Menjaga Batasan Syariat

 Menjaga Batasan Syariat

 

عَنْ مَكْحُولٍ ، عَنْ أَبِي ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِيِّ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ اللَّهَ حَدَّ حُدُودًا فَلاَ تَعْتَدُوهَا وَفَرَضَ لَكُمْ فَرَائِضَ فَلاَ تُضَيِّعُوهَا

وَحَرَّمَ أَشْيَاءَ فَلاَ تَنْتَهِكُوهَا وَتَرَكَ أَشْيَاءَ مِنْ غَيْرِ نِسْيَانٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَكِنْ رَحْمَةٌ مِنْهُ لَكُمْ فَاقْبَلُوهَا وَلاَ تَبْحَثُوا فِيهَا.

Dari makhul, dari Abu Sta`labah radhiyallahu’anhu, ia berkata : Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menentukan batasan-batasan, maka janganlah engkau menerjangnya; telah menetapkan beberapa kewajiban, maka janganlah engkau menyepelekannya; mengharamkan beberapa hal maka janganlah engkau melanggarnya; serta mendiamkan beberapa hal sebagai suatu rahmat (kasih sayang) kepada kalian dan bukan karena lupa, maka janganlah engkau mencari-carinya (menanya-nanyakanya).”

(HR. Daruquthni)

Hukum Sanad Hadits

Hadits ini diriwayatkan oleh beberapa sahabat dengan lafal yang bedekatan, selain Abu Tsa’labah ada dua sahabat yaitu Abu Darda` dan Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhuma.

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum hadits ini, ada yang menghasannya seperti Imam Nawawi dalam kitabnya al-Adzkar dan al-Arba’un (hadits ke 30), dinilai shahih oleh Imam Ibnul Qoyyim dalam kitabnya ‘Ilaam al-Muwaqiin begitupula Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya. al-Albani pun dalam menghukmi hadits ini ditemui dua hukum, hasan lighairihi (bermakna, aslinya hadits ini dhaif tapi karena da syahid [hadits yang lafalnya dekat dari sahabat yang berbeda] maka bisa terangkat menjadi hasan) yaitu dalam takhrij al-Iman karya Ibnu Taimiyah dan dalam kitabnya yang lain, yaitu Misykat al Mashabiih dihukumi dha’if.

Yang berpendapat bahwa meskipun jalurnya banyak namun tidak bisa saling menguatkan dan tetap dhaif di antaranya adalah Ibnu Rajab, beliau menjelaskan dalam kitabnya jamiul ulum wal hikam bahwa hadits ini ada cacatnya, yaitu sanadnya munqathi’ atau terputus, yaitu Makhul tidaklah mendengar hadits dari Abu Tsa’labah (Ibnu Hajar dan Dzahabi juga menghukumi sanad hadits ini munqathi). Dan hadits munqathi termasuk katagori hadits yang dhaif atau lemah.

Meskipun para ulama berbeda pendapat dalam menghukumi sanad hadits ini, namun matannya (isi atau teks hadits) bermakna shahih. Artinya isi dari kandungan hadits ini tidak menyalahi aturan dan pokok yang udah baku dalam Islam, bahkan makna kandungan hadits ini sejalan dengan ajaran islam. Yang masyhur dan shahih terkait hadits di atas adalah atsar Ibnu Abbas.

Ia berkata, “Dahulu orang-orang jahiliyah biasa makan beberapa macam makanan dan meninggalkan beberapa makanan karena jijik. Kemudian Allah Ta’ala mengutus Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan menurunkan Kitab-Nya, serta menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram. Maka apa yang Allah halalkan adalah halal, apa yang Allah haramkan adalah haram, dan apa yang Allah diamkan maka hukumnya dimaafkan.” Kemudian Ibnu Abbas membaca ayat: ‘(Katakanlah, “Tiadalah aku peroleh dalam wahu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – karena sesungguhnya semua itu kotor – atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Rabbmu Maha Pengampun lagi Maha penyayang.” (QS. Al An’aam: 145).” (HR. Abu Daud, dishahihkan al-Albani).

DIDIAMKAN BUKAN KARENA LUPA, TAPI RAHMAT BAGI HAMBA

Allah tidak disifati dengan lupa karena hal ini adalah sifat yang menunjukkan kekurangan dan ketidaksempurnaan, Maha suci Allah dari sifat lupa. Allah berfirman:

Rabb kami tidak akan salah dan tidak pula lupa…” (QS. Thaha: 52)

Adapun dalam surat at-Taubah ayat 67, “…mereka telah lupa kepada Allah, Maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah orang-orang yang fasik.” Maksudnya adalah meninggalkan. Karena orang-orang munafik meninggalkan agama Allah dengan sengaja dan bukan karena lupa, maka Allah sengaja dan bukan karena lupa, maka Allah sengaja melupakan mereka, ditinggalkan dan ditempatkan di neraka aling bawah kekal selama-lamanya.

Setiap perkara telah diterangkan oleh Allah hukumnya, adapun yang didiamkan dan tidak diterangkan hukumnya maka termasuk rahmat Allah kepada hambanya, artinya perkara yang didiamkan itu hukumnya tidak wajib dan tidak pula haram, boleh dilakukan dan boleh ditinggalkan, inilah perkara mubah.

Namun dalam perkara ibadah maka tidak ada yang didiamkan atau tidak termasuk kategori perkara yang didiamkan, karena perkara ini asalnya adalah diharamkan Allah jadi masuk dalam kalimat (wa harrama asyya` fala tantahikuha), tidak boleh seseorang melakukan ibadah kecuali ada keterangan nash atau dalil uang memerintahkannya.

BATASAN-BATASAN ALLAH

Telah jelas yang haram dari yang halal maka terhadap keharaman kita semua diperintahkan untuk menjauh dan meninggalkannya. Begitu pula dengan kewajiban, seperti mentauhidkan-Nya, shalat lima waktu, puasa, zakat, haji, jihad, amar ma’ruf nahi mungkar maka semua itu harus dilakukan sesuai dengan kemampuan.

Bila batasan-batasan itu dilampaui, baik dalam perintah dan larangan (seperti menyepelekan kewajiban dan meninggalkannya atau mendekat kepada keharaman) maka ia berlaku dzalim dan merugikan dirinya sendiri.

Betapa banyak kita saksikan hari ini manusia dalam perkara dunia saja bisa meningalkan yang halal untuk menghindar dari penyakit, kenapa kita tidak menghindar dari yang jelas haram agar terhindar dari neraka. Wallahu ‘alam.

Sumber: Majalah ar risalah edisi 173 hal. 41-42

 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *