Menyelaraskan Jiwa Menyambut Bulan Mulia

Menyelaraskan Jiwa Menyambut Bulan Mulia

Telah dekat bulan takwa, tak samar lagi tentang keutamaan dan fasilitas mewah yang tersedia bagi insan bertakwa. Tapi, apakah jiwa kita compatible, cocok, selaras dengan fasilitas itu. Kurang pas jika tubuh kotor, berkeringat sehabis kerja keras atau berolah raga lantas disemprot dengan parfum sebotol. Tidak elok baju yang kotor banyak noda dan bau langsung diseterika. Tidak pula serasi ketika motor dalam kondisi ban kempes, bensin habis, rem blong lalu dicat mewah berikut ditambah accessories yang wah.

Begitupun dengan jiwa kita yang akan berpadu, dipertemukan dengan momen mulia. Akankah kita akan bertemu dengannya sementara jiwa berlumur dosa? Lisan masih biasa bicara dusta, mata dan telinga masih terus mengonsumsi dosa dan nafsu terus diperturutkan apa yang diinginkannya? Apakah layak nantinya kita berpuasa dari makanan yang secara asal halal, namun berbuka dengan makanan yang haram, baik secara dzat maupun cara mendapatkannya?

Selayaknya kita bersih-bersih jiwa dengan taubat nasuha, dan tidak berkotor-kotoran lagi dengan dosa. Mulai juga menghias diri dengan amal-amal utama. Saatnya jika Allah pertemukan kita dengan Ramadhan, maka jadilah pertemuan yang istimewa, serasi dan sempurna. Jiwa yang bersih bertemu dengan momen yang wangi nan indah.

Sebagai bulan amal dan mujahadah, jiwa yang akan memasukinya juga butuh riyadhah, yakni olah jiwa, latihan maupun pemanasan. Seperti orang yang hendak berlomba untuk sebuah perlombaan, dibutuhkan latihan dan pemanasan agar tidak terjadi shock ataupun keterkejutan otot yang bisa menimbulkan cidera. Atau setidaknya menjadi tidak optimal dalam berlomba.

Padahal Ramadhan adalah perlombaan yang hadiahnya super istimewa. Butuh latihan khusus dan komitmen khusus untuk bisa memenangkannya. Di antara riyadhah atau cara latihan yang terbaik sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyah adalah dengan ‘tahdzibul akhlaq bil ‘ilmi’, menertibkan akhlak dengan ilmu.

Diawali dengan ilmu tentang keshalihan dan keutamaan untuk dikerjakan, juga tentang keburukan dan dosa untuk ditinggalkan. Setelah itu mendisiplinkan jiwa dalam mengejawantahkan ilmu ke dalam amal nyata. Hingga ketika dilakukan secara kontinyu niscaya akan menjadi sebuah kebiasaan baik, inilah yang disebut dengan akhlak. Tidaklah suatu kebaikan itu menjadi akhlak kecuali setelah menjadi kebiasaan, hingga menjadi reflek yang dikerjakan tanpa berpikir lama saking terbiasa dengannya. Tak perlu mikir lama untuk menggunakan tangan kanan saat makan atau minum karena telah menjadi kebiasaannya. Begitupun untuk seluruh jenis kebaikan, semoga Allah mudahkan segala kebaikan di bulan yang penuh berkah di dalamnya. (Ust. Abu Umar Abdillah-arrisalah)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *