Mengenal ‘Ied Ghadir Khum, Hari Raya Syiah
Oleh: Ust. Muhajirin Ibrahim, Lc
Setiap tanggal 18 Dzulhijjah, kaum Syiah berhari raya. Hari Raya yang disebut-sebut sebagai peringatan pewarisan tongkat kekhilafahan langsung dari Rasulullah SAW dan Ali bin Abi Thalib RA ini, bahkan diyakini lebih besar daripada dua id kaum Muslimin, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.
Lalu apa sebenarnya Id Ghadir Khum tersebut? Pengetahuan tentang sebuah keburukan itu perlu, agar kita tidak terjerembab dalam keburukan tersebut. Demikian teladan yang diberikan oleh shahabat Nabi SAW, Salman Al-Farisi. Berikut ini penjelasan tentang Id Ghadir Khum.
Sejarah Id Ghadir Khum
Perayaan Ghadir Khum adalah perayaan yang tidak ada dasarnya di dalam Islam. Perayaan ini dibuat oleh seorang raja bernama Abu Al-Hasan Ahmad bin Buwaih Al-Dailami bergelar Mu’izzu Al-Daulah dari Dinasti Buwaihiyah yang bermadzhabkan Syiah Itsna Asyariyah di Iraq.
Seorang raja yang pernah memerintahkan dan memaksa rakyatnya baik Syiah maupun Sunni di Baghdad pada tahun 351 H, sebelum munculnya perayaan Ghadir Khum pada tahun 352 H, untuk melaknat tiga Khulafa` Al-Rasyidin: Abu Bakar, Umar bin Khatthab dan Utsman bin Affan radhiyallahu anhum ajma’in dan Mu’awiyah radhiyallahu anhu pada setiap hari besar Islam dan Syiah di masjid-masjid dan jalan raya sebagaimana, dikisahkan oleh Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah.
Ibnu Katsir mengkisahkan salah satu peristiwa yang terjadi di tahun 352 H :
وفي عشر ذي الحجة منها أمر معز الدولة بن بويه بإظهار الزينة في بغداد ، وأن تفتح الأسواق بالليل كما في الأعياد ، وأن تضرب الذبابات والبوقات، وأن تشعل النيران في أبواب الأمراء ، وعند الشرط ، فرحاً بعيد الغدير – غدير خم – فكان وقتاً عجيباً مشهوداً ، وبدعة شنيعة ظاهرة منكرة
“Pada tanggal 18 Dzulhijjah, Muizzu Ad-Daulah bin Buwaih memerintahkan untuk memeriahkan dan menghiasi Baghdad, membuka pasar-pasar di malam hari seperti halnya hari raya, menabuh gendang dan rebana, meniup terompet, menyalakan unggun di depan pintu para pejabat pemerintahan dan aparat, sebagai bentuk ungkapan gembira atas perayaan Ghadir Khum, maka ini adalah peristiwa aneh yang disaksikan oleh sejarah dan bid’ah buruk yang sangat jelas serta perbuatan munkar.” (Al-Bidayah wa An-Nihayah 165)
Berkata Al-Maqrizi :
اعلم أن عيد الغدير لم يكن عيداً مشروعاً ، ولا عمله أحد من سالف الأمة المقتدى بهم ، وأول ما عرف في الإسلام بالعراق أيام معز الدولة على بن بويه ، فإنه أحدثه في سنة اثنتين وخمسين وثلاثمائة فاتخذه الشيعة من حينئذٍ عيداً
“Ketahuilah hari raya Ghadir Khum bukan perkara yang disyariatkan dan tidak pernah ada praktiknya di kalangan salaful ummah yang menjadi panutan. Perayaan Ghadir Khum diperkenalkan pertama kali di Iraq saat Mu’izzud Daulah bin Buwaih berkuasa. Dia membuat-buat perayaan tersebut pada tahun 352 H. Sejak itu umat Syiah menjadikannya sebagai hari raya.” (Al-Khuthath Wal Atsar karya Al-Maqrizi, 1/388).
Menyakiti Islam dan Kaum Muslimin
Perayaan Ghadir Khum baik disadari atau tidak disadari, telah menyakiti hati dan perasaan umat Islam.
Perayaan Ghadir Khum memiliki sejarah dan arti sendiri bagi umat Syiah. Menurut mereka perayaan Ghadir Khum ini berangkat dari peristiwa kepulangan Rasulullah SAW dan para sahabatnya dari haji Wada’ pada tanggal 18 Dzulhijjah, di mana beliau dan sahabatnya berhenti di sebuah muara (Ghadir) bernama Khum dan di situ beliau bersabda tentang Ali :
مَنْ كُنْتُ مَوْلاهُ فَعَلِيُّ مَوْلَاهُ ، اَللّهُمَّ وَالِ مَنْ وَالَاهُ ، وَعَادِ مَنْ عَادَاهُ
“Barang siapa yang aku adalah walinya maka Ali adalah walinya. Ya Allah berwala`lah kepada orang yang berwala` kepada Ali, dan musuhilah orang yang memusuhi Ali.” (HR Ahmad)
Dalam riwayat lain Nabi SAW menekankan untuk berpegang dengan kitab Allah kemudian bersabda: “Dan Ahlu Baitku, aku ingatkan kalian tentang Ahlu Baitku, aku ingatkan kalian tentang Ahlu Baitku.” (HR Muslim).
Konteks hadits ini bagi umat Syiah memiliki sejarah dan arti yang sangat sakral—meski sejatinya mereka menganggap hadits-hadits Ahlussunnah tidak valid dan tertolak—dimana menurut anggapannya Rasulullah SAW dengan nash hadits ini telah resmi memandatkan amanat dan jabatan khilafah kepada Ali bin Abi Thalib RA dan keturunannya.
Tidak cukup di situ, klaim Syiah atas maksud hadits Ghadir Khum berupa wasiat resmi imamah untuk Ali yang menjadi ajaran dan doktrin utamanya, melahirkan doktrin-doktrin lain yang melukai hati umat Islam. Di antaranya; penistaan terhadap simbol-simbol penting Islam terutama Abu Bakar, Umar dan Utsman Radhiyallahu Anhum Ajma’in karena dianggap telah merampas mandat dan jabatan Khilafah dari Ali RA dan mengkhianati amanat Nabi SAW.
Bahkan dengan berani Syiah mengkafirkan para Sahabat besar Nabi SAW tersebut serta sahabat lainnya—kecuali hanya sedikit dan siapa saja yang setuju dengan kekhilafahannya—karena dianggap menyeleweng dari wasiat Nabi SAW.
Dalam buku “Mafatih Al-Jinan” karya Abbas Al-Qummi yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul yang sama, dan diterbitan oleh pustakan Al-Huda atau ICC Jakarta, teraktub pada hal 150 dan 172 tentang doa dan adab ziyarah ke kubur Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu :
لَعَنَ اللّهُ جَاحِدَ وَلَايَتِكَ بَعْدَ الْإِقْرَارِ، وَنَاكِثَ عَهْدِكَ بَعْدَ الْمِيْثَاقِ
“Semoga Allah melanat orang yang membangkang dari berwilayah kepadamu (Ali) setelah sebelumnya dia mengkuinya, dan melanggar sumpahnya kepadamu setelah dia mengikat sumpah.” (hal 150).
Yang dimaksud dalam doa laknat ini menurut Syiah tentu para shahabat yang mengetahui peristiwa Ghadir Khum namun justru mereka melanggarnya dengan mengabaikan Ali RA pasca wafatnya Rasulullah SAW. Para shahabat tersebut, yang terutama adalah Abu Bakar, Umar dan Utsman Radhiyallah Anhum Ajma’in.
وَالْعَنْ مَنْ غَصَبَ وَلِيَّكَ حَقَّهُ وَأَنْكَرَ عَهْدهُ وَجَحَدهُ بَعْدَ الْيَقِيْنِ وَالْإِقْرَارِ… اَللّهُمَّ الْعَنْ أَوَّلَ ظَالِمٍ ظَلَمَ آلِ مُحَمَّدٍ وَمَانِعِيْهِمْ حُقُوْقَهُمْ، اَللّهُمَّ خُصَّ أَوَّلَ ظَالِمٍ وَغَاصِبَ لِآلِ مُحَمَّدٍ بِاللِّعَنِ
“Ya Allah laknatlah orang yang merampas hak walimu (Ali) dan dan mengingkari janjinya serta membangkang darinya setelah sebelumnya yakin dan mengakuinya…. Ya Allah laknatlah orang zhalim pertama yang mezhalimi keluarga Muhammad dan menghalangi dari mendapatkan haknya, ya Allah khususkan laknat kepada orang zhalim pertama dan yang telah merampas hak keluarga Muhammad.” (Hal 172)
Maksud dalam doa laknat ini tentu Abu Bakar RA yang dianggap syiah sebagai orang pertama yang merampas hak khilafah Ali RA dan menghalangi Fatimah RS dari mendapatkan warisan tanah Fadak. Padahal, sesungguhnya Abu Bakar bersih dari segala tuduhan mereka.
Buku tersebut belum ada revisi dari pihak ABI (Ahlu Bait Indonesia) yang sering menggaungkan persatuan sunni Syiah dan masih belum ditarik dari percetakan dan penjualan.
Sikap Ekstrim Melebihi Idul Fitri dan Idul Adha
Adalah hal wajar jika umat Islam di dunia dan Indonesia khususnya merasa terganggu atas perayaan Id Ghadir Khum karena sudah diketahui bahwa hari raya tahunan dalam Islam hanya ada dua; Idul Fitri dan Idul Adha. Selain itu banyak peristiwa besar dan penting di zaman Nabi SAW seperti peristiwa hijrah dan kemenangan dalam peperangan, peristiwa Fathu Makkah dan beberapa peristiwa besar lainnya yang tidak dijadikan sebagai hari raya—karena memang tidak ada nash baik sharih (terang-terangan) atau muawwal bil qaraa`in (yang tersirat dengan indikasi lain yang menyertainya) memerintahkan untuk menjadikannya sebagai hari raya.
Parahnya, Syiah yang mengaku sebagai madzhab cinta dan persatuan, memiliki hari raya sendiri berupa Ghadir Khum bahkan meyakininya lebih baik dan utama dari pada Idul Fitri dan Idul Adha. Padahal merayakan hari tersebut saja tidak ada dasarnya dalam Islam sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
Di sisi lain apakah menurut anggapan mereka Ali bin Abu Thalib RS lebih mulia dari pada Rasulullah SAW? Apakah Perkara imamah lebih besar dari perkara kenabian? Atau memang demikian doktrin yang mereka yakini? Sebagaimana disebutkan oleh figur besar Syiah masakini Khomaini dalam kitabnya Al-Hukumah Al-Islamiyah sebuah pernyataan yang sangat kotroversial baik secara aqli maupun syar’i, dia katakan :
فَإِنَّ لِلْإِمَامِ مَقَامًا مَحْمُوْدًا وَدَرَجَةً سَامِيَةً وَخِلَافَةً تَكْوِيْنِيَّةً نَخْضَعُ لِوَلَايَتِهَا وَسَيْطَرَتِهَا جَمِيْعَ ذِرَاتِ هَذَا الْكَوْنِ، وَإِنَّ مِنْ ضَرُوْرِيَاتِ مَذْهَبِنَا أَنَّ لِأَئِمَّتِنَا مَقَامًا مَحْمُوْدًا لَا َيْبلُغُهُ مَلَكٌ مُقَرَّبٌ وَلَا نَبِيٌّ مُرْسَلٌ ….. وَقَدْ وَرَدَ عَنْهُمْ (ع) : أَنَّ لَنَا مَعَ اللَّهِ حَالَاتِ لَا يَسِعُهَا مَلَكٌ مُقَرَّبٌ وَلَا نَبِيٌّ مُرْسَلٌ.
“Sesungguhnya imam memiliki kedudukan istimewa, derajat yang tinggi dan kekuasaan alam jagad raya, dimana seluruh alam ini sampai partikelnya tunduk terhadap kepemimpinan dan kekuasaannya. Dan termasuk ajaran pokok madzhab syiah meyakini bahwa para imam kita memiliki kedudukan istimewa yang tidak bisa dijangkau oleh malaikat terdekat, tidak pula Nabi yang diutus…… bahkan disinyalir dari para imam (berkata), ‘Bahwa kami memiliki kedudukan yang tidak bisa dituju oleh malaikat terdekat dan Nabi yang diutus’.”
Jadi menurut Khomeini, imamah para imam Syiah lebih mulia dari kenabian dan kedudukan para malaikat!
Selanjutnya tidak ada dalam Al-Qur`an maupun Sunnah Nabi-Nya perintah untuk menjadikan hari jadi kenabian para Nabi dan Rasul—yang lebih besar dari imamah—sebagai hari raya. Rasulullah SAW sendiri tidak pernah memperingati hari jadi kenabiannya dan tidak pula memerintahkannya, apalagi sampai menjadikannya sebagai hari raya khusus. Alih alih tidak ada perintah untuk peristiwa besar berupa kenabian, umat Syiah malah menjadikan peristiwa Ghadir Khum—jika hanya sekadar makna imamah di dalamnya menurut mereka—sebagai hari raya besar bahkan lebih besar dari Idul Fitri dan Idul Adha.
Dengan semua penjelasan di atas maka umat islam di indonesia harus tetap tegas dengan menyatakan sikap penolakan atas perayaan Id Ghadir Khum. Tidak menolak, tidak sakit hati dan setuju dengan hari raya Ghadir Khum berarti setuju dengan doktrin menyimpang yang terkandung di dalamnya. Wallahu ‘alam.
–(Himayah Foundation)–