Panduan Praktis Fiqh Qurban

Oleh: Abu Athif, Lc –غفر الله له ولوالديه-

Segala puji bagi Ar Rohman yang telah mensyari’atkan qurban, sebagai tanda kebesaran-Nya atas seluruh alam. Sholawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada Khotamin Nabiyyin wal Mursalin Muhammad ﷺ, beserta keluarganya, para sahabatnya dan para pengikutnya hingga hari akhir nanti.

Qurban ataupun disebut juga sebagai udlhiyyah merupakan salah satu syi’ar Islam yang agung. Bagi seorang hamba beriman menunaikan qurban adalah upaya membuktikan iman dan cinta kepada Ar Rohman. Motivasi ini hadir dalam diri seorang mukmin karena didasarkan pada keimanannya pada hadits Nabi ﷺ:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ﷺ قَالَ: ((مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ مِنْ عَمَلِ يَوْمِ النَّحْرِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ، إِنَّهَا لَتَأْتِيْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُوْنِهَا وَأَشْعَارِهَا وَأَظْلاَفِهَا، وَأَنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنَ اللهِ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ مِنَ الْأَرْضِ، فَطِيْبُوا بِهَا نَفْسًا)) –رواه الترمذي-

Artinya: Dari ‘Aisyah –semoga Allah meridhoinya- bahwa Rasulullah  bersabda: “Tidak ada satu amalan yang dikerjakan oleh seorang manusia di hari penyembelihan (hewan qurban) yang lebih dicintai oleh Allah melebihi dari mengalirkan darah (hewan qurban), sesungguhnya besok pada hari kiamat hewan sembelihannya akan datang dengan tanduknya, bulunya dan kuku-kukunya, sesungguhnya darahnya telah sampai (pahalanya) di sisi Allah sebelum jatuh ke tanah maka jiwanya menjadi baik”. [HR. Tirmidzi]

Berawal dari harapan menggapai cinta Ar Rohman, seorang mukmin tertuntut untuk melakukan amalan qurban yang sesuai dengan apa yang disyari’atkan dalam Islam. Karena hakikat dari ibadah qurban bukan penyerahan daging dan darah namun sejatinya adalah sikap ketaqwaan dan ketundukan kepada Allah ﷻ sebagaimana yang disebutkan dalam Al Quran :

﴿لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ۝﴾ -الحج: 37-

Artinya: “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik”. [QS. Al Hajj: ayat 37]

Berangkat dari kesadaran untuk mempersembahkan amalan terbaik kepada Allah ﷻ, seorang mukmin harus memperhatikan syarat dan ketentuan suatu amalan ibadah. Keikhlasan dan bersesuaian dengan tuntunan syari’at Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ adalah syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam setiap amal ibadah. Upaya untuk merealisasikan dua hal tersebut tentunya harus dengan bimbingan ilmu dari para ulama.

Tulisan sederhana ini hadir sebagai upaya kecil membantu kaum muslimin untuk lebih mudah memahami dan melaksanakan ibadah penyembelihan hewan qurban. Penulis berupaya untuk menghadirkan panduan praktis yang tetap mengacu pada dalil-dalil shohih dan penjelasan para ulama. Penulis sangat menyadari bahwa panduan praktis ini masih jauh dari yang diharapkan dan juga masih banyak kekurangan. Saran dan masukan dari para pembaca sangat diharapkan.

Akhirnya hanya kepada Allah semata kita berharap dan bermunajat agar Allah menerima setiap amal ibadah kita dan menjadikannya pemberat timbangan kebaikan kita di hari akhirat nanti. اللهم آمين

Keutamaan Ibadah Qurban

Setiap amal ibadah yang diperintahkan oleh Allah ﷻ kepada para hambanya senantiasa diiringi dengan kabar janji kebaikan dan keutamaan di dalamnya. Tentunya hadirnya kedua perkara ini bertujuan memotivasi para hamba untuk siap sedia menjalankan perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.

Tidak terkecuali ibadah qurban. Amalan ini adalah syiar Allah ﷻ yang agung dan mulia. Di dalamnya terdapat banyak hikmah dan ibroh serta kemuliaan yang akan didapatkan bagi hamba beriman.

Di antara hikmah dan ibroh utama dari ibadah qurban ini adalah sebagai penyeleksi setiap hamba dalam perkara taqwa. Hal ini disebutkan dalam firman Allah ﷻ:

﴿وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ آدَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْآخَرِ قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ۝﴾ -المائدة: 27-

Artinya: “Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu!”. Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa”. [QS. Al Maidah: 27]

Ibadah penyembelihan hewan qurban juga menjadi wasilah penting dalam upaya mendapatkan cinta Allah ﷻ. Keutamaan ini disebutkan oleh Nabi ﷺ dalam haditsnya :

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ﷺ قَالَ: ((مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ مِنْ عَمَلِ يَوْمِ النَّحْرِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ، إِنَّهَا لَتَأْتِيْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُوْنِهَا وَأَشْعَارِهَا وَأَظْلاَفِهَا، وَأَنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنَ اللهِ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ مِنَ الْأَرْضِ، فَطِيْبُوا بِهَا نَفْسًا)) –رواه الترمذي-

Artinya: Dari ‘Aisyah –semoga Allah meridhoinya- bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak ada satu amalan yang dikerjakan oleh seorang manusia di hari penyembelihan (hewan qurban) yang lebih dicintai oleh Allah melebihi dari mengalirkan darah (hewan qurban), sesungguhnya besok pada hari kiamat hewan sembelihannya akan datang dengan tanduknya, bulunya dan kuku-kukunya, sesungguhnya darahnya telah sampai (pahalanya) di sisi Allah sebelum jatuh ke tanah maka jiwanya menjadi baik”. [HR. Tirmidzi]

Yuk Dukung
Qurban Penjuru Negeri 1443 H

Definisi Qurban dan Udlhiyyah

Qurban secara bahasa adalah segala perkara yang ditujukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah dari penyembelihan hewan dan perkara lainnya.

Adapun secara istilah syar’i adalah penyembelihan hewan tertentu dengan niat mendekatkan diri kepada Allah di waktu yang telah ditentukan.

Dalam kajian kitab fiqh ibadah qurban sering disebut juga dengan istilah Udlhiyyah. Secara bahasa kata udlhiyyah berasal dari kata ضَحَّى yang artinya menyembelih di waktu dluha dan di hari ‘Iedul Adlha. Sedangkan kata الأُضْحِيَّةُ bermakna domba atau sejenisnya yang disembelih di hari ‘Iedul Adlha.

Hukum Qurban

Berqurban ataupun udlhiyyah merupakan ibadah agung yang disyaratkan dalam Islam. Syari’at ini didasarkan pada firman Allah ﷻ:

﴿فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ ۝﴾

Artinya: “Maka sholatlah untuk Robbmu dan sembelihlah (hewan qurban)”. [QS. Al Kautsar: 2]

﴿وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ كَذَلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ۝﴾

Artinya: “Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi’ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan untua-unta itu kepada kamu,agar kalian bersyukur”. [QS. Al Hajj: 36]

Penyembelihan hewan yang diniatkan untuk qurban dalam Islam hanya ada tiga macam, yaitu: hadyu (penyembelihan hewan dalam manasik haji), udlhiyyah dan aqiqoh. Selain dari tiga macam ini maka penyembelihan jenis hewan yang halal untuk kebutuhan manusia hukumnya mubah. Adapun penyembelihan dengan niat qurban untuk selain kepada Allah ﷻ adalah bathil dan haram. Contoh dalam perkara ini adalah seperti menyembelih kambing dalam rangka tolak bala’ ataupun untuk sesaji kepada laut, bumi dan lainnya.

Adapun hukum pelaksanaan udlhiyyhah ataupun qurban di hari ‘Iedul Adlha, para ulama berbeda pendapat. Sebagian dari mereka berpendapat wajib bagi yang mampu. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah. Sementara jumhur (mayoritas) Ulama berpendapat tidak wajib namun sangat dianjurkan atau disebut juga dengan istilah sunnah muakkadah.

Secara khusus Imam As Syafi’i mendetailkan hukum qurban ini dengan sunnah ‘ain bagi setiap individu sekali dalam seumur hidupnya. Kemudian sunnah kifayah jika yang berqurban dari anggota keluarganya lebih dari satu. Maknanya jika ada salah satu anggota keluarga yang mau berqurban maka cukuplah satu orang tersebut mewakili anggota keluarga lainnya.

 Pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah pendapat jumhur yang mengatakan hukum qurban adalah sunnah dan tidak wajib. Ada beberapa dalil yang dijadikan landasan oleh jumhur ulama tentang penetapan hukum ini, di antaranya adalah :

  1. Hadits Ummu Salamah –رضي الله عنها-

أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: “إِذَا دَخَلَتِ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلاَ يَمُسَّ مِنْ شَعْرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا” –رواه مسلم-

Artinya: Bahwa Nabi  telah bersabda:”Apabila telah memasuki sepuluh hari pertama (bulan Dzulhijjah) sementara salah seorang dari kalian hendak menyembelih (hewan qurban) maka janganlah ia memotong (mengambil) sedikitpun dari rambutnya dan bagian tubuh lainnya”. [HR. Muslim]

Dalam hadits ini dijelaskan bahwa pelaksanaan qurban berkaitan erat dengan keinginan serta kemampuan. Tatkala suatu ibadah disertai dengan ta’liq keinginan ataupun kemampuan maka hukum dari ibadah tersebut  sunnah bukan wajib.

  • Hadits Ibnu ‘Abbas –رضي الله عنه-

عن ابن عباس –رضي الله عنه- قال: سمعت رسول الله ﷺ يقول: “ثَلاَثٌ هُنَّ عَلَيَّ فَرَائِضُ وَهُنَّ عَلَيْكُمْ تَطَوُّعٌ: الوِتْرُ، وَالنَّحْرُ، وَصَلاَةُ الضُّحَى” –رواه أحمد والحاكم والدارقطني-

Artinya: dari Ibnu ‘Abbas –semoga Allah meridhoinya- ia berkata: saya telah mendengar Rasulullah  bersabda: “Ada tiga perkara yang wajib atas diriku dan sunnah bagi kalian; sholat witir, menyembelih hewan qurban dan sholat dhuha”. [HR. Ahmad, Hakim dan Daruquthni]

  • Hadits Jabir bin ‘Abdillah –رضي الله عنه-

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ شَهِدْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ ﷺ الأَضْحَى بِالـمُـصَلَّى فَلَمَّا قَضَى خُطْبَتَهُ نَزَلَ مِنْ مِنْبَرِهِ وَأُتِيَ بِكَبْشٍ فَذَبَحَهُ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ بِيَدِهِ وَقَالَ بِسْمِ اللهِ وَاللهُ أَكْبَرُ هَذَا عَنِّي وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِيْ  -رواه أبو داود-

Artinya: Dari Jabir bin Abdillah berkata: “Aku pernah menyaksikan bersama Rasulullah  di hari ‘idul Adlha di tempat sholat ‘ied, maka ketika beliau telah menyelesaikan khutbahnya, beliau turun dari mimbarnya dan didatangkan seekor domba jantan lalu Rasulullah  menyembelihnya dengan tangannya sendiri seraya mengucap: Bismillah waAllohu akbar (dengan nama Allah, dan Allah Maha Besar) ini (qurban) dariku dan dari siapa saja yang belum berqurban dari umatku”. [HR. Abu Dawud]

Hadits inilah yang dijadikan landasan kuat bahwa ibadah udlhiyyah hukumnya sunnah kifayah karena seorang yang menyembelih seekor domba sudah cukup untuk mewakili anggota keluarganya.

  • Atsar yang dinisbahkan kepada Abu Bakar dan Umar bin Khattab –رضي الله عنهما- bahwa beliau berdua pernah tidak menyembelih hewan qurban sebagai bentuk kekhawatiran agar umat tidak menganggapnya sebagai perkara wajib.

Jenis dan Umur Hewan Qurban

Adapun jenis hewan qurban yang disyari’atkan adalah dari jenis binatang ternak yaitu unta, sapi, kerbau, kambing dan domba. Penentuan hewan qurban ini didasarkan atas firman Allah ﷻ:

﴿وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوا وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ۝﴾ -الحج: ۳٤-

Artinya: “Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (qurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah)”. [QS. Al Hajj: 34]

Terkait ketentuan umur hewan qurban maka telah dijelaskan dalam hadits Nabi ﷺ:

“لَا تَذْبَحُوْا إِلَّا مُسِنَّةً إِلَّا أَنْ يَعْسُرَ عَلَيْكُمْ فَتَذْبَحُوْا جَذْعَةً مِنَ الضَّأْنِ” –رواه مسلم-

Artinya: “Janganlah kalian menyembelih kecuali yang sudah berumur, kecuali jika kalian  kesulitan (mendapatkannya) maka sembelihlah jadz’ah dari domba”. [HR. Muslim]

Makna kata مُسِنَّةً (musinnah) dalam hadits tersebut adalah semua hewan yang telah tumbuh dua gigi dewasanya  di rahang bawah bagian depan atau disebut dengan istilah الثَّنِيَّةُ (tsaniyyah). Rincian musinnah dari masing-masing hewan qurban adalah sebagai berikut:

  • Unta : telah berumur lima tahun dan memasuki tahun ke enam
  • Sapi dan Kambing : telah berumur dua tahun dan memasuki tahun ke tiga
  • Domba : telah berumur satu tahun dan memasuki tahun kedua

Sedangkan makna dari kata جَذْعَةً مِنَ الضَّأْنِ (jadz’ah dari domba) para ulama berbeda pendapat tentang penentuan umurnya. Sebagian berpendapat domba yang berumur enam bulan, sebagian mengatakan delapan bulan dan sebagian pendapat mengatakan domba yang telah genap berumur satu tahun. Pendapat terakhir ini lah yang dikuatkan oleh Imam An Nawawi –رحمه الله- dalam syarh Shohih Muslim.

Dari hadits tersebut bisa diambil sebuah kesimpulan bahwa minimal usia domba yang diperbolehkan untuk dijadikan sebagai hewan qurban adalah berumur jadz’ah yaitu genap berumur satu tahun. Adapun jadz’ah dari jenis kambing maka tidak diperbolehkan.

Yuk Dukung

Qurban Lintas Negeri 1443 H

Hewan apa yang lebih Afdhol untuk Qurban ?

Dari jenis-jenis hewan qurban tersebut yang paling afdhol urutannya adalah unta, sapi, kemudian kambing atau domba. Hal ini didasarkan pada banyak dan besarnya daging yang dimungkinkan untuk dibagikan secara meluas, di samping itu juga dilihat dari harga dari setiap hewan qurban. Semakin lebih mahal dan besar pengorbanannya maka lebih afdhol dan mulia.

Urutan keutamaan hewa qurban ini didasarkan pada penjelasan Nabi Muhammad dalam hadits  yang menunjukkan keutamaan datang awal waktu pada hari Jum’at dan beliau menyebutkan secara urut dan bertingkat, dimulai dari unta hingga kambing.

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ –رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ﷺ قَالَ:  “مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ غَسْلَ الْجَنَابَةِ ثُمَّ رَاحَ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً فَإِذَا خَرَجَ اْلِإمَامُ حَضَرَتِ الْمَلَائِكَةُ يَسْتَمِعُوْنَ الذِّكْرَ”. –رواه البخاري في صحيحه-

Artinya: Dari Abu Hurairah –semoga Allah meridhainya- bahwa Rasulullah  telah bersabda: “Barang siapa yang mandi pada hari Jumat dengan mandi janabah kemudia pergi (ke masjid di waktu pertama) maka seperti orang yang berqurban dengan unta, dan barang siapa yang pergi (ke masjid) di waktu kedua maka seperti seorang yang berqurban dengan sapi, dan barang siapa yang pergi (ke masjid) di waktu ketiga maka seperti seorang yang berqurban dengan domba yang bertanduk, dan barang siapa yang pergi (ke masjid) di waktu keempat maka seperti seorang yang berqurban dengan seekor ayam, dan barang siapa yang pergi (ke masjid) di waktu kelima maka seperti seorang yang berqurban dengan sebutir telur. Maka apabila Imam telah keluar (naik mimbar) maka para malaikat hadir mendengarkan peringatan”. [HR. Bukhori dalam kitab shohihnya]

Apakah untuk setiap orang harus satu hewan qurban ?

Berkenaan dengan penyembelihan hewan qurban, maka kambing dan domba hanya boleh untuk satu orang mudlohhi (pequrban) dan sudah mewakili untuk keluarga yang menjadi tanggungannya. Jika masing-masing anggota keluarga memiliki kemampuan harta lebih maka diperbolehkan masing-masing berqurban dengan ketentuan perorang satu kambing atau satu domba.

Diperbolehkan pula bagi seseorang yang memiliki kemampuan untuk berqurban dengan lebih dari satu ekor kambing atau domba. Hal ini didasarkan pada hadits Nabi dari sahabat Anas bin Malik –رضي الله عنه- :

كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يُضَحِّي بِكَبْشَيْنِ، وَأَنَا أُضَحِّي بِكَبْشَيْنِ –رواه البخاري-

Artinya: “Dahulu Nabi  menyembelih dua domba jantang dan saya menyembelih dua domba jantan”. [HR. Bukhori]

Sedangkan unta dan sapi diperbolehkan untuk patungan tujuh orang atau kurang dari itu. Ketentuan ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah:

نَحَرْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ ﷺ عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ –رواه مسلم في صحيحه- 

Artinya: “Kami pernah bersama Rasulullah   di tahun Hudaibiyah menyembelih seekor unta untuk tujuh orang dan sapi untuk tujuh orang”. [HR. Muslim dalam kitab shohihnya]

Dalam hadits ini bisa diambil sebuah kesimpulan bahwa untuk hewan qurban berupa sapi dan unta tidak boleh patungan lebih dari tujuh orang.

Persyaratan Hewan Qurban

Termasuk perkara penting yang harus diperhatikan dalam ibadah qurban adalah persyaratan fisik hewan qurban. Hewan yang disiapkan untuk qurban tidak boleh dalam kondisi cacat. Ketetapan kondisi cacat yang tidak diperbolehkan terdapat dalam hadits Nabi Muhammad ﷺ :

عَنِ الْبَرَّاءِ بْنِ عَازِبٍ –رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- قَالَ: قَامَ فِيْنَا رَسُوْلُ اللهِ ﷺ فَقَالَ: “أَرْبَعٌ لَا َتَجُوْزُ فِي اْلأَضَاحِي: الْعَوْرَاءُ الْبَيِّنُ عَوْرُهَا، وَالْمَرِيْضَةُ الْبَيِّنُ مَرَضُهَا، وَالْعَرْجَاءُ الْبَيِّنُ ضَلْعُهَا، وَالْعَجْفَاءُ الَّتِي لَا تُنْقِي” –رواه أبو داود والنسائي-

Artinya: Dari Barro’ bin ‘Azib –semoga Allah meridhainya- berkata: Rasulullah  pernah berdiri di antara kami lalu beliau bersabda:”Empat (sifat hewan) yang tidak boleh dalam hewan qurban: buta mata yang jelas butanya, sakit yang nyata sakitnya, pincang yang nyata pincangnya dan kurus yang tidak berdaging”. [HR. Abu Dawud dan An Nasai]

Dari hadits tersebut disebutkan secara jelas empat ‘aib (=cacat) yang tidak diperbolehkan sama sekali atau tidak sah untuk dijadikan sebagai hewan qurban, yaitu: buta, sakit badannya, pincang dan kurus tak berdaging.

Di samping itu ada jenis ‘aib yang masih diperbolehkan untuk hewan qurban namun sifatnya makruh. Contoh dalam aib yang sifatnya makruh adalah telinga yang terpotong dan tanduk hewan yang patah. Ada pula ‘aib yang diperbolehkan dan dianggap sah untuk dijadikan sebagai hewan qurban namun mengurangi kesempurnaannya, contohnya: tidak punya gigi  dan tidk punya ekor.

 

Waktu Pelaksanaan Qurban

Waktu penyembelihan hewan qurban adalah setelah sholat ‘iedul adlha. Ketetapan ini berdasarkan pada sabda Rasulullah ﷺ:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ –رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ ﷺ : “مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ الصَّلَاِة فَإِنَّمَا ذَبَحَ لِنَفْسِهِ وَمَنْ ذَبَحَ بَعْدَ الصَّلاَةِ فَقَدْ تَمَّ نُسُكُهُ وَأَصَابَ سُنَّةَ الْمُسْلِمِيْنَ” –رواه البخاري-

Artinya: Dari Anas bin Malik –semoga Allah meridhoinya- berkata: Nabi  telah bersabda: “Barang siapa yang menyembelih sebelum sholat (‘ied) maka sesungguhnya dirinya menyembelih untuk dirinya sendiri. Dan barang siapa yang menyembelih setelah sholat (‘Ied) maka sungguh dia telah sempurna ibadah qurbannya dan sesuai dengan sunnah kaum muslimin”. [HR. Bukhori]

Waktu penyembelihan hewan qurban berlangsung dari mulai tanggal 10 Dzulhijjah setelah sholat ‘Ied hingga akhir hari tasyriq yaitu tanggal 13 Dzulhijjah. Ketetapan waktu penyembelihan ini didasarkan pada hadits Nabi ﷺ:

“كُلُّ أَيَّامِ التَّشْرِيْقِ ذَبْحٌ” –رواه أحمد-

Artinya: “Semua hari tasyriq adalah waktu penyembelihan”. [HR. Ahmad]

Adab-Adab Penyembelihan Hewan Qurban

Bagi mudlohhi yang akan melaksanakan penyembelihan hewan qurban hendaklah memperhatikan sunnah-sunnah penyembelihan. Hal ini bertujuan untuk menjadikan ibadah qurban bertambah barokah sekaligus memperbanyak peluang diterimanya amal ibadah dan sebagai upaya menjaga kesempurnaannya.

Di antara adab dan sunnah dalam penyembelihan hewan qurban adalah sebagai berikut;

  1. Disunnahkan seorang mudlohhi menyembelih hewan qurbannya sendiri, jika ia mampu melaksanakannya. Jikalau tidak mampu melaksanakannya maka diperbolehkan untuk mewakilkan kepada orang lain dengan syarat muslim.
  2. Bagi yang hendak berqurban disunnahkan tidak mengambil atau memotong rambut dan kukunya bila telah memasuki awal bulan Dzulhijjah hingga hewan qurbannya telah disembelih.
  3. Disunnahkan ketika hendak menyembelih hewan qurban agar meletakkan kaki di atas badan hewan sembelihan seraya membaca basmallah dan takbir.
  4. Hendaklah berbuat ihsan (baik) kepada hewan sembelihan, yaitu;
    1. Dengan tidak menakut-nakuti hewan sembelihan dengan alat potong.
    1. Menjauhkan atau membedakan tempat penyembelihan dari hewan qurban yang akan disembelih. Bertujuan agar hewan qurban lain tidak melihat hewan yang disembelih.
    1. Menggunakan alat sembelih yang tajam. Dilarang menyembelih hewan dengan kuku, gigi dan semua jenis tulang.
  5. Jika memungkinkan disunnahkan untuk menyembelih hewan qurban di tempat sholat ‘ied setelah selesai sholat ‘ied. Jika kondisi tidak memungkinkan maka diperbolehkan menyembelih hewan qurban di tempat lain.
  6. Bagi yang berqurban (mudlohhi) hendaklah menyaksikan hewan qurbannya yang disembelih.

Hukum Daging Qurban dan Bagian Tubuh Darinya

Nabi Muhammad ﷺ telah membolehkan bagi umatnya yang melaksanakan penyembelihan hewan qurban untuk memakan sebagian dari hewan yang diqurbankan, bershodaqoh dengan sebagiannya dan menyimpan sebagian yang lainnya untuk kebutuhan hidup di kemudian hari. Hal ini berdasarkan pada sabda beliau ﷺ :

عَنْ سَلَمَةَ بْنِ اْلأَكْوَعِ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: “مَنْ ضَحَّى مِنْكُمْ فَلاَ يُصْبِحَنَّ بَعْدَ ثَالِثَةٍ وَبَقِيَ فِي بَيْتِهِ مِنْهُ شَيْءٌ”. فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ، فَقَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ نَفْعَلُ كَمَا فَعَلْنَا عَامَ الْمَاضِي؟ قَالَ: “كُلُوا وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُوا، فَإِنَّ ذَلِكَ الْعَامُ كَانَ بِالنَّاسِ جَهْدٌ فَأَرَدْتُ أَنْ تُعِيْنُوا فِيْهَا”. –رواه البخاري-

Artinya: Dari Salamah bin al Akwa’ berkata: Nabi  telah bersabda: “Barang siapa di antara kalian yang menyembelih (hewan qurban) maka janganlah di waktu pagi harinya setelah tiga hari masih menyimpan di rumahnya bagian (daging dari hewan sembelihannya). Maka setelah setahun berikutnya, orang-orang bertanya: wahai Rasulullah, apakah kami melakukan apa yang dilakukan di tahun lalu? Beliau menjawab: “Makanlah (darinya), berikanlah makanan kepada orang lain dan simpanlah. Karena sesungguhnya di tahun itu manusia mendapatkan kesusahan kekeringan, maka aku ingin agar kalian membantu mereka dalam kesusahan tersebut”. [HR. Bukhori]

Perkara penting yang harus diperhatkan oleh Mudlohhi adalah larangan untuk menjual bagian tubuh hewan qurbannya seperti daging, kulit, kepala, susu, kaki atau yang lainnya. Hal ini didasarkan pada apa yang telah disebutkan oleh Rasulullah dalam hadits di atas dan dikuatkan pula dengan hadits lain:

“مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَّتِهِ فَلَا أُضْحِيَّةَ لَهُ” –رواه البيهقي-

Artinya: “Barang siapa yang menjual kulit hewan qurbannya maka tiada baginya (pahala) berqurban”. [HR. Baihaqi]

Daging qurban atau bagian tubuh lainnya juga tidak diperbolehkan dijadikan upah untuk tukang jagal atas jasa pemotongan hewan. Kalaupun tukang jagal ingin diberikan upah maka dananya hendaklah diambilkan dari alokasi dana lain. Hal ini didasarkan pada hadits shohih :

عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِيْ طَالِب –رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- قَالَ: أَمَرَنِي رَسُوْلُ اللهِ ﷺ أَنْ أَقُوْمَ عَلَى بُدْنِهِ، وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُوْدِهَا وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لَا أُعْطِيَ الجَزَّارَ مِنْهَا، قَالَ: نَحْنُ نُعْطِيْهِ مِنْ عِنْدِنَا. –رواه مسلم-

Artinya: Dari ‘Ali bin Abi Tholib –semoga Allah meridhoinya- berkata: Rasulullah  telah memerintahkanku untuk menyembelih hewan qurbannya dan membagikan dagingnya, kulitnya serta apa yang ada pada hewan itu dari kain penutupnya dan tidak memberikan upah kepada tukang jagal darinya. Dan beliau berkata: kami memberikan upah kepadanya (tukang jagal) dari dana kami sendiri. [HR. Muslim]

Akan tetapi diperbolehkan memberikan sebagian daging qurban kepada tukang jagal dalam bentuk shodaqoh atau hadiah pemberian.

Diperbolehkan bagi mudlohhi memanfaatkan kulit hewan qurban dengan mempergunakannya dalam bentuk barang-barang yang bisa digunakan sehari-hari seperti tempat air minum, selimut atau kerajinan tangan lainnya. Boleh juga baginya untuk menshodaqohkan atau menghadiahkan kepada orang lain.

Catatan penting bagi panitia penyelenggara pemotongan hewan qurban hendaknya mereka tidak menjual bagian tubuh hewan qurban dikarenakan barang tersebut bukan hak milik mereka. Hewan qurban kepemilikannya adalah bagi mudlohhi (orang yang berqurban). Maka tugas panitia hanyalah sebagai perwakilan dari para mudlohhi untuk membantu pelaksanaan penyembelihan hewan qurban, membagikan dan mendistribusikan semua yang ada pada hewan sembelihan tersebut kepada yang berhak secara merata.

Terkait dengan siapa saja yang berhak menerima bagian dari hewan qurban maka tidak ada ketentuan yang membatasinya. Berbeda dengan harta zakat, para mustahiqnya telah ditetapkan dalam syari’at yaitu 8 ashnaf (golongan) yang tertera dalam QS. At Taubah: ayat 60. Diperbolehkan bagi mudlohhi untuk membagikan hewan qurbannya kepada siapa saja yang dirasa berhak untuk menerimanya bahkan kepada orang kaya sekalipun. 

Adapun hukum daging, kulit serta bagian tubuh lainnya dari hewan qurban yang sudah sampai ke tangan mustahiq (orang yang berhak menerima) maka hukumnya layaknya milik sendiri. Dengan kata lain bahwa bagian tersebut sudah menjadi hak miliknya dan ia berhak untuk menggunakannya sesuai kebutuhannya, baik itu dengan mengkonsumsinya atau menjualnya untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.

Hukum Berqurban untuk orang lain yang sudah meninggal

Terkadang terbersit dalam benak seseorang untuk melaksanakan ibadah qurban dengan niat melaksanakan qurban atas nama orang tuanya yang sudah wafat. Permasalahan ini tidak lepas dari perbedaan di antara para ulama apakah hal tersebut diperbolehkan ataukah tidak.

Menurut pendapat ulama dari madzhab syafi’i bahwa hal tersebut tidak boleh dan tidak sah berdasarkan firman Allah ﷻ:

﴿وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى۝﴾ -النجم: 39-

Artinya: “Dan tidaklah bagi seorang insan (pahala) melainkan apa yang telah ia kerjakan”. [QS. An Najm: 39]

Akan tetapi jika orang yang meninggal dunia mewasiatkan kepada ahli warisnya untuk berqurban maka hal itu diperbolehkan dan daging qurbannya wajib disedekahkan semua untuk faqir miskin serta tidak boleh bagi keluarganya untuk mengambil sedikitpun darinya dikarenakan tanpa adanya izin dari yang telah wafat.

Sedangkan ulama dari kalangan madzhab Malikiyah berpendapat makruh tatkala sang mayit belum mewasiatkannya. Jika telah mewasiatkan tanpa bermaksud nadzar maka hal tersebut merupakan perkara mandub (sunnah) bagi ahli waris untuk melaksankannya.

Berbeda halnya dengan ulama dari kalangan madzhab hanabilah, bahwa mereka berpendapat boleh dan sah serta hukum daging qurbannya seperti hukum daging qurban pada umumnya, yaitu boleh dimakan oleh keluarganya, disedekahkan dan disimpan untuk keperluan di kemudian hari.

Adapun ulama dari kalangan madzhab hanafiyah sependapat dengan ulama hanabilah hanya saja mereka tidak membolehkan bagi keluarga mayit untuk memakan dagin qurbannya dan wajib atas mereka untuk menyedekahkan semua.

Dari perbedaan pendapat di antara ulama tersebut, penulis lebih condong kepada pendapat ulama syafi’iyyah. Didasarkan pada pemahaman bahwa ibadah qurban merupakan salah satu ibadah mahdloh (syarat dan ketentuan sudah diatur oleh syari’at) yang hukum asalnya tidak bisa digantikan oleh orang lain seperti ibadah haji dan yang semisal lainnya, kecuali jika hal tersebut dilatarbelakangi oleh adanya nadzar ataupun wasiat dari sang mayit. والله أعلم

Saat berkumpulnya Hari Ied dengan Hari Jumat

Bila waktu-waktu yang mulia betemu dalam satu momentum maka ini termasuk anugerah bagi setiap hamba beriman untuk lebih bersemangat dalam beribadah kepada Allah ﷻ. Seperti bertemunya hari ‘ied dan hari jumat. Keduanya merupakan bagian dari syiar-syiar Islam yang agung.

Terkait dengan pelaksanaan sholat jumat bagi yang telah menunaikan sholat ‘ied maka pembahasan hukumnya tidak terlepas dari perbedaan para ulama. Pendapat pertama, mengatakan bahwa sholat jumat tetap wajib dilaksanakan bagi yang sudah melaksanakan sholat ‘ied. Pendapat ini dikemukakan oleh jumhuhr ulama dari kalangan syfi’iyyah, malikiyyah dan hanafiyah. Pendapat ini didasarkan pada keumuman perintah sholat jumat yang disebutkan dalam al Quran:

﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ۝﴾ -الجمعة: 9-

Artinya: “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”.[QS. Al Jumu’ah: ayat 9]

Ulama dari kalangan syafi’iyyah (bermadzhab syafi’i) menkhususkan rukhshoh (keringanan) tidak sholat jum’at hanya bagi penduduk badui (yang tinggal di pedesaan jauh dari tempat sholat jum’at).  Pendapat ini didasarkan pada atsar yang dinisbahkan kepada Utsman bin ‘Affan –رضي الله عنه- :

عن أبي عبيد مولى ابن أزهر قال: شهدت العيد مع عثمان بن عفان، وكان ذلك يوم الجمعة، فصلى قبل الخطبة، ثم خطب فقال: “يا أيها الناس، إن هذا يوم قد اجتمع لكم فيه عيدان، فمن أحبّ أن ينتظر الجمعة من أهل العوالي فلينتظر، ومن أحب أن يرجع فقد أذنت له –رواه البخاري-

Artinya: Dari abu Ubaid budaknya Ibnu Azhar ia berkata: aku pernah menyaksikan hari ‘Ied bersama Utsman bin Affan, pada hari itu hari Jum’at, lalu beliau sholat (‘Ied) sebelum khutbah, kemudian beliau berkhutbah, lalu berkata: “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya hari ini bertemunya bagi kalian dua hari raya (hari ‘ied dan hari jumat), maka barang siapa yang ingin menunggu (sholat) Jum’at dari kalangan penduduk desa maka dipersilakan menunggu dan barang siapa yang ingin kembali maka sungguh aku telah memberikan izin baginya”. [HR. Bukhori, no. hadits: 5572]

Adapun pendapat kedua mengatakan telah gugur kewajiban sholat jum’at bagi yang telah menunaikan sholat ‘ied akan tetapi dianjurkan bagi seorang imam/pemimpin untuk tetap menyelenggarakan sholat jum’at bagi yang ingin menjalankannya dan siapa saja yang tidak mendapati sholat ‘ied. Pendapat ini dikemukakan oleh ulama Hanabilah (ulama bermadzhab Hanbali, pengikut madzhab Imam Ahmad bin Hanbal). Pendapat ini didasarkan pada atsar yang shohih :

عَنْ عَطَاءٍ قَالَ: “صَلَّى بِنَا ابْنُ الزُّبَيْرِ فِيْ يَوْمِ عِيْدٍ فِي يَوْمِ جُمْعَةٍ أَوَّلَ النَّهَارِ، ثُمَّ رُحْنَا إِلَى الْجُمْعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ، فَصَلَّيْنَا وَحْدَنَا، وَكَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ بِالطَّائِفِ، فَلَمَّا قَدِمَ ذَكَرْناَ ذَلِكَ، فَقَالَ: “أَصَابَ السُّنَّةَ”، فَبَلَغَ ذَلِكَ ابْنُ الزُّبَيْرِ، فَقَالَ: “رَأَيْتُ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ إِذَا اجْتَمَعَ عِيْدَانِ صَنَعَ مِثْلَ هَذَا”. –رواه أبو داود والنسائي وابن خزيمة-

Artinya: Dari ‘Atho ia berkata: “Ibnu Zubair pernah mengimami kami sholat (‘ied) di hari ‘ied di hari Jum’at di waktu pagi hari, kemudian kami berangkat untuk mengerjakan sholat jum’at dan beliau tidak keluar, lalu kami (sholat jum’at) sendiri (tanpa beliau), dan saat itu Ibnu ‘Abbas sedang berada di Thoif. Maka tatkala beliau datang kami mengabarkan kepada beliau tentang perkara itu, lalu beliau menjawab : “Dia telah sesuai sunnah”, perkara itu pun sampai kepada Ibnu Zubair, lalu beliaupun berkata: “Aku telah melihat Umar bin Khotthob ketika berkumpulnya dua hari raya (hari ‘ied dan hari jum’at) beliau melakukan seperti ini”. [HR. Abu Dawud, Nasai dan Ibnu Khuzaimah]

Dari dua pendapat tersebut penulis lebih condong mengikuti pendapat pertama dari kalangan jumhur. Didasarkan pada pemahaman hadits Ustman bin Affan yang memberikan isyarat jelas bahwa ibadah Jumat tetap dilaksanakan kewajibannya untuk orang-orang muqim. Sementara rukhshoh (keringanan) hanya untuk penduduk badui/pedesaan yang jauh dari masjid Nabawi pada saat itu. Karena hukum asal sholat jumat bagi mereka adalah tidak wajib.

Imam Ibnu Hajar al ‘Asqolani –رحمه الله- menjelaskan :

فظاهر الحديث في كونهم من أهل العوالي أنهم لم يكونوا ممن تجب عليهم الجمعة لبعد منازلهم عن المسجد، وقد ورد في أصل المسألة حديث مرفوع.

Artinya: “Maka makna yang Nampak dari hadits itu (hadits Utsman) berkaitan dengan penduduk desa yang mana mereka tidak diwajibkan sholat Jum’at dikarenakan jauhnya rumah-rumah mereka dari masjid, dan telah adanya hadits marfu’ yang menjelaskan tentang pokok masalah ini”.

Disamping itu hukum sholat jum’at adalah wajib sebagaimana sholat dzuhur. Maka ketika hari ‘Ied bertepatan dengan selain hari Jum’at kewajiban sholat dzuhur tetap ditegakkan. Dari sini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa sholat Jumat yang bertepatan dengan hari ‘ied tetap harus dilaksanakan oleh orang yang telah memenuhi syarat wajibnya kecuali orang-orang yang telah diberikan rukhshoh dalam syari’at.

والله أعلم

Daftar Pustaka

Ibn ‘Ali bin Hajar al ‘Asqolani, Ahmad, Fath al Baari bi Syarh Shohih al Bukhori (Kairo: Maktabah al Shofa, cetakan I, tahun 1424 H/ 2003 M)

Al Khin, Musthafa DR dan al Bugha, Musthafa, DR., al Fiqh al Manhaji ‘alaa Madzhab al Imam al Syaafi’i (Damaskus: Daar al Qolam, cetakan XIV, tahun 1434 H – 2013 M)

Abu Zakariyah Yahya bin Syarof al Nawawi, Muhyiddin, Shohih Muslim bi Syarh al Nawawi (Daar al Taqwa, tc,tt)

Ibrahim bin Ali bin Yusuf al Fairuzabadi al Syirozi, Abu Ishaq, Al Muhadzdzab fii Fiqh Madzhab al Imam al Syafi’i (Beirut: Daar al Fikr, tc, 1414 H-1994 M)

Syaroful Haq al ‘Adzim Abadi, Muhammad, ‘Aun al Ma’bud ‘alaa Syarh Sunan Abi Dawud (Beirut: Daar Ibnu Hazm, cetakan I, tahunn 1426 H/ 2005 M)

Kamal bin As SayyidSalim, Abu Malik, Shohiih Fiqh As Sunnah (Kairo: Al Maktabah al Taufiqiyah, tc, tt)

Musthofa, Ibrahim. et.all., Al Mu’jam al Wasith (Istanbul: al Maktabah al Islmiyyah, tt, tc)

Al Zuhaily, Wahbah. DR. Prof, al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu (Damaskus: Daar al Fikr, cetakan IV, tahun 1997 M)

Muslim bin al Hajjaj, Abu al Husain, Shohih Muslim (Kairo: Daar Ibn al Haitsam, tc, tahun 1422 H/ 2001 M)

Muhammad bin Ismail al Ju’fi al Bukhori, Abu Abdillah, Shohih Bukhori (Kairo: al Maktabah al Taufiqiyah, tc, tt)

Diib al Bugha, Musthofa, Pof., DR., al Tadzhib fii Adillatin min al Ghooyah wa al Taqriib (Damaskus: Daar al Musthofa, cetakan I, tahun 1440 H/ 2019 M)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *