Netralitas Yang Menggelincirkan
Beberapa tahun terakhir istilah washatiyah mulai marak disuarakan. Wasathiyah diartikan sebagai sikap yang tengah-tengah yang tidak memihak kedua kubu yang konfontratif. Dengan tidak memihak, seorang muslim digambarkan sebagai orang yang proporsional, arif dan bijaksana.
Pengertian washatiyah ala zaman now ini digagas dan dikampanyekan sebagai sebuah pendekatan untuk menghadapi permasalahan yang terjadi di dunia Islam khususnya ketika umat mulai terpolarisasi dalam memihak dan tidak ragu menunjukkan loyalitas. Washatiyah dijadikan semacam magnet baru untuk menarik orang dari dua kubu berupa ekstrem kanan atau kiri dalam Islam ekstrem kanan ditafsirkan sebagai kelompok tektualis. Sedangkan ekstrem kiri sebagai kaum liberal.
Menurut promotor washatiyah, realitas kondisi umat Islam yang menunjukkan kekacauan. Selain itu, kecenderungan paham tekstualis cenderung meningkat. Untuk itu para tokoh dan cendekiawan diminta ikut terlibat dalam membendung arus pemahaman tekstualis di dalam agama.
Gagasan Islam Washatiyah juga bisa diadopsi untuk diterapkan ke wasathiyah politik Wasathiyah politik, adalah sebuah gagasan untuk mengambil jalan tengah dalam berpolitik. Tidak menebarkan hujatan, kebencian, atau pun umpatan yang bersifat sarkasme terhadap seseorang yang berbeda pandangan politik.
Misalnya, tentang cara pandang seseorang terhadap identitas. Pandangan seseorang yang menganggap Islam sebagai identitas utama dikatakan sebagai ideologi ekstrem. Sebaliknya, mengabaikan faktor agama dengan identitas atas dasar nasionalisme an sich juga disebut ekstrem. Jadi, kompromi antara kedua pandangan itu ialah mengajak untuk menjadi muslim dalam kerangka warga negara. Dengan menjadi warga negara yang baik, seseorang bisa menjadi muslim yang taat. Begitu slogan yang diangkat.
Tentang aspirasi untuk memperjuangkan agama. Memilih bentuk negara islam atau khilafah disebut sebagai ideologi ekstrem. Sikap washatiyah ialah menyalurkan aspirasi yang dijamin sebagai hak dalam wadah demokrasi. Bahkan, dikatakan tidak perlu mendirikan khilafah karena tidak ada perintah yang sharih dalam Al-Qur’an.
Patokannya wahyu bukan kompromi
Washatiyah sebenarnya bukan istilah yang baru saja dimunculkan. Menurut Syaikh Abdul Aziz At-Thuraifi, konsep wasathiyah sebenarnya telah ada dalam Al-Qur’an. Hanya masalahnya. pemaknaan konsep tersebut berbeda antara pengertian kontemporer dengan makna syar’inya.
Allah ta’ala berfirman:
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (QS. Al-Baqarah: 143)
Makna dasar wasath menurut Ibnu Abbas, Attha’ dan ulama tafsir lainnya ialah keadilan. Jadi syariat yang Allah tentukan untuk Nabi Muhammad saw, merupakan paling ideal untuk diterapkan hingga akhir zaman. Syariatnya benar-benar adil karena mengukur batas kemampuan manusia. Bahkan pertengahan antara ringan dan berat.
Akidah ahlu sunnah juga memiki karakteristik yang tengah-tengah. Yaitu antara sikap ifrath yang cenderung berlebihan dan tafrith asal mengabaikan. Karena itu, aqidah ahlu sunnah selalu berada di tengah antara firqah-firqah. Tegas dalam masalah keimanan, tapi tidak seperti Khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa besar. Juga tidak seenteng keyakinan Murjiah yang tidak menganggap dosa-dosa besar tidak berbahaya karena keimanan sebenamya ada di dalam hati.
Di masa kini washatiyah dimaknai sebagai titik temu yang kedua belah kutub ekstrem. Jadi semacam kompromi yang mengakomodir kedua belah pihak yang berseberangan. Andai tidak ada titik temu, maka washatiyah wujudnya berupa sikap non-blok atau tidak memihak. Seperti sikap negara-negara muslim pada era perang dingin.
lslam memang mengajak untuk mengambil sikap washatiyah, namun tentu bukan washatiyah dalam pengertian seperti ini. Melainkan kembali kepada istilah syar’i, yaitu kembali kepada lslam sebagai acuan.
Perbedaan pemaknaan washatiyah hari ini dengan makna syar’i washatiyah ialah pada patokan. Patokannya adalah ajaran yang dibawa Rasulullah saw.
Dari Abdullah bin Mas’ud yang berkata, “Suatu hari Rasulullah menggambar sebuah garis. Beliau lalu bersabda, ‘inilah jalan Allah.” Setelah itu beliau menggambar beberapa garis di sisi kanan dan kiri (garis pertama). Beliau bersabda: “ini adalah beberapa jalan. Di tiap jalan tersebut terdapat setan yang mengajak orang ke jalan itu.” (HR. Ad Darimi)
“Jalan tengah itu adalah Ridha Allah, bukan dalam kompromi antar dua kubu atau dua pemikiran.”
Syaikh Abdul Aziz At Tharifi mengatakan, “Seandainya jalan tengah itu diukur dengan titik temu dari dua aliran pemikiran, maka sikap Abu Thalib merupakan washatiyyah. Atau jalan tengah antara ajakan kaum Quraisy dan dakwah Muhammad SAW. Washatiyyah atau jalan tengah adalah mengikuti wahyu.
Tak boleh oposisi jika jelas kebenaran
Tidak semua kompromi jalan tengah disebut sikap bijak. Dalam pertarungan antara kebenaran melawan kebatilan, diam begitu saja padahal mampu berbuat, bisa termasuk dukungan kepada kebalitan.
Al-Quran telah memberi pelajaran dari adzab yang menimpa ashabus sabt. Mereka adalah umat bani lsrail pengikut Nabi Musa yang tinggal di tepi laut merah.
Ketika Allah menguji dengan ikan yang tidak muncul kecuali di hari Sabtu. Bani lsrail terpecah menjadi tiga kelompok Kelompok pertama melanggar perintah Allah dengan tetap berburu ikan menggunakan trik atau siasat Kelompok kedua patuh dengan menjaga kehormatan hari Sabtu untuk beribadah. Sedangkan kelompok ketiga sebenarnya menghormati hari Sabtu namun netral bersikap. Mereka enggan mengingatkan kelompok pertama. Seakan tidak ingin “merusak hamonisasi’ yang sudah berjalan.
Ketika hukuman Allah turun. Hanya kelompok kedua saja yang selamat dari adzab. Kelompok ketiga masih mendapat hukuman seperti orang yang melakukan pelanggaran.
Pelajaran tentang kaum tersebut termaktub lalam QS Al-A’raf: 163-167. Pesan moral yang bisa diambil ialah hati-hati dalam memilih sikap. Jadilah pembela kebenaran, dan jagalah diri dari larangan-larangan Allah. Bersikap netral atau bahkan acuh tak acuh dapat membahayakan diri sendiri. Jangan sampai mendapat hukuman seperti hizbus syaitan lantaran mendamaikan dan membiarkan kemaksiatan.
(majalah an najah/151)