Muhasabah Kembali Ibadah Kita
Oleh: Ust. Marzuki Ibnu Syarqi
Selayaknya tubuh, ibadah yang Allah syariatkan memiliki dua unsur; zahir dan batin, ruh dan jasad. Bacaan terangkai dalam dzikir dan doa, gerakan anggota badan saat menunaikan, itulah unsur zahir yang bisa kita dengar dan saksikan. Sedangkan batin dan ruhnya adalah kedalaman makna, kehadiran jiwa saat melafalkan setiap bacaan dan menunaikan setiap gerakan, juga pengaruhnya dalam hati yang kemudian berdampak pada iman dalam hati, ucapan lisan, juga amal perbuatan setelah ibadah ditunaikan.
Oleh sebab itu ibadah hakikatnya adalah nutrisi bagi hati dan rehat untuk jasad, maka sudah selayaknya ia memberi pengaruh besar pada jiwa dan raga; hati mendapatkan ketentraman dan ketenangannya, kebahagiaan dan kelapangannya, mendapatkan obat dari segala macam penyakitnya, mendapatkan rehat dari kepenatan dari dunia dengan segala permainannya.
Shalat sebagai salah satu ibadah paling utama. pembeda seorang muslim dengan selainnya. Penghubung langsung antara seorang hamba dengan Rabbnya; Sudah shalat juga ibadah kita sekian lama kepada Allah memberi pengaruh dan membekas dalam jiwa dan kehidupan kita? Sudahkah kita merasakan shalat sebagai nikmat? Sebab ada orang yang shalat tapi yang ia pikirkan adalah bagaimana shalatnya cepat selesai. Ada yang rajin shalat tapi juga masih giat dalam maksiat. Shalih saat berada di keramaian, tapi jadi ahli maksiat saat sendirian. Sudah shalat sekian lama, tapi belum merasakan kenikmatannya. Sudah shalat puluhan tahun tapi jiwa masih belum nerasakan kesejukannya. Padahal, Shalat seharusnya dapat mencegah kita dari perbuatan keji dan mungkar. Itu janji Allah yang Mahabenar.
“Sesungguhnya shalat dapat mencegah dari perbuatan keji dan munkar.” (QS. Al-Ankabut: 45)
Shalat adalah pelapang dada dan penyejuk jiwa, sebagimana sabda Nabi kita Rasulullah Muhammad Shalallahu alaihi wasallam,
وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ
“Dan dijadikan (olehNya) shalat sebagai penyejuk jiwaku.” (HR. Al-Hakim)
Obat majarab dari segala nestapa dan ujian dunia. Oleh itu apabila hendak memulai shalat Rasulullah bersabda kepada Bilal, “Wahai Bilal kumandangkan iqamat untuk shalat, rehatkan kami dengan shalat.” (HR. Abu Dawud)
Lalu bagaimana dengan shalat kita? Apakah sudah demikian adanya? atau kita shalat namun hati tetap gersang dan jiwa terasa hampa?
Salah Memaknai Ibadah
Inilah yang penting untuk kita muhasabah. Mungkin ini kita salah memaknai ibadah; memandang ibadah sebatas bacaan lisan dan gerakan anggota badan, tanpa diikuti dengan ibadah hati. Lisan kita mengucap Allâhu akbar akan tetapi hati kita tidak turut membesarkan dan mengagungkan Allah di dalam batin. Hati tidak merendahkan diri dan tidak pula merasa kecil dihadapan Allah. Tujuh anggota tubuh menempel sujud ditanah, sembari lisan mengucap subhâna rabbiyal ‘alâ akan tetapi hati tidak ikut merasakan Kemahatinggian Allah dam keagungan-Nya, sementara diri tiada merasakan kerendahan diri di hadapanNya, bahkan mungkin rasa bangga dan besar diri masih saja bercokol dalam hati. Padahal jika kita perhatikan dengan seksama semua ibadah kepada Allah senantiasa dikaitkan dengan ibadah hati; shalat, shaum, infak dan sedekah, zakat, haji tanpa kecuali. Mari kita renungkan ayat-ayat berikut;
Pada bagian awal surat Al-Baqarah Allah berfirman, “Yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib, menunaikan shalat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang kami berikan kepada mereka.” (QS. Al-Baqarah: 3) Dalam ayat ini Allah menyebutkan shalat yang merupakah indah anggota badan dan infak yang merupakan ibadah harta didahului dengan iman kepada yang ghaib, sedangkan iman kepada yang ghaib adalah amalan hati. Demikian pula Dalam Surat An-Naml Allah berfirman,
“Yaitu orang-orang yang melakanakan shalat, dan menunaikan zakat, dan mereka meyakini adanya kehidupan akhirat.” (QS. An-Naml: 3) Dalam ayat ini Allah menggandengkan shalat dan zakat dengan al-yaqîn sedangkan yakin adalah ibadah hati.
Dalam surat At-Taubah ayat 18 Allah menyebutkan ibadah shalat, zakat dan memakmurkan masjid beiringan dengan iman kepada hari akhir dan khasyyah (rasa takut) kepada Allah. Dan Khasyyah kepada Allah adalah amalan hati.
Demikian pula shaum diiringi dengan penyebutkan ikhlas dan ihtisab, sebagaimana disebutkan dalam hadits qudsi; “Shaum adalah untukKu dan Aku yang akan membalasnya. Dia meninggalkan syahwatnya, makan dan minumnya demi Aku.”
“Siapa yang menunaikan shaum Ramadhan karena iman dan ihtisab maka diampuni untuknya dosa-dosanya yang telah lalu.” (Muttafaq alaih)
Ibadah Haji sebagai rukun Islam yang kelima, Allah menyebutkan di dalamnya terdapat ibadah hati berupa ikhlas, syukur, ihsan, sabar, takut kepada Allah, ketundukan dan kepasrahan diri, serta pengagungan terhadap perintah dan larangan Allah (ta’zhim). Allah berfirman,
“Beribadahlah dengan ikhlas kepada Allah tanpa mempesekutukan-Nya. Barangsiapa mempersekutukan Allah, maka seakan-akan dia jatuh dari langit lalu disambar burung atau dihempaskan angina ketempat yang jauh. Demikianlah perintah Allah. Dan barangsiapa yang mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya hal itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al-Hajj: 31-32)
Dalam ritual ibadah penyembelihan hewan qurban pun, sejatinya yang sampai kepada Allah bukanlah aliran darah dan dagingnya, akan tetapi ketakwaan yang ada di dalam dada para pengamalnya. Allah berfirman, “Daging hewan qurban dan darahnya itu ekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, akan tetapi yang sampai kepadaNya adalah ketakwaan kamu…” (QS. Al-Hajj: 37)
Menghadirkan Ruh Ibadah
Kelezatan ibadah tidak akan dirasakan kecuali oleh mereka yang bisa menghadirkan ruh ibadah, menghadirkan hati dengan amal yang sesuai untuk setiap ucapan lisan dan gerak tubuhnya. Menghadirkan hati sebelum, saat dan setelah ibadah usai ditunaikan. Inilah rahasianya mengapa ayat-ayat ibadah anggota badan selalu dikaitkan dengan ibadah hati karena dengan itulah ibadah itu akan hidup, memiliki ruh, menggerakkan jiwa. Ibadah tidak akan sekadar menjadi rutinitas tanpa makna, apalagi menjadi beban. Sebaliknya ibadah menjadi sumber ketenangan dan kenikmatan.
Inilah makna dari ucapan baginda Nabi Shallalhu alaihi wasallam kepada Bilal bin Rabah bila iqamat sudah menjelang, “Wahai Bilal, kumandangkan iqamah, rehatkanlah kami dengan shalat.”
Adapun orang-orang munafik, mereka juga beribadah kepada Allah sebagai kaum mukminin beribadah, mereka rukuk dan sujud sebagaimana kaum mukminin bersujud, mereka berada di shaf yang sama dengan kaum mukminin dalam shalat, bahkan ada pula dari mereka berada dalam barisan pasukan yang berjuang membela agama Allah. Mereka membaca bacaan yang sama dengan bacaan shalat kaum mukminin. Akan tetapi mereka hanya merukukkan dan mensujudkan badan tanpa diikuti dengan sujudnya hati dan jiwa kepada Allah Rabbul Izzati. “Mereka mungucapkan dengan lisan mereka apa-apa yang tidak ada dalam hati mereka.” (QS. Al-Fath: 11)
Inilah rahasiannya sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, “Amal hati adalah asal, pondasi dari amal anggota badan, bahkan amal anggota badan sejatinya hanyalah mengikuti amalan hati. Siapa saja yang memerhatikan dengan seksama syariat dari pokok hingga cabangnya, maka ia akan mendapati keterhubungan kuat antara amal anggota badan dengan amalan hati. Dan pula bahwa amal anggota badan tidak akan bermanfaat tanpa didasari amal hati. Bahkan bisa dikatakan amal hati lebih wajib bagi seorang hamba daripada amal anggota badan…ubduiyah hati lebih agung daripada ubduiyah badan, lebih banyak dan lebih bersinambungan, karena ia adalah kewajiban sepanjang waktu.” (Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Badai’ul Fawaid: 3/224)
Oleh itu menata kembali ibadah kita, yang mana shalat adalah ibadah yang paling utama, menjadi sebuah kewajiban. Jika kita begitu antusias dan peduli untuk membetulkan tatacara dan kaifiyat ibadah agar sesuai dengan tuntutan yang dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad shalallahu alaihi wasallam, maka demikian pula seharusnya kita pun peduli untuk menata ruh dari setiap ibadah yang kita lakukan.
Dengan demikian ibadah kita bisa meningkat tidak saja secara kuantitas tetapi juga secara kualitas. Karena, kepedulian untuk terus memperbaiki kualitas ibadah –sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim Al-Jauziyah- adalah pertanda hati yang salim (sehat). Mudah-mudahan Allah mengaruniakan kepada kita semua kenikmatan iman dan ibadah di dunia dan kenikmatan memandang wajah-Nya di surga.