وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ فِي يَدِهِ ، لَيَأْتِيَنَّ عَلَى أَحَدِكُمْ يَوْمٌ ، وَلَا يَرَانِي ، ثُمَّ لَأَنْ يَرَانِي ، أَحَبُّ إِلَيْهِ مَنْ أَهْلِهِ وَمَالِهِ مَعَهُمْ
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh akan datang suatu masa saat mana salah seorang kalian tidak melihatku lalu menginginkan melihatku dan itu lebih dia sukai daripada keluarga dan hartanya.” (HR. Muslim)
Syaikh Musthafa al ‘Adawi memasukkan hadits ini dalam klasifikasi hadits-hadits tanda kiamat dalam kitabnya, Ash Shahihul Musnad min Ahadiitsil Fitan wal Malahim wa Asyratus Sa’ah. Dan benarlah, di akhir zaman seperti ini, tak sedikit umat Islam yang ingin bertemu Nabi walau hanya dalam mimpi.
Siapakah gerangan yang tak rindu kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam? Hati yang berserah diri pasti merindukan pertemuan dengan manusia mulia ini. Manusia yang seluruh gerak-geriknya dituturkan turun temurun. Sabda-sabdanya dijadikan pedoman, perilakunya dijadikan acuan bahkan diamnya atas suatu perkara menjadi suatu ketetapan. Bertemu dengan beliau, tentulah rasanya akan sangat luar biasa menyenangkan melebihi pertemuan dengan tokoh dunia, sehebat apapun dia.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengisyaratkan bahwa di akhir zaman, umatnya masih mungkin bertemu beliau, walau hanya dalam mimpi. Beliau memastikan bahwa jika seorang muslim mimpi bertemu beliau, maka pasti itu adalah beliau, bukan yang lain. Meskipun setan mampu berubah wujud segala rupa, makhluk terlaknat ini ditakdirkan tak akan mampu menjelma sebagai diri beliau yang mulia. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
من رأني في المنام فسيراني في اليقظة، ولا يتمثل الشيطان بي
“Barang siapa yang melihatku di mimpi maka ia sungguh telah melihatku, karena setan tidak bisa meniruku.” (HR. Al-Bukhari no 110 dan Muslim no 2266)
Namun demikian, mimpi bertemu Nabi sebenarnya bukanlah jaminan atas kemuliaan seseorang. Mimpi bertemu Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam akan bermanfaat jika setelah pertemuan itu, orang yang bermimpi tambah taat. Kerinduannya yang terobati menyuntikkan semangat untuk lebih taat dan lebih baik lagi. Tapi jika sebaliknya, setelah mimpi bertemu beliau, dirinya justru mengarang-ngarang cerita, ujub atau merasa menjadi pribadi pilihan dan mengabaikan syariat, mimpi itu sama sekali tak berarti.
Syaikh Ibnu Baz menyatakan, bertemu Nabi dalam mimpi statusnya sama dengan bertemu beliau saat beliau masih hidup di kehidupan nyata. Jika setelah bertemu Rasulullah seseorang kemudian masuk Islam dan taat. Mulialah dirinya. Akan tetapi yang setelah bertemu beliau tetap kufur, hinalah dirinya. Banyak yang bertemu Nabi bahkan ketika beliau masih hidup tapi pertemuan itu tak ada gunanya karena mereka tidak beriman kepadanya.
Selain itu, perlu diwaspadai pula tipuan setan dalam hal ini. Bisa saja seseorang mimpi bertemu dengan sosok yang mengaku Nabi, padahal dia adalah setan yang menjelma sebagai sosok lain, bukan Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam ciri fisik Nabi Muhammad memang telah dijelaskan dalam beberapa hadits. Hanya saja, semua ciri fisik itu dideskripsikan secara verbal, bukan visual karena memang Nabi Muhammad saw, dan pada dasarnya semua makhluk bernyawa, tidak boleh digambar. Artinya tidak ada ilustrasi yang bisa benar-benar dijadikan acuan untuk membedakan antara beliau dengan setan yang mengaku sebagai beliau.
Nah, yang justru bisa kita jadikan pembeda adalah apa yang disampaikan oleh sosok dalam mimpi tersebut. Jika yang disampaikan menyelisihi beberapa poin ini, besar kemungkinan sosok tersebut bukanlah Nabi;
Pertama, menyampaikan sesuatu yang menyelisihi, mengurangi, atau menambah nash al-Qur’an dan hadits yang sudah ada. Hal ini mustahil karena risalah Nabi sudah selesai. Beliau telah menyampaikan seluruh syariat Allah dengan sempurna dengan dasar ayat 3 surat al Maidah. Tidak mungkin belaiu mengubah atau meralat syariat hanya melalui mimpi yang disampaikan hanya kepada satu orang hidup yang hidup jauh setelah beliau wafat. Jika bisa demikian, bagaimana nasib umat yang hidup di antara wafatnya beliau dan saat ralat itu disampaikan dalam mimpi? Ini jelas mustahil.
Kedua, menyampaikan sebuah ketetapan yang petunjukkan sudah ditetapkan dalam syariat. Misalnya, pada malam 30 Sya’ban orang-orang tidak ada yang melihat hilal hingga Ramadhan akan jatuh satu hari setelah hari esok (Sya’ban genap 30 hari). Tapi kemudian ada yang bermimpi bertemu Nabi yang menyatakan bahwa besok adalah tanggal 1 Ramadhan. Ini tidak bisa dibenarkan dan tidak bisa dijadikan landasan karena syariat telah mengatur penentuan permulaan Ramadhan dengan melihat hilal, bukan mimpi bertemu Nabi. (lihat al-Majmu’ Syarh al Muhadzdzab, Imam an Nawawi: VI/281)
Ketiga, menyampaikan suatu amalan baru dan menjadikan pahala atau ancaman dosa bagi amal tersebut, padahal tidak tercantum dalam nash yang shahih. Misalnya mimpi penjaga kubur Nabi yang bermimpi bertemu Nabi dan mendapat suatu wasiat khusus yang harus disebarluaskan. Bagi yang memfoto kopi sekian lembar dan menyebarnya akan mendapat pahala, sedangkan yang mengabaikan akan disiksa. Ini mustahil karena seluruh amalan berpahala dan berbagai ancaman dosa sudah ditetapkan dalam syaiat. Mungkin ada yang menyanggah, bukankah itu juga sabda Nabi? Perlu diingat, sabda Nabi atau hadits hanya bisa diterima dan dijadikan dasar hukum, hanya jika si periwayat (rowi) menerima hadits itu dalam kondisi sadar, bukan tidur apalagi ngelindur. Ini sudah menjadi kesepakatan ulama sebagaimana dinyatakan oleh Imam an Nawawi dalam Syarh an Nawawi ‘Ala Shahih Muslim: I/50.
Jadi, mimpi bertemu Nabi pada dasarnya hanyalah salah satu peluang bagi seseorang untuk mengambil manfaat. Jika membuatnya semakin taat, mimpi itu adalah karunia. Tapi jika justru sebaliknya, bisa jadi semua itu hanyalah tipuan setan.
Lebih dari itu, menurut Imam an-Nawawi dalam penjelasan hadits di atas, berangan untuk bertemu Nabi pada dasarnya memiliki makna kiasan berupa keinginan untuk ‘bertemu’ dengan sabda-sabda beliau, majelis-majelis ilmu dan dzikrullah. Bukan sekedar bertemu dalam mimpi. Inilah yang akan menyampaikan seseorang pada pertemuan sesungguhnya dengan beliau. Wallahu a’lam.
Sumber: majalah arrisalah edisi 151 hal. 45-46