Nasab Tidak Menjamin Nasib
Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah
فَإِذَا نُفِخَ فِي الصُّورِ فَلَا أَنْسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَئِذٍ وَلَا يَتَسَاءَلُونَ
“Apabila sangkakala ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya.” (QS. Al Mukminun: 101)
Di hari kiamat nanti, keturunan bukan merupakan faktor yang menentukan nasib seseorang. Bahwa anak dari orang shalih pasti akan selamat, dan anaknya penjahat pasti mendapat laknat. Di akhirat selamat atau tidak, yang paling berpengaruh adalah rahmat Allah, kemudian amal perbuatan manusia masing-masing. Meskipun anak dari seorang manusia yang mulia, tapi dirinya termasuk golongan yang layak mendapat siksa, keturunan ini tidak akan berguna. Atau sebaliknya, seburuk apapun kedua orangtua, jika dirinya sendiri memang layak untuk selamat, buruknya nasab sedikitpun tidak akan membahayakannya.
Orang bilang iman itu tidak dapat diwarisi, demikian pula kehormatan diri apalah lagi keselamatan di akhirat nanti. Tak hanya di hari kiamat dan di hadapan Allah, bahkan di dunia dan di mata manusiapun semua itu berlaku. Keturunan orang terhormat tapi bejat, di mata manusia tetap akan dipandang rendah sebagai mansusia yang tak bermartabat. Kalaupun ada yang memaksakan diri menghormati, hal itu pasti dilakukan dengan menipu nurani. Sebaliknya, meskipun keturunan penjahat tapi dengan hidayah Allah menjadi mukmin yang shalih dan taat, orang pasti akan menaruh segala hormat.
Bahkan ini juga berlaku bagi keturunan Nabi sekalipun. Memang benar, ahlul bait memiliki keutamaan. Tapi keutamaan sebagai ahlul bait didapatkan bukan karena faktor kekerabatan dan keturunan, tapi karena iman dan ketaatan. Jika dua hal itu ada, maka status sebagai ahlul bait menjadikan kemuliaan itu semakin sempurna.
Hal ini disadari betul oleh salah seorang keturunan Nabi, Ali Zainal Abidin. Suatu ketika Thawus bin Kisan melihat Ali Zainal Abidin sedang meratap penuh gelisah dihadapan Ka’bah. Seakan-akan dia sedang berada di ambang kehancuran. Terdengar tangisnya yang tersedu-sedu, diiringi doa memohon perlindungan kepada Allah. Thawus berhenti. Setelah tangis mereda, Thawus mendekat dan berkata, “Wahai cucu Rasulullah, aku melihat anda meratap sedih, padahal anda memiliki tiga keutamaan yang dapat membuat anda merasa aman.”
Ali bertanya, “Apa tiga keutamaan itu?”
Thawus menjawab, “Pertama anda cucu Rasulullah. Kedua, anda bisa mendapatkan syafaat dari kakek anda. Ketiga, anda akan mendapat rahmat Allah.
Ali Zainal Abidin menjawab, “Wahai Thawus! Sekalipun aku keturunan Rasulullah, namun keturunan itu tidak menjadikan diriku aman dari rasa takut akan siksa Allah. Itu setelah aku membaa firman-Nya,
“Apabila sangkakala ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya.” (QS. Al Mukminun: 101)
Adapun tentang syafaat kakekku kepadaku, sesungguhnya Allah telah menegaskan dalam firman-Nya;
وَلَا يَشْفَعُونَ إِلَّا لِمَنِ ارْتَضَى وَهُمْ مِنْ خَشْيَتِهِ مُشْفِقُونَ
“…dan mereka tiada memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridhai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya.” (QS. Al Anbiya’: 28)
Dan mengenai rahmat Allah itu, Allah akan memberikan kepada orang yang selalu berbuat kebaikan sebagaimana firman-Nya yang artinya;
“…Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al A’raf: 56)
Meski sebagian keturunan Rasululah, beliau tidak berani berangkuh diri untuk merasa aman dan pasti selamat. Walaupun melihat keimanan dan ketakwaan yang beliau miliki, dengan ijin Allah, tiga hal itu sepertinya memang layak beliau dapatkan. Namun begitu, beliau menegaskan bahwa keturunan itu tidak akan banyak membantu jika tidak didahului dengan keimanan, lalu disertai ketakwaan dan amal shalih.
Rasulullah sendiri pernah mewanti-wanti anaknya juga kerabatnya. Dari Abu Hurairah beliau berkata,
قَامَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ أَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ [وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ] قَالَ يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ أَوْ كَلِمَةً نَحْوَهَا اشْتَرُوا أَنْفُسَكُمْ لَا أُغْنِي عَنْكُمْ مِنَ اللهِ شَيْئًا
Tatkala allah menurunkan ayat “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabat yang terdekat!”, (QS. Asy Syuara’: 214) Rasulullah pun berdiri dan berseru, “Wahai kaum Quraisy –atau perkataan yang mirip ini-, selamatkanlah jiwa kalian! Sesungguhnya aku tidak bisa menolong kalian dari ancaman Allah. Wahai bani Abdu Manaf, aku sama sekali tidak bisa menolong kalian dari ancaman Allah. Wahai Abbas bin Abdul Muthallib, aku tidak bisa menolongmu dari ancaman Allah. Wahai Shofiyah bibinya Rasulullah, aku sama sekali tidak bisa menolongmu dari ancaman Allah. Wahai Fatimah putri Muhammad, mintalah kepadaku apa yang engkau kehendaki dari hartaku, aku sama sekali tidak bisa menolongmu dari ancaman Allah.” (HR. Al-Bukhari no. 4771).
Ulama menjelaskan, hadits ini menegaskan bahwa para kerabat dari orang-orang shalih jangan terlena dengan kedekatan hubungan mereka denganya. Sebab orang shalih itu menjadi mulia karena keshalihannya sendiri, bukan karena tali kekerabatannya. (Kasyful Musykil ‘an Hadits Shahihain 1/897). Hadits ini juga tidak menafikan adanya syafaat dari Nabi. Nabi akan tetap diberi wewenang memberi syafaat kepada umatnya. Namun begitu, pada hakikatnya syafaat itu juga dari Allah, orang yang berhak mendapat syafaat juga orang yan diijinkan oleh Allah untuk mendapatknya dengan syarat dia adalah ahli tauhid atau mukmin.
Jadi sekali lagi, nasib masing-masing orang tergantung pada rahmat Allah dan kualitas diri. Jangan merasa bangga meski menjadi keturunan orang mulia, jika ternyata iman di dada belum seberapa. Tetap berusaha berlaku lurus dan memohon hidayah-Nya, niscaya keturunan itu akan membuat diri semakin mulia. Tak perlu pula merasa risau meski menjadi keturunan pendurhaka, jika iman dan takwa bisa tumbuh dan bertambah hingga menemui Yang Maha kuasa, Insyallah Jannahlah tempat kembalinya. Wallahu a’lam.
Sumber: majalah arrisalah edisi 122 hal. 38-39