Menghayati Kalimat Tauhid
Insiden pembakaran kalimat tauhid yang terjadi beberapa waktu silam masih hangat dalam benak pikiran. Dalam kesempatan lain, pernah juga ada sebuah ungkapan yang dikeluarkan oleh oknum pejabat publik menyatakan ayat-ayat konstitusi lebih tinggi dari pada ayat-ayat suci.
Dari dua kasus tersebut kita bisa mengambil kesimpulan bahwa pesan penting yang ingin disampaikan adalah kalimat tauhid dengan seluruh keagungan dan keskralannya harus dipaksa untuk berada di bawah ideologi nasionalisme kebangsaan dan tunduk dengan kedaulatan rakyat.
Wacana seperti ini ditanggapi oleh sebagian masyarakat muslim dengan ungkapan sependapat dan adalagi sebagian yang bersikap apatis terhadap perkara kalimat tauhid ini, merasa ini bukan masalah penting. Berangkat dari dua kasus inilah penulis melihat urgensi pembahasan yang mengangkat tema penghayatan kalimat tauhid untuk kaum muslimin khususnya di negeri ini.
Dalam tulisan sederhana ini penulis mencoba untuk menguraikan Hakikat dari kalimat tauhid yang tidak akan pernah bisa diduakan dengan yang lain dan juga tidak akan pernah bisa diletakkan di bawah segala bentuk keyakinan dan ideologi. Seorang mukmin sejati tentunya selalu melihat permasalahan terbesar dan pokoknya adalah kalimat tauhid. Karena kalimat tauhid inilah yang menentukan keselamatan di dunia dan akhirat.
Kalimat Tauhid, Kalimat pembeda
Hal terpenting dan mendasar dalam mengenal kalimat tauhid adalah kalimat pembeda antara iman dan kufur. Ketika seorang hamba telah berani mengucapkan dan mengikrarkan dua kalimat syahadat berarti dia adalah seorang muslim. Jika ada seorang hamba yang enggan mengucapkan dan mengikrarkannya maka statusnya adalah kafir. Dalam sebuah hadits yang shohih menjelaskan :
أنبأنا حميد قال : سأل ميمون بن سياه أنس بن مالك قال يا أبا حمزة ما يحرم دم المسلم وماله فقال من شهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله واستقبل قبلتنا وصلى صلاتنا وأكل ذبيحتنا فهو مسلم له ما للمسلمين وعليه ما على المسلمين –رواه النسائي-
Artinya: “… Telah mengabarkan kepada kami Humaid, ia berkata; Maimun bin Siyah bertanya kepada Anas bin Malik, ia berkata: “wahai Abu Hamzah, apa yang membuat darah dan harta seorang muslim menjadi haram? Lalu beliau menjawab: “Barang siapa yang menyaksikan bahwa tidak sesembahan yang hak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Alloh, menghadapkan wajahnya ke arah kiblat kami, sholat seperti sholat kami dan memakan hewan sembelihan kami maka dia adalah seorang muslim. Baginya hak-hak seperti kaum muslimin lainnya dan atasnya kewajiban sebagaimana kewajiban atas kaum muslimin”. (HR. An Nasai)
Dari sinilah setiap muslim dituntut untuk berbeda dengan orang kafir di segala aspeknya. Tidak diperkenankan dalam kepribadian seorang muslim muncul sikap mendua antara islam dan kufur. Pilihan dalam kehidupan ini hanyalah antara iman dan kufur, tidak ada pilihan ketiga. Jikalau ada yang memilih bersikap mendua (mengumpulkan antara keimanan dan kekufuran) maka itulah pribadi munafik. Ujung kehidupannya adalah kerugian dan kebinasaan. Di dunia dirinya penat dengan menirukan ibadah orang beriman, sementara di akhirat dirinya binasa karena dikumpulkan bersama orang-orang kafir di neraka.
Jangan sampai terjadi “split personality” (kepribadian yang pecah) dalam diri kita sebagai seorang mukmin. Tidak boleh seorang muslim mengatakan dirinya muslim namun ideologinya komunis atau kapitalis. Tidak boleh seorang mengaku dirinya muslim namun cara berekonominya kapitalis ribawi. Tidak boleh pula seorang mengaku muslim namun dalam urusan ketatanegaraannya bersikap sekuler.
Seorang muslim haruslah berideologi Islam, berakhlaq Islami, berpakaian sesuai syariat Islam dan dituntut berkepribadian Islami sebagaimana keteladanan yang diberikan oleh Nabi Muhammad ﷺ. Di poin inilah seorang muslim dituntut totalitas menjalankan syariat Islam. Dari mulai urusan bangun tidur hingga urusan ketatanegaraan, semuanya harus berpedoman pada syariat Islam.
Kalimat tertinggi dan syiar teragung
Dalam perspektif Islam, kalimat tauhid merupakan pokok dari ajaran Islam. Kedudukannya pun berada teratas dari seluruh amalan syariat lainnya. Sebagaimana penjelasan Nabi Muhammad ﷺ dalam haditsnya:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ » -رواه مسلم في صحيحه-
Artinya; Dari Abu Huroiroh ia berkata: telah bersabda Rosululloh ﷺ ;”Iman itu memiliki tujuh puluh sekian cabang atau enam puluh sekian cabang, maka yang paling utama darinya adalah ucapan Laa ilaaha Illa Alloh (Tiada sesembahan yang berhak disembah kecuali hanya Alloh) dan yang paling rendah adalah menyingkir gangguan dari jalan dan rasa malu adalah bagian dari iman”. (HR. Muslim dalam kitab shohihnya)
Dari hadits yang mulia ini kita bisa memahami bahwa kalimat tauhid tidak bisa dinomor-duakan. Kalimat tauhid dan segala yang terkandung di dalamnya termasuk dalam hal ini adalah wahyu-wahyu Allah ﷻ haruslah diletakkan di atas segalanya. Inilah poin yang diingkari oleh kaum musyrikin dan kafirin. Karena mereka masih ingin menyejajarkan sesembahan lainnya dengan Alloh ﷻ. Bahkan mereka lebih mengagungkan dan mencintai sesembahan-sesembahan mereka dari pada Alloh ﷻ.
Alloh berfirman tentang mereka: “Dan mereka keheranan ketika datang kepada mereka seorang pemberi peringatan (rasul) dari kalangan mereka sendiri, dan orang-orang kafir berkata: “Ini adalah pesihir yang banyak berdusta. Apakah dia menjadikan tuhan-tuhan sesembahan itu Tuhan yang satu saja? Sungguh ini benar-benar sesuatu yang sangat mengherankan. Lalu pergilah pemimpin-pemimpin mereka (seraya berkata); “Berjalanlah kalian semua dan bersabarlah (menyembah) tuhan-tuhan kalian. Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang dikehendaki. (QS. Shood: 4 – 6)
Dalam ayat lain, Alloh menegaskan perbedaan yang sangat kontras antara orang beriman dan orang kafir dalam menentukan prioritas yang harus dicintai dan diagungkan. Alloh ﷻ berfirman :
﴿وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ (165)﴾ – البقرة: 165-
Artinya: Dan di antara manusia ada orang yang menyembah tuhan selain Alloh sebaai tandingan yang cintai seperti mencintai Alloh. Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Alloh. Sekiranya orang-orang yang berbuat dzolim itu melihat ketika mereka melihat azab (pada hari kiamat) bahwa kekuata itu semuanya milik Allah dan bahwa Alloh sangat berat azab-Nya (niscaya mereka menyesal)”. (QS. Al Baqoroh: 165)
Kalimat tauhid, deklarasi pengakuan kedaulatan Alloh di alam semesta
Kalimat tauhid bukan hanya pengakuan Alloh sebagai pencipta alam semesta saja. Namun hakikatnya adalah pengakuan kedaulatan Alloh di seluruh alam semesta ini. Kalaupun kalimat tauhid hanya difahami sekedar pengakuan Alloh ta’ala sebagai pencipta, maka orang-orang kafir Quraisy pun juga meyakini hal itu. Sebagaimana yang difirmankan oleh Alloh ﷻ :
﴿وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ (61)﴾ -العنكبوت: 61-
Artinya: “Dan jikalau engkau bertanya kepada mereka; Siapakah yang menciptakan langit dan bumi serta menundukkan matahari dan bulan ? pastilah mereka akan menjawab; “Alloh”. Maka mengapa mereka bisa dipalingkan (dari kebenaran). (QS. Al Ankabut: ayat 61).
Jika kedaulatan difahami sebagai hak untuk mengatur, maka siapakah yang lebih berhak untuk mengatur jagat alam raya ini kalau bukan Penciptanya sendiri ?! di poin inilah kalimat tauhid mengajarkan manusia bahwa tidak ada yang berhak untuk mengatur dan menentukan hukum bagi kehidupan di alam semesta ini kecuali hanya Alloh ﷺ. Alloh berfirman:
﴿إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ (54)﴾ -الأعراف: 54-
Artinya: “Sesungguhnya Tuhan kalian adalah Alloh yang telah menciptakan langit-langit dan bumi dalam enam hari kemudian bersemayam di atas ‘arsy, Dia-lah menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat. (Dia-lah yang menciptakan) matahari, bulan dan bintang gemintang tunduk kepada perintah-Nya. Segala penciptaan dan urusan menjadi hak-Nya. Maha Suci Alloh Robb semesta alam”. (QS. Al A’rof: ayat 54)
Imam Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya bahwa makna dari أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ adalah Hanya milik Alloh semata seluruh kekuasaan dan pengaturan[1]. Inilah perkara mendasar dan fundamental dalam kalimat tauhid. Seorang muslim menyerahkan segala urusannya untuk diatur oleh Alloh ﷻ. Tidak ada yang dikeluarkan oleh lisan seorang muslim ketika Alloh dan Rosul-Nya telah menentukan hukum dan aturan melainkan hanya ucapan kami mendengar dan kami taat. Alloh berfirman:
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (51) وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَخْشَ اللَّهَ وَيَتَّقْهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ (52)﴾ -(النور: 51-52
Artinya: “Sungguh hanyalah perkataan orang-orang beriman ketika diseru menuju kepada Alloh dan Rasul-Nya untuk menentukan hukum di antara mereka pastilah mereka mengatakan kami mendengar dan kami taat, mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan barang siapa yang menaati Alloh dan Rasul-Nya serta takut kepada Alloh dan bertakwa kepada-Nya maka mereka itulah orang-orang yang menang”. (An Nuur: 51-52)
Semoga tulisan singkat dan sederhana ini memberikan pencerahan kepada kita semua agar bisa lebih memahami kalimat tauhid sebagai nafas kehidupan kita sebagai seorang muslim. Hanya kepada Alloh kita memohon pertolongan untuk senantiasa istiqomah di atas kalimat tauhid. Semoga sholawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan dan teladan kita Nabi Muhammad ﷺ beserta keluarganya dan para sahabatnya.
Bekasi, 1 Jumadil Awwal 1440 H
Al faqiir
Oleh: Abu Athif, Lc –غفر الله له ولواديه-
[1] Abu al Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir, Tafsir al Quran al ‘Adzim (Dâr Thoyyibah li al nasyr wa al tauzi’, cetakan II, tahun 1420 H) juz 3 hal 427