Obat Dengki
Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah
Adalah Hatim bin al Asham berguru kepada Syaqiq al Balkhi rahimahullah selama 33 tahun dan selama sekian tahun mendapatkan hikmah yang sangat berharga. Di antara hasil belajar beliau adalah apa yang beliau sampaikan, “Kulihat banyak orang saling mencela satu sama lain, saling menjatuhkan satu sama lain dan ternyata muaranya adalah kedengkian (hasad) saja, lalu kuhayati firman Allah Ta’ala,
أَهُمۡ يَقۡسِمُونَ رَحۡمَتَ رَبِّكَۚ نَحۡنُ قَسَمۡنَا بَيۡنَهُم مَّعِيشَتَهُمۡ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۚ
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Rabbmu? Kamilah yang menentukan penghidupan mereka dalam kehidupan dunia.” (QS. Az-Zukhruf: 32)
Maka kutinggalkan hasad dan kujauhi saling cela kepada sesama, karena ku sadar bahwa pembagian (rizki) itu mutlak kewewenangan Allah.”
Sungguh ini adalah ilmu yang sangat mahal dan berharga. Andai empat tahun seseorang mengkaji dan berguru lalu mendapatkan poin ini lengkap dengan praktiknya, maka bukan hal yang sia-sia.
Dari sisi jelinya pengamatan terhadap sebab yang terjadi antar manusia, bahwa kebiasaan suka nyinyir, mencela, menjatuhkan kehormatan, membuka aib, hingga bahkan berujung pada saling bunuh muaranya adalah kedengkian. Sebagaimana Qabil membunuh saudara kembarnya bernama Habil juga disebabkan karena hasad.
Bahkan karena hasad banyak manusia tidak mau menerima kebenaran, sebagaimana difirmankan Allah ketika mengungkapkan sebab utama ahli kitab tidak mau beriman dengan risalah yang dibawa oleh Rasulullah,
وَدَّ كَثِيرٞ مِّنۡ أَهۡلِ ٱلۡكِتَٰبِ لَوۡ يَرُدُّونَكُم مِّنۢ بَعۡدِ إِيمَٰنِكُمۡ كُفَّارًا حَسَدٗا مِّنۡ عِندِ أَنفُسِهِم مِّنۢ بَعۡدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ ٱلۡحَقُّ
“Banyak di antara Ahli Kitab menginginkan sekiranya mereka dapat mengembalikan kamu setelah kamu beriman, menjadi kafir kembali, setelah kebenaran jelas bagi mereka.” (QS. Al Baqarah: 109)
Andai kata problemnya hanya benci, niscaya bukti kebenaran bisa menyembuhkan. Sebagaimana banyak di kalangan sahabat yang tadinya bahkan sangat benci dan memusuhi Islam, akhirnya masuk Islam setelah melihat bukti demi bukti kebenaran. Akan tetapi, dengki tak sesederhana benci.
Pun begitu, penyakit hasad ada beberapa derajat, pada batasan tertentu, rasa iri terhadap nikmat yang ada pada orang lain adalah tabiat yang hampir semua manusia memiliki. Bedanya adalah bagimana ia menindaklanjuti. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Setiap jasad nyaris tidak lepas dari hasad. Namun orang yang berpenyakit (hati) akan menampakkannya. Sedangkan orang yang mulia akan menyembunyikannya.”
Pada tingkatan ini, kedengkian bisa disembuhkan dengan mentadabburi ayat yang direkomendasikan sebagai obat dengki oleh Hatim bin Al-Asham tersebut. Sejatinya hasad yang berarti rasa tidak suka terhadap nikmat yang tertuju pada orang lain adalah sebentuk prasangka buruk kepada ar Razzaq, Yang Maha Memberi.
Seakan Dia salah menempatkan rizki, kekayaan, kecantikan, ketenaran, maupun jabatan. Seakan dia memprotes pembagian rezeki, seakan menuduh Allah berlaku tidak adil. Bagaimana orang yang tidak setampan saya, memiliki istri lebih cantik dari istriku misalnya. Bagaimana bisa orang yang tidak lebih pandai dariku mendapat harta lebih banyak dariku? Dan berbagai was-was lain yang dihembuskan setan di hati orang yang memiliki bibit-bibit kedengkian.
Maka ayat ini menjawab dengan pertanyaan yang menohok, “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Rabbmu? Kamilah yang menentukan penghidupan mereka dalam kehidupan dunia.” (QS. Az-Zukhruf: 32)
Allah yang Mahatahu rezeki apa untuk siapa dan bagaimana kadar yang pas untuknya. Apa yang Allah bagi untuk kita ataupun orang lain, itu adalah takaran yang paling proposional dan paling baik.
Ketika hembusan kedengkian tak dihentikan, kerugian besar akan didapat oleh pendengki. Akan tercabutlah kebahagiaan dan ketenangan dalam hidupnya. Karena bejana hati penuh rasa benci, iri dan dengki. Setiap kali nikmat didapat oleh orang lain, panaslah hatinya. Energi, potensi dan waktu terkerah untuk mencari amunisi dengki. Ini tak berhenti, sampai dia campakkan dengki atau hingga nyawa yang berpisah dengannya. Tak jarang kemudian kezhaliman dilakukan berupa mencari aib, menyebarkannya, menuduh, mencela hingga memprovokasi orang lain untuk turut membenci dan menzhalimi obyek yang didengki.
Maka Nabi shallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan umatnya akan bahaya dengki yang bisa mengikis habis kebaikan. Nabi shallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِيَّاكُمْ وَالْحَسَدَ فَإِنَّ الْحَسَدَ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ الْحَطَبَ
“Jauhilah oleh kalian kedengkian, karena dengki bisa membakar kebaikan sebagaimana api melalap kayu bakar.” (HR. Abu Daud)
Sebelum hangus semua kebaikan kita, jangan teruskan kedengkian kita, sudahi demi kebahagiaan kita dan keutuhan pahala amal shalih kita. Bahkan Allah ajarkan kepada kita doa untuk menghilangkan kedengkian,
وَلَا تَجۡعَلۡ فِي قُلُوبِنَا غِلّٗا لِّلَّذِينَ ءَامَنُواْ رَبَّنَآ إِنَّكَ رَءُوفٞ رَّحِيمٌ
“dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati Kami terhadap orang-orang yang beriman.” (QS. Al Hasyr: 10)
Jika suatu ketika kita mendapati saudara kita mendapat nikmat, doakan kebaikan untuknya niscaya kita juga akan mendapatkan kebikan yang sama. Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لِأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ، عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لِأَخِيهِ بِخَيْرٍ، قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ: “آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ
“Doa seorang muslim untuk saudaranya yang dilakukan tanpa sepengetahuan orang yang didoakan adalah doa yang dikabulkan. Di sisinya ada malaikat yang diutus, setiapkali dia berdoa untuk saudaranya dengan suatu kebaikan, Maka malaikat berkata, “Amin dan engkau pun akan mendapat yang ia dapatkan.” (HR. Muslim)
Jadi tak perlu mengharap apalagi megupayakan nikmat yang ada pada orang lain lenyap. Tapi doakan ia dengan kebaikan, maka engkau akan mendapatkan sebagaimana yang didapat oleh saudaramu, karena doa malaikat untukmu. Dan pada saat yang bersamaan, rasa dengki kita lenyap seiring dengan doa yang kita panjatkan. Karena tidak mungkin doa kebaikan yang tulus tertuju untuk orang lain selagi ia masih menyimpan kedengkian. Wallahu a’lam bishawab.
(sumber: majalah ar risalah edisi 225)