Menjalin Ukhuwah Menuai Rahmah
Oleh: Abu Athif, Lc
Sesungguhnya tali dan simpul iman yang kuat dibuktikan dengan adanya kecintaan kepada apa yang Allah cintai serta membenci apa yang dibenci oleh Allah ta’ala. Termasuk dalam hal ini adalah persaudaraan yang dibalut dengan simpul keimanan. Tidak ada persaudaraan seindah persaudaraan yang dibalut dengan simpul iman. Oleh karenanya Allah ta’ala berfirman :
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Sungguh hanyalah semua orang beriman adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang sedang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat”. (QS. Al Hujurat: 10)
Sejarah telah mencatat betapa simpul persaudaraan yang berlandaskan keimanan menjadi sumber kekuatan tak tertandingi. Karena semua yang terikat dengan persaudaraan itu saling memiliki kepentingan dan cita-cita mulia bersama. Tidak mengherankan jika Nabi Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam mengambil langkah strategis dalam rangka penguatan barisan kaum muslimin yaitu dengan mempersaudarakan kalangan Muhajirin dan Anshor setibanya hijrah beliau di Madinah.
Persaudaraan yang dibalut dengan simpul keimanan kepada Allah terkadang lebih kuat dari pada persaudaraan karena nasab. Hal itu terbukti dengan apa yang digambarkan oleh sejarah bagaimana para sahabat Anshor menyambut kehadiran saudara mereka dari kalangan Muhajirin dengan penuh keakraban dan lebih mendahulukan kepentingan saudaranya dari pada kepentingan diri mereka sendiri. Sebagaimana yang tergambar dalam Al Quran:
وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang-orang yang berhijroh kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin) dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (QS. Al Hasyr: 9)
Sungguh luar biasa kekuatan persaudaraan iman. Oleh karenanya, tidak mengherankan kalau sahabat Hasan bin Ali bin Abi Tholib –cucu Rasulullah- mengutarakan bahwa saudara bisa jadi bukan dari kalangan nasabnya, hal itu beliau sampaikan dengan ungkapannya :
رُبَّ أَخٍ لَكَ لَمْ تَلِدْهُ أُمُّكَ
“Bisa jadi saudaramu adalah orang yang tidak dilahirkan oleh ibumu” (HR. Baihaqi, Syu’abul Iman: 6/497)
Urgensi Ukhuwah Islamiyah
Perpecahan dan perseteruan adalah salah satu dari sekian “goal setting” iblis dan para tentaranya untuk meruntuhkan sendi-sendi kehidupan yang menuju mardhotillah. Syaithon baik dari kalangan jin dan manusia senantiasa saling bahu membahu untuk memadamkan cahaya Islam, khususnya dari sisi persatuan umat Islam. Hal tersebut telah disampaikan oleh Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam kepada umatnya agar waspada terhadap setiap makar yang menjurus pada perpecahan, sebagaimana dalam haditsnya :
إِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ أَيِسَ أَنْ يَعْبُدَهُ الْمُصَلُّونَ فِى جَزِيرَةِ الْعَرَبِ وَلَكِنْ فِى التَّحْرِيشِ بَيْنَهُمْ
Dari Jabir ia berkata: aku telah mendengar Nabi shallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Sesungguhnya syaithon telah berputus asa agar disembah di jazirah Arab akan tetapi (ia masih berusaha) membuat perpecahan-peperangan di kalangan mereka (kaum muslimin)”. (HR. Muslim)
Iblis dan bala tentaranya seakan-akan tahu betul tentang satu sisi yang mereka masih memiliki pengharapan untuk menghalangi manusia dari jalan yang lurus. Setelah mereka menyadari kekuatan aqidah dan ibadah yang terkandung dalam syari’at Islam, maka manuver yang mereka gunakan adalah menimbulkan perpecahan di tubuh kaum muslimin. Dengan perpecahan itu iblis bisa memiliki celah kembali untuk membengkokkan pemahaman Islam yang lurus.
Oleh sebab itu Al Qurân telah mewasiatkan kepada kaum muslimin untuk menjaga persatuan dalam persaudaraan. Hanya dengan jalan inilah segala bentuk perpecahan bisa dihilangkan. Sebagaimana firman Allah :
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُون
“Dan berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai dan ingatlah akan nikmat Allah kepada kalian ketika kalian dahulu (pada masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hati kalian, lalu menjadilah kalian karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian, agar kalian mendapatkan petunjuk.” (QS. Ali Imran: 103)
Di samping sebagai benteng dari makar syaithon, persaudaran yang dibalut dengan ikatan iman merupakan barometer kekuatan iman seseorang. Dalam ungkapan lain; bahwa kecintaan seseorang kepada saudaranya sesama mukmin karena Allah berbanding lurus dengan derajat keimanan seseorang yang bisa menghantarkan untuk merasakan manisnya iman. Hal itu sebagaimana disebutkan dalam hadits yang shohih :
عَنْ أَنَسِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّار
Dari Anas; dari Nabi shallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda ; “Tiga hal yang apabila ketiganya berada pada diri seseorang sungguh ia telah mendapatkan manisnya iman; 1. Allah dan Rosul-Nya lebih dicintai dari selain keduanya, 2. Mencintai seseorang yang tidak ia cintai kecuali hanya karena Allah, 3. Benci kembali kepada kekufuran sebagaimana ia benci untuk dicampakkan ke dalam neraka.”
(HR. Bukhori)
Dalam kesempatan lain, Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam juga menegaskan bahwa mencintai saudara seiman adalah upaya menyempurnakan keimanan. Sebagaimana dalam haditsnya :
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidak (sempurna) iman seseorang dari kalian hingga ia mencintai untuk saudaranya sebagaimana ia mencintai untuk dirinya sendiri”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Antara Ukhuwah dan Rohmah
Tidak dipungkiri bahwa dalam persaudaraan mengandung banyak kenikmatan yang nilainya tak mungkin bisa dinominalkan dengan apapun. Sungguh persaudaraan merupakan bagian dari anugrah terindah yang menghiasi kehidupan manusia. Apa jadinya jika kehidupan tanpa ada rasa persaudaraan, pastilah yang terjadi adalah percekcokan dan ketidak nyamanan.
Persaudaraan merupakan buah dari rasa cinta dan kasih sayang yang dengannya Allah hendak memberikan anugrah-Nya yang bernama rahmah. Hal itu sebagaimana yang disebutkan dalam Al Qurân :
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Sungguh hanyalah semua orang beriman adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara keduasaudaramu (yang sedang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat”. (QS. Al Hujurot: 10)
Sudah seharusnya setiap pribadi mukmin menyemai benih persaudaraan dalam jiwanya niscaya dengan benih itu semuanya bisa memanen rohmah Allah ta’ala. Tentunya ukhuwah yang disemai bukan karena tendensi duniawi semata namun harus lebih dari itu yaitu tercapainya kemashlahtan dunia-akhirat.
Imam Abu Abdillah Muhammad Al Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ukhuwah dalam agama lebih kuat dari pada ukhuwah dalam nasab, karena ukhuwah dalam nasab bisa saja terputus karena perbedaan agama, adapun ukhuwah dalam agama tidak akan terputus dengan perbedaan nasab. Oleh karenanya, jalinan ukhuwah yang kokoh tersebut bisa menghantarkan rasa solidaritas yang tinggi serta keterkaitan jiwa. (Imam Al Qurthubi, Al Jami’ li Ahkamil Quran: 8/590)
Tidak berlebihan jika Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam memberikan perumpamaan tentang rasa cinta dan kasih sayang dalam ukhuwah ini dengan sabdanya :
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِى تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Perumpamaan orang-orang mukmin di dalam kecintaan mereka, kasih sayang mereka dan kelemah-lembutan mereka ibarat satu tubuh, apabila ada satu anggota tubuh yang merasa sakit maka anggota tubuh yang lainnya juga merasakan sakit dengan tidak bisa tidur dan demam”. (HR. Muslim)
Hak-Hak Ukhuwah
Realisasi ukhuwah dalam kehidupan sehari-hari merupakan konsekuensi keimanan. Tidaklah seseorang sempurna imannya hingga dirinya berhasil mewujudkan jalinan ukhuwah dengan saudaranya sesama mukmin.
Ada beberapa hak-hak ukhuwah yang wajib diperhatikan. Di antara hak-hak itu adalah seperti apa yang disabdakan oleh Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam :
لاَ تَحَاسَدُوا وَلاَ تَنَاجَشُوا وَلاَ تَبَاغَضُوا وَلاَ تَدَابَرُوا وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا. الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يَخْذُلُهُ وَلاَ يَحْقِرُهُ. التَّقْوَى هَا هُنَا ». وَيُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ « بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
“Janganlah kalian saling dengki, janganlah kalian saling berdagang dengan cara najasy, janganlah kalian saling membenci, janganlah kalian saling membelakangi dan janganlah kalian bertransaksi atas transaksi sebagian dari kalian. Dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara seorang muslim, tidak boleh baginya untuk mendholiminya, tidak boleh pula merendahkannya dan tidak boleh pula menghinanya. Taqwa itu ada di sini –sembari beliau menunjuk dadanya tiga kali- cukuplah seseorang dinyatakan buruk jika ia menghina saudaranya sesama muslim. Setiap muslim adalah haram darahnya, hartanya dan kehormatannya”. )HR. Muslim)
Demikianlah Islam sebagai agama yang membawa rahmat bagi sekalian alam mengatur tata kehidupan yang dibalut dengan ukhuwah-persaudaraan. Dengannya telah nampak rajutan jalinan perwalaan antara kaum muslimin. Dengannya pula, Allah hendak memberikan anugrah kehidupan berupa rahmat-Nya. Wallahu a’lam.