Di zaman sekarang ini, manakala mendengarkan nasehat atau peringatan tentang kematian, kubur dan akhirat, kebanyakan orang tidak memperdulikannya, tidak mencemaskannya dan tidak mengambil pelajaran darinya. Bahkan jika disebut tentang jannah dan neraka, hal itu sudah tidak lagi menarik perhatian mereka. Hal ini tidak terjadi kecuali karena telah hilangnya rasa takut kepada Allah di hati mereka.
Dunia telah menjadi tujuan terbesar mereka, yang selalu mereka pikirkan berkutat masalah dunia, dan mereka pun tertipu olehnya. Padahal hal itulah yang menyebabkan mereka binasa dan mendapatkan kerugian dunia dan akhirat, karena hati mereka telah mati terlebih dahulu sebelum matinya jasad mereka.
Semestinya, setiap orang memahami, bahwa di dunia ini hanyalah sementara, dan ia pasti berjalan menuju akhirat. Oleh karenanya, ia harus memiliki bekal yang cukup, dan sebaik-baik bekal bagi seorang hamba dalam mengarungi dunia yang fana ini menuju negeri akhirat yang kekal abadi adalah takwa, sebagaimana Allah berfirman,
“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah: 197)
Orang berakal adalah orang yang menyadari hal ini dan merealisasikannya dalam kehidupan nyata, karena pada suatu hari nanti, harta dan anak tak lagi berguna, kecuali orang yang menghadap Allah dengan membawa hati yang bersih.
Berbagai nikmat dunia, berupa kesehatan, harta, kedudukan dan kekuasaan, semua itu akan hilang dan binasa. Yang akan dibawa ketika menghadap Allah hanyalah amal yang telah ia lakukan, baik amal shalih maupun amal yang buruk. Dan balasan itu sesuai dengan amal yang telah dilakukannya.
Menurut penjelasan sahabat Ali bin Abi Thalib, takwa itu adalah al-Khaufu minal Jalil (takut kepada Allah yang maha Mulia), al-‘Amalu bit Tanzil (mengamalkan kitabullah), al-Qona’atu bil Qolil (merasa cukup denga sesuatu yang sedikit) dan al-Isti’dad liyaumir rahil (persiapan bekal untuk menghadapi hari akhirat). Dengan definisi ini, beliau menjelaskan dasar-dasar takwa dan pilar-pilarnya.
Maka dapat dipahami, bahwa rasa takut kepada Allah adalah pangkal hikmah dan intisari iman. Dan sesungguhnya, orang yang tunduk dan takut kepada Allah adalah orang-orang yang mengetahui kebesaran-Nya da menunaikan hak-hak-Nya. Allah berfirman:
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Faathir: 28)
Maka tidaklah cukup rasa takut tanpa melakukan amal, karena barangsiapa yang benar-benar takut kepada Allah, maka rasa takut itu akan mendorongnya untuk beramal. Maka barangsiapa yang takut kepada Allah, maka ia akan melaksanakan kewajiban-kewajiban-Nya dan ia akan selalu merasa diawasi Allah dan merasakan kehadiran-Nya.
Para salafus shalih adalah teladan yang baik dalam hal ini. Mereka selalu bertakwa kepada Allah, berlaku zuhud, beramal kebajikan dan takut kepada Allah dengan sebenar-benarnya, sehingga air mata merekapun berlinang dan telapak kaki mereka pecah-pecah karena lamanya mereka berdiri untuk melakukan shalat malam.
Dunia tidak melenakan mereka, karena mereka menganggapnya hina dan berusaha memanfaatkan waktu yang sedikit di dunia ini dengna sebaik-baiknya untuk kebahagiaan di waktu yang panjang di akhirat kelak. Mereka selalu memikirkan mengenai alam kubur dengan segala apa yang ada di dalamnya beserta kejadian-kejadian setelahnya di hari kiamat.
Yazid ar-Roqoosy pernah berkata kepada dirinya sendiri, “Sungguh celaka dirimu wahai Yazid, siapakah yang shalat untukmu setelah kematianmu? Siapakah yang akan melakukan shaum untukmu setelah kematianmu? Siapakah yang akan mencari keridhaan Rabbmu untukmu setelah kematianmu? Wahai manusia, mengapa kalian tidak menangisi diri kalian selama kalian masih hidup? Ketahuilah, sesungguhnya kematian akan mengintai setiap orang dari kita, kuburan akan menjadi tempat tinggalnya, tanah akan menjadi kasurnya dan cacing akan menjadi temannya. Dan dalam kondisi seperti inipun ia masih menunggu ketakutan ang sangat (hari kiamat), lantas bagaimanakah keadaannya?” kemudian, Yazid pun menangis.
Mari kita bermuhasabah, seberapakah kadar rasa takut kita kepada Allah? Dan seberapakah rasa takut itu bisa mendorong kita untuk beramal? Semoga kita mendapat dua jannah yang dijanjikan kepada orang-orang yag takut kepada Rabbnya. Amin.
Sumber: majalah kalam dakwah edisi 07 hal. 27-28
Penulis : Abu Zidna