kepada atsar Abdullah bin Mas’ud bacaan takbirnya diulang dua kali. Bacaan takbirnya sebagai berikut:

االلهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، لَا إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، وَلـِــلّهِ الْحَمْدُ

Periwayatan lain juga didapatkan dari Abdullah bin Abbas dengan lafadz sebagai berikut:

اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ، اللهُ أَكْبَرُ وَأَجَلُّ، اللهُ أَكْبَرُ عَلَى مَا هَدَانَا

Artinya: Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar dan hanya bagi Allah segala pujian, Allah Maha Besar dan Maha Agung, Allah Maha Besar yang telah memberikan petunjuk kepada kita.

Diperbolehkan pula menggunakan tambahan lafadz takbir  setelah tiga kali takbir dengan lafadz sebagai berikut:

اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا، وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا، وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً، لَا إِلَهَ إِلَّا اللُه وَلاَ نَعْبُدُ إِلَّا ِإيَّاهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ، وَنَصَرَ عَبْدَهُ، وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ، لَا ِإِلَهَ إِلَّا اللُه وَاللهُ أَكْبَرُ

Artinya: Allah Maha Besar, dan segala pujian yang banyak hanya milik Allah, Maha Suci Allah di waktu pagi dan sore hari, tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali hanya Allah, kita tidak beribadah kecuali hanya kepada-Nya sebagai orang-orang yang memurnikan agama hanya untuk-Nya meskipun orang-orang kafir membenci, tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali hanya Allah semata, Dia-lah yang Menepati janji-Nya, Menolong hamba-Nya, Menghancurkan pasukan ahzab dengan Diri-Nya Sendiri, tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali hanya Allah, dan Allah Maha Besar.

Waktu takbir

Di antara perkara penting dalam dzikir dan doa adalah mengetahui waktu kapan dibacanya. Karena dalam ibadah dzikir dan doa ada yang sifatnya muthlaq yaitu tidak terikat oleh suatu waktu dan kondisi tertentu. Dan ada juga yang bersifat muqoyyad yaitu terikat oleh waktu dan kondisi tertentu. Adapun dzikir berupa takbir, tahlil dan tahmid yang secara khusus dikumandangkan di hari raya adalah bagian dari dzikir muqoyyad. Maknanya bacaan takbir (takbiran.red) dikaitkan dengan adanya hari raya idul fithri dan idul adlha.

Para ulama sepakat bahwa mengumandangkan gema takbir sebagai tanda masuknya hari raya dimulai sejak terbenanmnya matahari (waktu maghrib) di akhir bulan Ramadhan untuk hari raya idul Fithri, dan ketika terbenamnya matahari yang menjadi pertanda berakhirnya tanggal 9 Dzulhijjah dan masuknya tanggal 10 Dzulhijjah. Amalan ini merujuk pada firman Allah ﷻ:

﴿وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ۝﴾ -(البقرة: ۱۸٥)-

Artinya: Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. [QS. Al Baqoroh: ayat 185]

Para ulama membagi waktu untuk menggemakan dan mensyiarkan takbir, tahlil dan tahmid menjadi dua waktu; secara muthlaq dan muqoyyad. Maksud dari istilah takbir muthlaq adalah mengumandangkan takbir yang tidak terikat oleh kondisi tertentu. Misalnya mengumandangkan takbir di jalan, rumah, masjid dan tempat lain di waktu pagi hari maupun malam hari. Adapun maksud dari takbir muqoyyad adalah mengumandangkan takbir setelah sholat fardhu.

Untuk hari raya idul fithri waktu mengumandangkan takbir secara muthlaqnya adalah dimulai sejak terbenamya matahari di akhir bulan Ramadhan dan berakhir ketika Imam sholat Id telah mengucapkan takbirotul ihrom.

Sementara untuk hari raya idul adlha, takbir secara muthlaqnya dimulai sejak terbenamnya matahari di tanggal 9 Dzulhijjah atau malam tanggal 10 Dzulhijjah. Berakhir waktu kumandang takbir secara muthlaqnya sampai akhir hari tasyriq yaitu tanggal 13 Dzulhijjah.

Para ulama juga membolehkan mengumandangkan lafadz takbir, tahlil dan tahmid secara muthlaq dan sendirian dimulai sejak awal bulan Dzulhijjah hingga akhir hari tayriq tanggal 13 Dzulhijjah. Hal ini didasarkan pada atsar Abdulloh bin Umar dan Abu Huroirah yang keluar ke pasar di sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dan mereka berdua mengumandangkan takbir lalu diikuti oleh manusia yang ada di sekitarnya.

Adapun takbir secara muqoyyad untuk hari raya idul fithri para ulama berbeda pendapat. Sebagian dari mereka berpendapat tidak dituntunkan. Sebagian lain membolehkannya dengan alasan diqiyaskan pada takbir muqoyyad yang dilaksanakan pada hari raya idul adlha. Dari pendapat yang membolehkan ini, maka takbir secara muqoyyad di hari raya idul fithri hanya dikumandangkan setelah pelaksanaan di tiga waktu sholat saja yaitu; maghrib, isya’ dan shubuh. Adapun setelah sholat idul fithri maka para ulama sepakat tidak diperkenankan mengumandangkan lafadz takbiran.

Sedangkan takbir muqoyyad di hari raya idul adlha bagi kaum muslimin yang tidak sedang menunaikan ibadah haji menurut pendapat yang masyhur dari Imam Asy Syafi’I –رحمه الله- adalah dimulai sejak setelah sholat Dzuhur di tanggal 10 Dzulhijjah dan berakhir hingga shubuh akhir hari tasyriq. Sebagian ulama membolehkan takbir muqoyyad sejak malam idul adlha setelah sholat maghrib hingga setelah sholat shubuh akhir hari tasyriq di tanggal 13 Dzulhijjah. Pendapat yang lain juga membolehkan takbir muqoyyad dimulai sejak subuh tanggal 9 Dzulhijjah dan berakhir di waktu ashar tanggal 13 Dzulhijjah.

Adapun kaum muslimin yang sedang menunaikan haji maka takbir muqoyyadnya dimulai dari setelah sholat Dzuhur tanggal 10 Dzulhijjah dan berakhir pada shubuh hari terakhir tasyriq atau pada tanggal 13 Dzulhijjah. Tuntunan waktu takbir bagi jama’ah haji seperti ini tidak ada perbedaan di antara para ulama di dalamnya.

Adab-adab dalam bertakbir

Kumandang takbir di dua hari raya merupakan bagian bacaan dzikir. Tentu saja dalam melantunkannya terdapat adab-adab yang harus diperhatikan oleh seluruh kaum muslimin. Di antara adab-adab penting dalam mengumandangkan takbir adalah sebagai berikut:

  1. Ikhlas untuk Allah.
  2. Membaca bacaan takbir harus dengan lafadz bahasa arab. Tidak diperbolehkan kumandang takbir dengan bahasa terjemahan.
  3. Menghadirkan kekhusyukan dalam mengumandangkan takbir.
  4. Tidak diperkenankan diiringi dengan musik.
  5. Disunnahkan untuk mengeraskan suara ketika takbir bagi laki-laki. Bagi perempuan cukup sampai didengarkan oleh diri sendiri.
  6. Melantunkan takbir tidak boleh seperti mendendangkan lagu.
  7. Lebih dianjurkan untuk bertakbir dalam kondisi telah bersuci. Namun jika tidak dalam kondisi thoharoh tidak mengapa.
  8. Lebih dianjurkan untuk memperbanyak takbir secara sendiri-sendiri baik dalam waktu muthlaq maupun muqoyyad. Diperbolehkan pula untuk bertakbir secara berjama’ah.

Penutup

Demikian tulisan sederhana tekait panduan takbir di dua hari raya. Semoga bisa bermanfaat dan mudah difahami oleh semua kalangan dari kaum muslimin. Harapan ke depannya agar setiap ibadah yang kita kerjakan harus disesuaikan dengan tuntunan syariat Islam yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad ﷺ selaku teladan dan panutan kaum muslimin.

Tiada gading yang tak retak. Tentunya dalam tulisan yang sederhana ini masih banyak kekurangan dan kesalahan. Penulis mohon saran dan masukan dari para pembaca. Semua yang benar adalah datang dari Allah ﷻ.

Tidak lupa pula kita berdoa memohon kepada Allah agar diberikan taufiq dan hidayah agar kita semua istiqomah di atas iman dan islam hingga akhir hayat nanti.

والله أعلم بالصواب، وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وأصحابه وسلم.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *