Mulia Saat Miskin Maupun Kaya
فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ (15) وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ (16
“Adapun manusia apabila Rabbnya mengujinya lalu dimuliakan-nya dan diberi-nya kesenangan, maka dia berkata, “Rabbku telah memuliakanku”. Adapun bila Rabbnya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata, “Rabbku menghinakanku”. Sekali-kali tidak(demikian)….” ( QS. al-Fajr: 15-17)
Sapaan pertama yang paling jamak diungkapkan untuk teman lama yang tak lama ketemu adalah “wah…sekarang sudah makmur”, “sekarang sudah jadi orang”, “sekarang sudah bahagia”, atau “sekarang hidupmu sudah mulia”. Itu jika yang didapatkan adalah teman yang berbadan gemuk, kaya raya, atau kelihatan berpakaian parlente. Memang begitulah rata-rata orang mengukur kemuliaan dan kehormatan, yakni dari sudut harta, tampilan maupun jabatan. Tapi, ayat yang kita bahas ini meluruskan asumsi salah tersebut.
Harta Bisa berarti Siksa
Harta tak selalu menjadi sumber kebahagiaan bagi pemiliknya. Pikiran tegang saat memburunya, memeras keringat ketika mendapatkannya, dan kekhawatiran akan lenyapnya harta yang berada dalam genggamannya adalah indikasi yang bertentangan dengan kebahagiaan. Bahkan, ujung dari siksa itu adalah penyesalan mendalam saat perpisahan antara dirinya dengan hartanya benar-benar terjadi. Mungkin karena hartanya harus berpindah tangan, lenyap oleh bencana, atau lantaran ajal yang terakhir ini hanya tinggal menunggu waktu, tak satupun manusia yang mampu mengelak darinya.
Kalaupun mereka mampu merasakan manisnya hasil jerih payah yang diupayakan, toh tak akan bertahan lama. Karena muara harta dari tangan pemburu dunia dan lalai dari agamanya tak akan jauh dari kesenangan yang berbau maksiat. Dan pasti, kesenangan itu akan berbuntut penderitaan di dunia, kesengsaraan di akhirat, kecuali yang bertaubat.
Pergi ke klub malam, menenggak khamar, menghisap narkoba, mencari wanita, membanjiri hiburan pemuas syahwat dan aktivitas lainnya yang berkenaan dengan kenikmatan perut dan bawah perut. Sudah bisa ditebak `ending’ dari semua itu. Perselingkuhan, cekcok suami istri yang berujung perceraian dan anak yang terganggu pisikisnya, atau kecanduan narkoba yang dampak paling ringan adalah masuk bui. Kalaupun tidak, penderita karena kecanduan itu sudah merupakan siksa luar biasa. Belum lagi jika ia tidak bisa menebus barang haram yang meracuninya. Hadirnya penyakit berbahaya akibat maksiat-maksiat itu juga telah mengintainya.
Semua alasan diatas menjadikan kita tidak kesulitan dalam memahami maksud firman Allah, “Maka janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (memberi) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan dunia….” (QS.at-Taubah: 55)
Ya, harta yang Allah tumpahkan atas mereka itu adalah untuk menyiksa mereka, bukan untuk memuliakan mereka.
Tidak selalunya pula orang kaya itu terhormat dalam pandangan orang di sekitarnya. Karakter pemburu nafsu adalah bakhil, tidak akan mengeluarkan sesuatu dari hartanya, kecuali jika dengannya mereka mendapat kepuasan syahwatnya. Padahal, jika diukur dengan parameter syahwat, taka da yang nikmat dalam menunaikan zakat dan sedekah. Kenikmatan adalah jika ia bisa memuaskan diri sendiri. Sikap bakhil ini menjadi bibit munculnya rasa benci orang-orang miskin sekitar kepadanya. Imaj orang terhadap merekapun buruk. Doa keburukan akan teralamatkan untuknya, dan tidak menutup kemungkinan, perlakuan jahat akan ia dapatkan dari orang-orang yang nekat ingin mendapatkan sebagian kekayaannya.
Semua kehinaan dan penderitaan yang demikian pahit itu masih belum seberapa dibandingkan kehinaan dan kesengsaraan yang kelak mereka rasakan di akhirat.
“Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-ku akan masuk neraka jahannam dalam keadaan hina dina”.(QS. Al-Mukmin: 60)
Miskin dan Kaya Hanyalah Ujian
Kaya atau miskin bukan ukuran mulia atau hina. Kekayaan bisa berarti siksa, sedangkan kemiskinan boleh jadi menjadi karunia. Keduanya tak lebih dari sebagian ujian, mana yang mulia, mana yang hina tergantung bagaimana masing-masing menyikapi ujian yang mereka hadapi.
Nabi saw bersabda,
إن لكل أمة فتنة و فتنة أمتي المال
“Sesungguhnya setiap umat itu menghadapi cobaan, cobaan umatku adalah berupa harta.” (HR Tirmidzi)
Ibnu Qayyim dalam Tafsir al-Qayyim-nya menjelaskan surat al-Fajr ayat ke 15-17 diatas berkata, “Allah mengabarkan bahwa dia menguji hambanya dengan memberi kenikmatan dan melimpahkan rezeki atasnya. Allah juga menguji manusia dengan sempitnya rezki. Keduanya adalah ujian dan cobaan. Kemudian Allah menyanggah atas anggapan orang bahwa terbukanya pintu rizki dan melimpahnya harta adalah bukti Allah memuliakan dirinya, dan bahwa sempitnya rezki adalah pertanda Allah menghinakannya. Allah menyanggah anggapan itu “Sekali-kali tidak demikian!”, yakni, anggapan orang-orang itu tidaklah benar, terkadang Aku menyiksa dengan nikmat-Ku dan memberikan nikmat dengan cobaan-Ku.
Orang Miskin yang Mulia, Orang Kaya Tinggi Derajatnya
Nilai kemulian orang kaya adalah dengan syukurnya. Ia mengetahui bahwa semua nikmat itu dari Allah. Ia juga memuji Allah dengan lisannya. Dan yang tak kalah penting, ia menggunakan nikmat Allah sesuai dengan kehendak sang Maha pemberi karunia. Dengannya, dia mampu meraih derajat tinggi di sisi Allah sebagai hamba yang bersyukur.
Namun jika ia kufur, maka kekayaan menjadi sebab kehinaan dirinya, sekaligus ‘modal’ untuk menuai penderitaan dan kesengsaraan.
Sedangkan kemuliaan orang miskin adalah dengan bersabar, tetap berbaik sangka kepada Allah. Kemiskinan tidak membuatnya marah kepada Allah, berputus asa dari rahmat-Nya, ataupun terjun ke dalam dosa untuk mengentaskan diri dari kemiskinan.
Roda terus berputar, namun di manapun posisi kita, tetap saja bisa meraih kemuliaan. Syukur di saat kaya, sabar di saat miskin. Allahu a’lam.
(sumber: majalah ar risalah: 87)