Nilai Strategis Keyakinan
Oleh: Ust. Lukman H. Syuhada’, Lc
Keyakinan itu letaknya di hati, dan hati merupakan organ inti pada tubuh manusia yang akan memimpin, mengawal, mengendalikan, menggerakkan, menghentikan dan meringankan gerak atau diamnya seluruh anggota tubuh yang lain. Jika keyakinan terbentuk oleh nilai-nilai sacral-spiritual yang bersumber dari syariat Islam, maka semua tingkah laku, tindak-tanduk, pola rasa dan pola pikir akan terkawal oleh konsep keyakinan tersebut.
Dalam hadits disebutkan, bahwa pada jasad manusia terdapat satu organ yang jika baik akan baik seluruh organ lain, tapi bila buruk maka akan menyebabkan buruknya organ lain. Organ tersebut adalah hati, sebagai titik sentral dan pusat kendali manusia.
Sahabat Nu’man Bin Basyir ra. Meriwayatkan; Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Pada jasad manusia ada organ (daging), apabila ia sehat akan sehat pula seluruh organ lain, apabila ia sakit atau rusak maka akan rusak pula organ yang lain.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Konsep kayakinan tersebut dengan aqidah yang berarti ikatan, sesuatu yang mengikat secara konsep. Seseorang yang mengambil Islam sebagai konsep aqidahnya, artinya ia telah mengikatkan ‘tali keyakinan’ Islam pada lehernya. Seperti se-ekor kambing yang lehernya terikat dengan tali agar tak memakan tanaman yang tak semestinya dimakan. Atau seperti sapi yang dicocok hidungnya untuk diikatkan tali agar mudah dikendalikan. Atau seperti bunyi lagu anak-anak “…duduk di samping pak kusir yang sedang bekerja, mengendali kuda supaya baik jalanya…”. Pak kusir bisa dengan mudah mengendalikan kudanya karena ada tali kekang yang membuat kuda tak bisa melakukan apa maunya sendiri tapi menuruti kemauan pak kusir.
Aqidah, Tali Kekang Khas Manusia
Manusia dikendalikan oleh Allah bukan dengan mengikatkan tali kekang dilehernya secara hakiki layaknya binatang. Tapi Allah mengendalikan manusia dengan sesuatu yang abstrak, tak terlihat oleh mata manusia, tapi punya fungsi separti tali kekang. Kendali tersebut berupa nilai dan konsep aqidah, yang bisa dimengerti akal manusia dan diendapkan di hatinya sebagai keyakinan idiologis.
Seandainya manusia diikat lehernya dengan tali sungguhan, agar ia terkendali tak melanggar larangan Allah, tentu manusia dengan kecerdasan akalnya dan kecanggihan teknologinya akan memutus tali itu dengan mudah. Maka tali kekang yang cocok dengan karakter manusia, karena adanya kekhasan akal padanya, haruslah yang khas manusia.
Sesuatu yang bisa dikonsumsi akal dan diendapkan di hati, yang berfungsi sebagai kendali yang abstrak.
Apakah suatu yang bisa difahami manusia dengan akalnya sudah otomatis akan berfungsi mengendalikan manusia? Belum tentu. Ada perbedaan antara memahami dan meyakini.
Misalnya, manusia faham bahwa Allah adalah satu-satunya tuhan yang boleh disembah dan wajid disembah. Dia faham bahwa tak boleh menyembah yang lain. Apakah yang ia pahami sudah pasti akan membuat ia tak menyembah yang lain? Jawabannya belum tentu. Paham tak selalu berbuah yakin. Apa yang dimengerti oleh akal, tak mesti diyakini dihati untuk mengontrol seluruh organ yang lain.
Inilah letak keunikan manusia, semua alat kendali baik tali sesungguhnya maupun tali nilai abstrak yang dipahami akalnya, keduanya bisa diretas manusia selagi akalnya belum terkendali oleh hati (keyakinan). Kendali yang sesungguhnya adalah hatinya. Keyakinanya, aqidahnya.
Contoh sederhana, ada dua orang yang sedang menunggu angkutan terakhir. Orang pertama hanya tahu secara sambil lalu dari preman terminal, bahwa angkutan terakhir akan melintas jam 11 malam. Ia tahu, tapi ragu karena belum peernah membuktukannya dan meragukan kredibilitas pemberi informasi. Setelah beberapa lama menunggu, dia melirik jam tanganya, ternyata sudah jam 10 malam, maka ia mengambil keputusan untuk mencari alternatif angkutan lain karena tak yakin angkutan terakhir itu ada.
Semantera orang kedua, meski ia lama menunggu dan melirik jamnya sudah pukul 10:30 malam, ia sabar menunggu karena ia tahu aka nada angkutan terakhir melintas jam 11 malam. Pengetahuanya itu telah mengendap menjadi keyakinan karena ia sudah beberapa kali melakukanya, sudah membuktikan sendiri, sehingga keraguan hilang.
Lihatlah perbedaanya. Keyakinan hati orang kedua dapat mengendalikan pikiranya untuk mencari kendaraaan alternatif. Akal, perasaan, dugaan, analisis dan kejenuhan menunggu dapat dikalahkan oleh hatinya yang yakin. Sebaliknya, orang pertama karena hatinya ragu, maka hatinya tak mampu meredam kegalauan pikiran dan perasaanya.
Orang yang hatinya terisi dengan iman, ia akan secara refleks mentaati Allah tanpa disuruh dan dipaksa orang lain. Hatinya sudah memerintah pikiran, perasaan dan anggota badan lain untuk mentaati Allah. Sebaliknya, orang yang hatinya terisi nilai syirik dan kekafiran, tanpa disuruh dan dipaksa juga akan berbuat durhaka kepada Allah. Hatinya yang mengendalikanya. Bahkan jika kedurhakaan itu harus ditempuh dengan memeras keringat dan mengeluarkan biaya, ia akan tetap melaksanakanya.
Maka sebelum kita mengajarkan syariat Islam yang berisi sejumlah perintah dan larangan, misi pertama kita adalah memastikan manusia menerima konsep aqidah Islam ini. Menerima bahwa Allah adalah pencipta seluruh makhluk. Menerima bahwa Allah sebagai satu-satunya tuhan yang boleh disembah, ditaati, dan dicintai. Semua ini diajarkan untuk dimengerti akalnya, lalu diendapkan untuk menjadi keyakinan dihatinya. Ketika ini semua sudah merasuk sebagai keyakinan yang mendarah-daging, maka seluruh tingkah laku, ucapan dan amal perbuatanya otomatis akan berwarna aqidah Islam.
Ketika manusia telah menerima bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan baginya, maka perintah dan larangan yang datang dari Allah akan diterima lapang dada, dan dilaksanakan dengan ringan tanpa beban. Perintah dan larangan tidak dirasakan sebagai beban yang menjerat leher, karena hatinya sudah ikhlas menerima.
Keyakinan Hati, Musuh Akal Dan Perasaan
Keyakinan hati yang kokoh dan bulat mampu menaklukan akal dan perasaan. Tapi pada kondisi tertentu, ketika keyakinan ternoda dengan keraguan, akal dan perasaan yang akan mengalahkan keyakinan hati.
Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam merupakan contoh teladan orang yang dengan keyakinan bulat tanpa keraguan sedikitpun, mampu menakhlukkan godaan akal dan perasaanya. Alkisah menyebutkan. Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam diperintah oleh Allah untuk menyembelih putranya sendiri, Ismail ‘alaihissalam. Padahal anak ini adalah generasi pelanjut harapan orang tua, dan baru Allah berikan setelah Ibrohim ‘alaihissalam mengalami kemandulan panjang, Ismail ‘alaihissalam lahir setelah usia Ibrahim ‘alaihissalam mencapai 80 tahun.
Ibrahim ‘alaihissalam memastikan bahwa perintah ini benar-benar datang dari Allah subhanahu wata’ala, karena perintah ini hadir melalui mimpi, sedangkan mimpi adalah salah satu penyampaian wahyu bagi para Nabi. Sebagai manusia biasa, pastilah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dalam melaksanakan perintah ini mengalami tarik ulur dalam dirinya; antara tarikan aqidahnya dengan tarikan akal dan perasaannya.
Tarikan aqidah Islam yang ada dihatinya mengharuskan Ibrahim ‘alaihissalam meyakini perintah ini dengan bulat tanpa noda keraguan sedikitpun, untuk diterima dengan lapang dada dan dilaksanakan dengan tanpa beban. Sementara tarikan akal mengharuskan Ibrahim ‘alaihissalam menganalisa dengan kecerdasannya, karena semua Nabi punya sifat fatonah alias cerdas. Dan tarikan akal ini bisa melahirkan sejumlah tanda Tanya kritis yang berujung pada keraguan untuk melaksanakan perintah tersebut.
Sedangkan tarikan perasaan mengharuskan Ibrahim ‘alaihissalam menimbang-nimbang perintah dengan perasaanya dan berujung tidak tega untuk melaksanakan perintah; menyembelih putranya semata wayang. Binatang saja tidak tega membunuh anaknya sendiri apalagi manusia.
Namun Ibrahim ’alaihissalam mampu menaklukkan tarikan akal dan perasaanya. Dengan membulatkan tekad dan kepasrahan, Ibrahim ‘alaihissalam siap menyembelih putranya sendiri. Ya, teladan yakin dan kepasrahan total yang tak ada duanya. Ini semua karena di hatinya tertanam aqidah laa ilaaha illallah yang menghujam kuat ke sanubari yang paling dalam. Wallahu ‘alam. (disadur dari majalah Kalam Dakwah)
–(Himayah Foundation)–