Menghadiri Undangan Ketika Sedang Puasa Sunnah
Pertanyaan
Assalamu’alaikum, ana mau bertanya ustadz, Ketika kita sedang melaksanakan puasa sunnah, pada saat yang sama ada undangan yang di dalamnya ada jamuan makan (walimahan/syukuran). Kira-kira mana yang lebih utama, membatalkannya atau melanjutkan puasa? Syukron atas jawabannya.
Jawaban
Alhamdulillah was shalatu wassalamu ‘ala rasulillah.
Tentang masalah ini Rasulullah telah memberi jawabannya sebagaimana terdapat dalam hadits dari sahabat Jabir bin Abdillah radliallahu anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى طَعَامٍ، فَلْيُجِبْ، فَإِنْ شَاءَ طَعِمَ، وَإِنْ شَاءَ تَرَكَ
“Jika kalian diundang acara makan-makan maka hadirilah. Jika mau dia makan jika tidak maka boleh tidak makan.” (HR. Muslim no. 1430).
Hadits ini menjelaskan dalam kondisi puasa sunnah jika seseorang diundang maka yang wajib dilakukan adalah menghadiri undangan. Sementara untuk makan jamuannya, boleh memilih apakah tetap berpuasa atau membatalkannya.
Namun jika yang ditanyakan manakah yang lebih afdhal (utama), maka jawabannya adalah dengan melihat situasi dan kondisi, artinya jika orang yang mengundang tidak tersinggung kita tidak makan maka boleh tetap berpuasa.
Hal ini berdasarkan hadits riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا دُعِىَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ فَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيُصَلِّ وَإِنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ
“Jika salah seorang di antara kalian diundang makan, maka penuhilah undangan tersebut. Jika dalam keadaan berpuasa, maka do’akanlah orang yang mengundangmu. Jika dalam keadaan tidak berpuasa, santaplah makanannya.” (HR. Muslim no. 1431).
Artinya ketika saat itu ia sedang berpuasa maka ia hanya mendatanginya dan tetap berpuasa serta menggantinya dengan mendoakan kebaikan kepada orang yang mengundang.
Namun jika orang yang mengundang tersinggung jika kita tidak merasakan masakan yang dihidangkan dan kita pula merasa tidak enak ketika tidak merasakan masakannya maka yang utama adalah membatalkannya.
Hal ini berdasarkan beberapa pendapat para ulama:
Imam Nawawi berkata, jika sampai orang yang mengundang merasa tidak suka jika orang yang diundang tetap berpuasa, maka hendaklah yang diundang membatalkan puasanya. Jika tidak ada perasaan seperti itu, maka tidak mengapa tidak membatalkan puasa saat itu. (Imam Nawawi, Syarh Shahih Muslim, 9: 210)
Ibnu Taimiyah menjelaskan:
وأعدل الأقوال أنه إذا حضر الوليمة وهو صائم إن كان ينكسر قلب الداعي بترك الأكل فالأكل أفضل وإن لم ينكسر قلبه فإتمام الصوم أفضل ولا ينبغي لصاحب الدعوة الإلحاح في الطعام للمدعو إذا امتنع فإن كلا الأمرين جائز فإذا الزمه بما لا يلزمه كان من نوع المسألة المنهى عنها
“Pendapat yang paling baik dalam masalah ini, jika seseorang menghadiri walimah (undangan makan) dalam keadaan ia berpuasa, jika sampai menyakiti hati yang mengundang karena enggan untuk makan, maka makan ketika itu lebih utama. Namun jika tidak sampai menyakiti hatinya, maka melanjutkan puasa lebih baik. Akan tetapi, tidaklah pantas bagi tuan rumah memaksa yang diundang untuk makan ketika ia enggan untuk makan. Karena kedua kondisi yang disebutkan tadi sama-sama boleh. Jika jadinya memaksa pada hal yang sebenarnya bukan wajib, itu merupakan bagian dari pemaksaan yang terlarang.” (Ibnu Taimiyah, Fatawa Al-Kubra, 5: 477)
Kata Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin, hendaklah yang diundang menyantap makanan jadi bukan hanya hadir saja karena orang yang mengundang sengaja mengajak kita supaya menikmati makanan yang telah ia sajikan. Coba bayangkan jika sampai yang punya rumah mengundang dan telah membuat makanan yang banyak lalu kita tidak menyantapnya, tentu akan merasa kecewa. (Syaikh Ibnu Utsaimin, Syarh Riyadhis Sholihin, 4: 203)
wallahu a’lam.