Muslim Berkarakter Dalam Al-Qur’an dan Sunnah
Oleh: Abu Athif, Lc –غفر الله له ولواديه-
Beberapa waktu terakhir ini, sering kali kita mendapatkan atau mendengarkan ungkapan yang rasanya ingin mengesankan bijak dan lebih beradab di tengah masyarakat. Seperti ungkapan seseorang yang mengatakan ; “saya muslim demokratis”. Ada pula yang mengatakan; “saya muslim liberalis”. Sementara di lain kesempatan, ada juga yang mendeklarasikan dirinya sebagai “punk muslim”.
Bagi penulis, ungkapan-unkapan seperti yang disebutkan di atas sangatlah janggal dan terkesan kontradiktif. Bagaimana tidak kontradiktif, ketika sifat muslim disandingkan dengan kata yang bertolakbelakang dan bahkan sangat bertentangan. Misalnya dalam ungkapan “muslim demokratis”, dua kata yang disandingkan sangatlah kontras, muslim sebagai sebuah istilah yang menunjukkan pribadi beragama Islam dan siap diatur dengan syariat Islam yang bersumber dari wahyu Allah. Sementara demokratis adalah sifat yang dilandasi oleh nilai-nilai demokrasi berdasarkan atas kedaulatan rakyat dengan semboyan “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”.
Begitu pula dengan ungkapan “muslim liberalis”. Kata liberalis yang disandingkan sebagai sifat muslim adalah kontradiktif. Liberalis adalah istilah bagi peganut faham liberalisme. Sebuah faham dan pandangan filsafat yang melandaskan segala sesuatu di atas kebebasan dan persamaan hak. Tentu saja faham liberal tidak identik dengan Islam. Karena Islam adalah aturan syariat Ilahi yang mengikat bagi para pemeluknya. Ketundukan dan ketaatan penuh (loyalitas) menjadi penilaian mendasar dalam setiap aktivitas seorang muslim, sekaligus menjadi pembeda dengan orang kafir. Pertanyaan mendasarnya adalah adakah titik temu di antara kedua istilah tersebut ?! kalaupun ada, terkesan dipaksakan. Karena keduanya tidak akan pernah bertemu.
Sementara itu, muncul juga sebuah fenomena yang memprihatinkan dewasa ini yaitu penyalahgunaan labelisasi Islam atau syariat pada suatu komunitas atau trend tertentu yang hakikatnya tidak selaras dengan nilai-nilai Islam. Seperti munculnya penamaan suatu komunitas “punk muslim” misalnya. Dilihat dari semangat dan niatannya mungkin banyak pihak yang memberikan apresiasi. Namun ada sebuah kejanggalan yang patut untuk dicermati. Kejanggalan tersebut terletak pada madzhar (=penampilan) yang nampak pada diri setiap anggota komunitas tersebut. Mereka mengacu kepada penggagas Punk yang kafir di negeri barat. Mulai dari gaya pakaian hingga tutur katanya mengekor pada kultur penggagasnya. Dalam salah satu petikan wawancara di sebuah media, mereka menyebutkan bahwa yang membedakan antara mereka dengan Punkers lainnya adalah semangat ideology Islam. ( http://www.fimadani.com/punk-muslim-komunitas-anak-jalanan-yang-berideologi-islam/)
Di sisi inilah, perlu adanya taujih yang meluruskan semangat mereka. Tentunya semangat berideologi Islam bukan hanya sekedar semangat dalam hati namun juga nampak dalam sisi lahiriyahnya. Tidak ada yang salah dalam mendakwahkan Islam ke dalam komunitas-komunitas tertentu. Namun yang menjadi masalah ketika label Islam begitu mudahnya disematkan kepada sesuatu yang akar permasalahannya berbeda dengan Islam. Dikhawatirkan akan muncul di kemudian hari model Islam baru yang tidak sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad -shollallohu ‘alaihi wa sallam-. Inilah yang menjadi Kondisi terburuk seorang muslim manakala buta dengan panutan dan keteladanan Nabi Muhammad -shollallohu ‘alaihi wa sallam- namun terbelalak kagum dengan polah tingkah orang kafir. Begitu bahayanya masalah ini, hingga Rosulullah -shollallohu ‘alaihi wa sallam- melarang kita untuk meniru dan mengikuti gaya hidup orang kafir:
« مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ »
“Barang siapa menyerupai suatu kaum maka dirinya termasuk bagian dari mereka”. (HR. Abu Dawud).
Kondisi sebagian kaum muslimin yang mengikuti pola dan gaya hidup orang –orang kafir seperti pada zaman saat ini menunjukkan adanya krisis karakter sebagai muslim pada diri mereka. Ditambah lagi, kejahilan mereka terhadap profil figure yang baik. Sementara dalam Al Qurân bertaburan suri tauladan yang baik, terlebih khusus lagi adalah Nabi Muhammad -shollallohu ‘alaihi wa sallam- .
Merebaknya fenomena sebagian kaum muslimin mengikuti gaya hidup orang-orang kafir telah diprediksikan oleh Rosulullah -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dalam sebuah haditsnya:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ، وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ، حَتَّى لَوْ سَلَكُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوهُ»، قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ: اليَهُودَ، وَالنَّصَارَى قَالَ: «فَمَنْ»
Dari Abu Sa’id –semoga Allah meridhoinya-, bahwa Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- telah bersabda: “Sungguh kalian nanti akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, hingga kalaupun mereka memasuki lubang biawak pastilah kalian mengikutinya”. Kami berkata: “Wahai Rosulullah, apakah yang dimaksud adalah yahudi dan nasrani? Beliau bersabda: “siapa lagi”. (HR. Bukhori).
Mencermati fenomena hari ini dari hilangnya sebagian karakter kaum muslimin menjadi pertanda jauhnya mereka dari penduan wahyu Ilahi (Al Qurân dan al Sunnah). Ditambah lagi, terendusnya upaya makar dari pihak luar (kaum kafirin) yang mencoba membajak ajaran Islam agar kaum muslimin bisa diarahkan semau mereka demi kepentingan dan keuntungan kaum kafirin. Munculnya istilah-istilah Islam moderat, islam liberal, islam fundamentalis dan yang lainnya tak lebih dari upaya pengaburan karakter seorang muslim.
Iman dan karakter muslim
Sebuah pertanyaan mendasar yang harus dijawab oleh seorang muslim, apa tanda keislaman anda? Pertanyaan selanjutnya adalah apa yang membedakan diri seorang muslim dengan orang kafir? Bisa dipastikan jawaban cepatnya adalah karena membaca dua kalimat syahadat. Memang tidak salah dengan jawaban ini. Namun yang harus diperhatikan oleh seorang muslim adalah penghayatan dan pengamalannya.
Berbicara akhlaq dan karakter seorang muslim tentunya tidak bisa terlepas dari penghayatan dua kalimat syahadat. Karena keduanya menjadi poros motivasi seorang muslim untuk berprestasi di hadapan Allah Robb semesta alam. Dengan ungkapan lain, tidaklah muncul karakter seorang muslim hingga dirinya beriman dengan sebenar-benarnya.
Antara iman dan akhlaq adalah dua hal yang tak terpisahkan. Kebaikan dan keburukan iman seseorang bisa terlihat dalam akhlaq dan karakter yang muncul dari dirinya. Rosulullah -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
«أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا»
“Orang beriman yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaqnya”. (HR. Abu Dawud).
Kata khuluqon dalam bahasa Arab bermakna kondisi jiwa paling dalam yang darinya keluar perbuatan baik atau buruk tanpa perlu berfikir. Dengan ungkapan lain, khuluq adalah refleksi kejiwaan seseorang yang nampak dalam perilaku. Khuluq merupakan cerminan watak dan karakter seseorang.
Imam al Baghowi –rohimahullah– menjadikan hadits ini sebagai hujjah bahwa iman terdiri dari perkataan, perbuatan dan aqidah. Iman bisa bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Dari sini terlihat esensi karakter dan akhlaq yang menjadi buah dari iman. (Al Husain bin Mas’ud al Baghowi, Syarh al Sunnah (Beirut: al Maktab al Islami, cetakan III, tahun 1403 H) juz 1 hal 39)
Karakter seorang muslim merupakan perpaduan serasi antara amalan batin dan lahirnya. Tidaklah muncul karakter baik melainkan dari hati yang baik pula. Begitu pula sebaliknya, tidaklah muncul karakter buruk melainkan dari hati yang buruk. Amalan dzohir adalah cerminan hati. Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
ألاَ وَإنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَت صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، ألاَ وَهِيَ القَلْبُ
“Sesungguhnya dalam setiap jasad ada segumpal daging, apabila dia baik maka baiklah seluruh tubuhnya dan apabila dia buruk maka buruklah seluruh jasadnya, ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati”. (Muttafaq ‘alaih)
Berpijak dari keimanan inilah seorang muslim memahami bahwa tidak ada yang bisa menjadikan karakter diri dan masyarakatnya baik melainkan dengan pengamalan wahyu (Al Qurân dan Sunnah Nabi). Sudah sewajibnya seorang muslim berkarakter seperti yang disebutkan dalam Al Quran dan apa yang dituntunkan oleh Nabi Muhammad -shollallohu ‘alaihi wa sallam-.
Perintah untuk menjadi muslim berkarakter yang mencerminkan keimanan dan keislamannya telah banyak disebutkan dalam Al Qurân. Di antara cerminan karakter seorang muslim seperti yang disebutkan dalam surat al Hujurot ayat 15:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
“Sesungguhnya orang-orang beriman adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang jujur (imannya)”. (QS. Al Hujurot: 15)
Kesempurnaan perintah berkarakter muslim ini diiringi juga dengan dihadirkannya sosok panutan dan teladan tentang bagaimana seorang hamba bisa menampilkan karakternya sebagai mukmin dan muslim sejati. Dia adalah Nabi Muhammad -shollallohu ‘alaihi wa sallam-, profil seorang hamba yang dipuji karakter keperibadiannya dalam Al Quran. Sebagaimana firman-Nya:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sungguh telah ada pada diri Rasulullah suri tauladan yang baik bagi orang yang berharap bertemu dengan Allah dan hari Akhir serta banyak mengingat Allah”. (QS. Al Ahzab: ayat 21)
Begitu juga dalam firman Alla ta’ala:
وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Dan sesungguhnya engkau (wahai Muhammad) berada di atas akhlaq yang agung”. (QS. Al Qolam: ayat 4)
Ibunda ‘Aisyah –radhiyallohu ‘anha- pernah ditanya tentang akhlaq dan karakter Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- maka beliau menjawab; “akhlaqnya Nabi adalah Al Qurân”. (Ahmad bin al Husain al Baihaqi, Syu’ab al Iman (Riyadh: Maktabah al Rusyd, cetakan I, tahun 1423 H) juz 3 hal 23)
Bisakah karakter diubah?
Mungkin ada di antara kita pernah menjumpai dalam berinteraksi antar sesama sebuah permakluman dari teman atau kerabat lainnya terkait watak dan karakter buruk yang dimiliki. “Maaf ya, memang karakter saya seperti ini, mohon dimaklumi” demikian salah satu contoh permakluman yang sering kita dapati. Ucapan buruk, mudah marah, tingkah laku kasar, tidak ada kepedulian dengan orang lain, bersikap cuek dan berbagai tingkah laku buruk lainnya sering kali dianggap sebagai karakter yang tidak bisa diubah. Lebih parah lagi, jika watak buruk tersebut sering kali disandarkan kepada Sang Kholiq Yang Maha Pencipta; “… Maaf ya, watak saya memang mudah marah, sudah dari sananya (sambal menunjuk jari telunjuknya ke langit)”. Subhanalloh, sebuah perilaku tidak beradab kepada Allah ta’ala.
Hari-hari ini banyak pula yang begitu mudah mempercayai teori psikologi dari orang-orang kafir barat yang menyatakan bahwa karakter dan watak tidak bisa berubah. Akibatnya mudah sekali bagi individu yang terdapat watak atau kepribadian buruk memvonis dirinya tidak bisa berubah. Sehingga dengan santainya minta permakluman dari orang lain.
Bagi orang yang kritis dan jeli, tentu saja anggapan bahwa karakter tidak bisa dirubah tidak selalu benar. Mengingat banyak fakta yang menunjukkan adanya perubahan karakter atau kepribadian yang sebelumnya buruk menjadi baik. Sebagai contoh adalah perubahan karakter dalam diri Umar bin Khattab –radhiyallohu ‘anhu-. Seperti yang disebutkan dalam banyak literature sejarah, bahwa umar bin Khattab sebelum masuk Islam adalah pribadi yang bengis dan kejam khususnya terhadap Islam dan kaum muslimin. Rasa kebencian dan permusuhannya terhadap Rosulullah Muhammad -shollallohu ‘alaihi wa sallam- menjadikan diriya berada dalam barisan terdepan dalam memerangi Islam dan kaum muslimin di kota Makkah saat itu.
Setelah beliau masuk Islam, perubahan mendasar terjadi pada karakter Umar bin Khattab -radhiyallohu ‘anhu-. Beliau adalah orang yang paling mencintai Allah dan Rasul-Nya. Beliau adalah orang yang paling menyayangi kaum muslimin. Orang yang paling zuhud terhadap dunia. Pernah suatu ketika beliau berjalan di pasar Madinah mengenakan baju jubbah yang terbuat dari wol kasar dan terdapat banyak tambalan jahitan sementara beliau saat itu telah menjadi pemimpin besar kaum muslimin.
Dikisahkan pula bahwa beliau adalah orang yang paling mudah menangis. Berkata Abdullah bin Isa: “Di wajah Umar bin Khattab terdapat dua garis hitam yang disebabkan seringnya beliau menangis”. (Jalauddin Abdur Rohman al Suyuthi, Târîkh al Khulafâ (Kairo: Dâr al Ghodd al Jadid, cetakan I, tahun 1428H) Hal 137)
Begitu pula yang terjadi pada diri seorang ulama besar seperti Fudhoil bin ‘Iyadh –rohimahulloh-. Dikisahkan bahwa beliau dahulunya seorang penyamun yang beroperasi di wilayah Abyurod dan Sarkhos. Orang yang sangat cinta dan tamak terhadap dunia. Lalu perubahan besar pun terjadi saat hidayah menyapa hatinya. Kemudian beliau menjadi orang paling zuhud terhadap dunia. Bahkan sisa umur yang dimilikinya didedikasikan untuk Islam.
Inilah dua profil mulia dari mutiara-mutiara keteladanan yang muncul dari tempaan pendidikan Islam. Masihkah kita memvonis diri tidak bisa merubah watak dan kepribadian buruk? Sementara telah banyak manusia yang berubah menjadi mulia karena merubah karakternya berdasarkan ajaran Islam.
Menjadi muslim berkarakter
Seorang muslim adalah sebaik-baik manusia di atas muka bumi ini, dikarenakan sifat dan karakter baiknya. Muslim ideal adalah yang mampu mengejawantahkan Al Quran dalam kehidupannya sehari-hari. Pada hakikatnya, seluruh isi al Qurân dan apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bertujuan mendidik manusia berkarakter baik dan mulia. Seperti yang dijelaskan oleh Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- sendiri dalam haditsnya:
« إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ »
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia”. (HR. Baihaqi)
Akhlaq dan karakter baik yang muncul dari diri seseorang bukanlah semata-mata difahami dari sudut humanis saja. Namun akhlaq dan karakter yang muncul betul-betul menunjukkan keislaman dan keimanan. Dengan kata lain, akhlaq dan karakter yang muncul mencakup aspek hubungan kepada Allah Robb semesta alam dan kepada semua makhluq.
Bagi yang melihat seluruh syari’at Islam dengan jeli dan teliti maka akan didapatkan bahwa Islam adalah satu-satunya ajaran yang mengatur kehidupan seorang hamba untuk menjadi makhluq yang berakhlaq dan berkarater mulia. Dari mulai beradab kepada Allah hingga beradab dengan makhluq jin telah diatur dalam syari’at Islam.
Tentu saja karakteristik seorang muslim tidaklah muncul begitu saja, melainkan dengan upaya dan kesungguhan hati. Bagi seorang muslim, berakhlaq mulia dan menampakkan karakternya adalah sebuah ibadah. Tidak mengherankan, jika selevel Heraklius Sang Kaisar Romawi terkagum-kagum dengan kuatnya karakter Islam yang dimiliki oleh Abdullah bin Hudzafah al Sahmi salah seorang sahabat Nabi. Di saat ancaman kematian yang mengerikan dihadapkan kepada beliau oleh Kaisar Heraklius, ditawarkan kepadanya keselamatan dengan catatan mau pindah ke agama nashrani dan mau bergabung bersama Heraklius. Iming-iming fasilitas duniawi pun juga sudah menanti kalau beliau mau bergabung bersama tentara Romawi. Namun karena iman yang menghunjam di dada, Abdullah bin Hudzafah al Sahmi menolak tawaran itu semua. Bagi beliau mati tersiksa di atas keimanan jauh lebih baik dari pada hidup dalam kondisi murtad. Karena akhlaq dan karakter seorang muslim merupakan bagian ibadah yang dengannya akan dimintai pertanggungjawaban di sisi Allah ta’ala.
Akhlaq yang terpancar dari diri seorang muslim menjadi karakteristik yang tidak dimiliki oleh orang lain. Hanya orang beriman saja yang memiliki karakter hebat dan mulia seperti yang difirmankan oleh Allah ta’ala ketika menyifati orang-orang yang berkomitmen dengan Iman dan Islamnya.
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah bersikap keras terhadaporang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesame mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhoan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada wajah mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat. Dan sifat-sifat mereka dalam Injil yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan hati para penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang berimandan mengerjakan amal sholih di antara mereka ampunan dan pahala yang besar”. (QS. Al Fath: 29)
Imam Ibnu Jarir al Thobari dalam tafsirnya menjelaskan bahwa orang-orang yang bersikap tegas terhadap orang-orang kafir, berkasih sayang terhadap saudara-saudara seiman dan mengerjakan sholat menjadikan amalannya sebagai wasilah untuk mendapatkan keridhoan dan karunia Allah. (Muhammad bin Jarir al Thobari, Jâmi’ al Bayân fî ta’wî al Qurân (Muassasah al Risalah, cetakan I, tahun 1420 H) juz 22 hal 261)
Di antara point penting yang terkandung dalam ayat mulia tersebut adalah penegasan bahwa sifat-sifat kemuliaan yang Allah kehendaki bagi pribadi Nabi Muhammad beserta para sahabatnya adalah karakter yang tidak disukai oleh orang-orang kafir. (Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al Qurthubi, Al Jâmi’ li Aẖkâm al Qurân (Kairo: Dâr al Hadits, cetakan tahun 1423 H) juz 16 hal 562)
Dengan kata lain, karakter yang coba selalu dijaga oleh orang beriman akan senantiasa mengundang permusuhan dari orang-orang kafir. Inilah yang membuat kaum muslimin selalu berbeda dengan orang-orang kafir. Karena sejatinya nilai-nilai kebenaran dan kebaikan tidak akan pernah bisa disampaikan kecuali orang-orang yang mencintai keduanya. Hanya seorang muslim sejati yang mencintai kebenaran dan kebaikan yang datang dari Allah dan Rasul-Nya.
Jadi bisa ditarik kesimpulan bahwa karakter seorang muslim tidaklah sama dengan orang kafir. Karakter yang dimiliki oleh seorang muslim adalah karakter yang terdapat dalam Al Qurân dan Sunnah Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam-. Akhlaq dan karakter muslim menjadi pancaran iman yang tidak terpisahkan dalam koridor ibadah kepada Allah ta’ala. Wallohu a’lam.