Menuju Nikmat Sempurna
Penduduk jannah mendapat dua jenis kenikmatan.
1. Nikmat jasmani, berupa fasilitas, makanan, minuman, pasangan dan semuanya. Gratis. Sepuasnya. Tanpa kuota.
2. Nikmat ruhani, berupa maklumat ridha dari Allah sehingga jannah seperti rumah sendiri bebas melakukan apa saja tanpa ada rasa khawatir ditegur pemiliknya atau dimarahi.
Berikut ini narasi hadits tentang kombinasi dua kenikmatan itu:
عن أبي سعيد قال: قال رسول الله – صلى الله عليه وسلم -: ((إن الله تعالى يقول لأهل الجنة: يا أهل الجنة، فيقولون: لبيك ربنا وسعديك، والخير كله في يديك، فيقول: هل رضيتم؟ فيقولون: وما لنا لا نرضى يا رب، وقد أعطيتنا ما لم تعط أحداً من خلقك؟ فيقول: ألا أعطيكم أفضل من ذلك؟ فيقولون: يا رب، وأي شيء أفضل من ذلك؟ فيقول: أحل عليكم رضواني فلا أسخط عليكم بعده أبداً)) متفق عليه
Abu Said ra berkata, Rasulullah saw bersabda: “Allah berfirman kepada penduduk jannah: Wahai penduduk jannah ! Mereka menyahut: Labbaik ya Allah, kami siap menyenangkan-Mu, semua kebaikan ada di kedua tangan-Mu. Allah membalas: Apakah kalian semua telah ridha (dengan pelayanan-Ku)? Mereka menjawab: Bagaimana mungkin kami tidak ridha wahai Rabb, Engkau telah memberi kami apa yang belum pernah Engkau berikan kepada siapapun dari makhluk-Mu. Allah menjawab: Maukah kalian Aku beri yang lebih baik dari itu? Mereka menjawab: Wahai Rabb, apa masih ada sesuatu yang lebih baik dari itu ? Allah berfirman: Aku tetapkan ridha-Ku untuk kalian, maka Aku tak akan pernah lagi marah kepada kalian setelah ini selamanya. (Muttafaq alaih – Bukhari no. 6549, dan Muslim no. 2829)
Hadits ini menjelaskan tentang dua dimensi kenikmatan yang dirasakan penghuni jannah. Dimensi jasmani berupa semua fasilitas dan layanan yang super istimewa. Jika hotel maksimal bintang lima, jannah entah bintang berapa, mungkin sepuluh atau seratus. Semua standar kenyamanan terpenuhi. Semua standar keindahan terlampaui. Ragam makanan yang super lezat. Pokoknya, tak mampu dibayangkan akal kita.
Para penghuni merasa sudah mendapatkan puncak kenikmatan dengan ini semua. Sudah puas. Tak ada satupun kekurangan pada seluruh sisinya.
Allah menanyakan pendapat mereka tentang kenikmatan yang telah diberikan. Maka mereka tegas mengatakan, semua sisinya telah sempurna. Tak ada kekurangan sama sekali.
Rupanya pertanyaan Allah itu hanya sebagai muqaddimah untuk memberi sesuatu lain yang istimewa. Ketika mereka sudah merasa mendapat kenikmatan sempurna, Allah beri kenikmatan tambahan yang mengejutkan. Dan kenikmatan itu lebih tinggi dibanding kenikmatan sebelumnya.
Kenikmatan istimewa itu ternyata maklumat ridha. Dari pemilik jannah – Allah SWT. Kenikmatan non materi. Rasanya lebih nikmat dibanding kenikmatan materi. Hati yang merasakan.
Kita bisa membayangkan, misalnya kita bertamu. Ditempatkan di ruangan lux. Fasilitas lengkap. Makanan lezat dan berlimpah. Sebagai tamu, kita merasa sangat dimanjakan. Dilayani bak raja.
Tapi karena statusnya masih tamu, tetap saja gerak gerik kita masih dibatasi oleh kekhawatiran akan menyinggung perasaan tuan rumah. Atau membuatnya tak suka. Atau membuatnya murka. Meski tak terucap.
Nah ketika tuan rumah memberikan maklumat, silakan lakukan apa saja sesuka Anda, saya tak akan marah. Maka maklumat ini membuat kita lebih nyaman, lantaran hilang kekhawatiran akan dimarahi. Karenanya, disebut kenikmatan ruhani – akal, pikiran dan hati yang merasakannya. Bukan lidah, tangan atau mata kita.
Substansi Ridha
Substansi ridha adalah tidak marah. Tidak komplain. Tidak sakit hati. Tidak tersinggung. Tidak menghukum. Baik ridha Allah atau ridha sosial.
Amal yang dirihai Allah maknanya amal itu benar dan absah menurut Allah. Sesuai aturan dan keinginan Allah. Tidak ada yang dikomplain. Tak ada yang disalahkan. Diterima tanpa catatan. Atau tapi.
Ucapan yang diridhai Allah maknanya ucapan itu benar dan absah menurut Allah. Sesuai dengan aturan dan keinginan Allah.
Menggapai ridha Allah itu secara teori lebih mudah, karena Allah Esa, tak ada Tuhan lain sehingga punya sudut pandang berbeda.
Sementara menggapai ridha manusia itu lebih sulit karena manusia banyak, setiap kepala punya sudut pandang. Satu orang ridha terhadap perbuatan kita, pasti ada orang lain yang komplain. Karena itu tak salah jika disebut ridha manusia itu mustahil didapat.
Karena kemustahilan itu, maka manusia sendiri mencoba memberi solusi. Caranya dengan menetapkan tata nilai dan tata aturan yang menjadi tolok ukur ridha manusia. Dirumuskan bersama, ditetapkan bersama, dan berlaku untuk bersama.
Sehingga jika seseorang melakukan perbuatan sesuai tata nilai dan tata aturan itu, perbuatannya tidak boleh dikomplain oleh siapapun. Perbuatan itu lantas disebut legal konstitusional. Dengan cara seperti ini, orang bisa hidup dengan nyaman dan damai, karena ada tolok ukur ridha bersama yang berlaku. Hidup sesuai ridha sosial itu nikmat. Damai. Bahagia. Tak ada yang menampik itu.
Ridha Allah di dunia dengan ridha Allah di jannah mengandung perbedaan. Ridha Allah di dunia, harus mengacu pada tata nilai dan tata aturan yang Allah tetapkan di dunia. Namanya syariat Islam. Siapa yang melanggarnya, gagal mendapat ridha Allah. Maknanya, mendapat murka Allah. Hukumannya bisa dihadirkan langsung di dunia, bisa pula ditunda kelak di akhirat.
Sementara ridha Allah di jannah, tidak lagi dikaitkan dengan aturan tertentu. Bebas aturan. Apapun yang dilakukan penghuni jannah boleh, bebas dan tak ada hukuman. Syariat Islam sudah masa lalu. Karenanya menjadi puncak kenikmatan.
Ridha Sosial Berseberangan Dengan Ridha Allah.
Kenikmatan Allah paling sempurna kala manusia hidup di dunia adalah ketika hamba mukmin bisa mendapat ridha Allah dan ridha sosial sekaligus dalam satu tarikan. Satu perbuatannya, direstui secara sosial, direstui pula oleh Allah. Misalnya, mukmin melaksanakan shalat. Pelaksanaannya direstui sosial, dan direstui Allah. Dua ridha sekaligus didapat. Menjadi nikmat.
Mukmin hidup dalam dilema, adalah ketika ridha Allah berseberangan dengan ridha sosial. Misalnya, nahi munkar. Perbuatan ini direstui oleh Allah, tapi dibenci oleh sosial (legal-konstisuional). Atau kebalikannya, misalnya riba. Dilarang Allah, tapi direstui legal-formal-konstitusional secara sosial. Maka menjadi dilema. Apakah ia akan lebih memilih ridha Allah, dengan mengabaikan ridha sosial. Ataukah lebih memilih ridha sosial, mengabaikan ridha Allah ?
Konsekwensinya juga rumit. Jika ia menempuh ridha Allah, akan dihukum oleh sosial (baca: negara). Tapi jika ia menempuh ridha sosial, akan dihukum oleh Allah. Bisa di dunia, bisa di akhirat nanti.
Islam Sempurna, Kenikmatan Sempurna
Satu-satunya cara agar manusia hidup bahagia dan damai tanpa konflik, adalah dengan menyelaraskan dua dimensi ridha tersebut. Pilihannya ada dua, ridha Allah disesuaikan dengan ridha sosial, atau kebalikannya ridha sosial disesuaikan dengan ridha Allah.
Pilihan pertama tidak mungkin di mata seorang mukmin, sebab Allah itu Pencipta, Pemelihara dan Raja alam semesta, tidak mungkin untuk diletakkan sebagai sub-ordinat dari sosial dan menyesuaikan aturan sosial. Hanya kaum tak beriman yang berani merendahkan ridha Allah di bawah ridha sosial.
Pilihan kedua mungkin, meski sulit. Sudah sepatutnya manusia tunduk kepada Rabbul Alamin. Tapi para penguasa sosial pasti melawan. Dan perlawanannya serius, tak mempan negosiasi. Mesti dikalahkan dulu oleh orang-orang beriman baru mau menerima.
Ketika Islam menang melawan jahiliyah, Allah menyebut momentum itu sebagai “sempurnanya nikmat Allah untuk orang-orang beriman”. Sebab jika sebelumnya mereka tidak bahagia, lantaran dipaksa menuruti ridha sosial sambil mengabaikan ridha Allah, maka dengan kemenangan itu ridha sosial bisa diselaraskan secara total dengan ridha Allah. Seorang mukmin dalam melaksanakan semua tuntutan keimanannya, dinyatakan legal konstitusional oleh sosial. Maka dalam satu perbuatan ia mendapat ridha Allah sekaligus ridha sosial. Hidup yang nikimat. Kenikmatan sempurna. Puncak kenikmatan.
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا [المائدة:3]
Pada hari ini Aku sempurnakan agamamu untukmu, Aku lengkapkan nikmat-Ku untukmu, dan Aku ridhai Islam sebagai ideologi bagimu. (QS. Al-Maidah: 3)
Ayat ini menerangkan, kekalahan kekafiran dan kemenangan Islam merupakan situasi yang diperlukan untuk sempurnanya Islam, lengkapnya nikmat, dan diridhainya Islam sebagai ideologi. Sebab dengan itu, umat Islam menjadi bebas untuk menghamba kepada Allah, dan penghambaan itu dinilai legal konstitusional secara sosial. Hidup dalam situasi seperti ini merupakan hidup paling nikmat.
Sebaliknya, jika umat Islam dalam menghamba kepada Allah dinilai tidak legal dan melanggar konstitusi sosial, maka situasi itu lebih mirip di neraka. Panas terus. Gak ada damainya. Jadi tidak bahagia. Jadi tidak nikmat.
Tak ada jalan menuju nikmat sempurna, baik di dunia maupun di akhirat, kecuali dengan berjuang mengalahkan kekafiran-jahiliyah. Agar dengan kalahnya mereka, ridha sosial bisa diselaraskan dengan ridha Allah. Sebab memang tidak mungkin dibalik, ridha Allah yang harus nurut kepada ridha sosial. Ini harga mati yang tak bisa ditawar!
والله أعلم بالصواب
@elhakimi – 12082019
Gabung channel telegram.me/islamulia