Pertanyaan
Saya seorang karyawan di sebuah perusahaan swasta dengan gaji bulanan. Jika dihitung selama setahun jumlah gaji saya sudah mencapai nishab. Oleh kerenanya, saya mengeluarkan zakatnya setiap bulan agar saya tidak merasa keberatan untuk membayar zakat saat jatuh tempo (genap satu haul). Bolehkan membayar zakat seperti yang saya praktekkan tersebut?
Abdurrahman – Bumi Allah
Jawaban
Para ulama sepakat, mengeluarkan zakat sebelum mencapai nishab tidak boleh, karena sebab wajibnya zakat adalah tercapainya nishab. Sama seperti tidak bolehnya menyerahkan diyat (uang darah) sebelum membunuh. Nishab zakat uang kertas adalah 85 gram emas atau 595 gram perak. Kebanyakan ulama kontemporer menyatakan, nishab uang kertas diqiyaskan dengan perak. Sebab, akan lebih cepat tercapai sehingga lebih bermaslahat bagi para mustahiq (orang yang berhak menerima zakat).
Sebagai ilustrasi, harga perak hari ini (24 januari 2015) menurut antamgold.com adalah 11.050,-Maka, nishab uang rupiah per-24 Januari 2015 adalah 595 x Rp. 11.050,- = 6.574.750,-
Jika setelah dikurangi kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan kendaraan, kesehatan) masih tersisa uang sejumlah tersebut dalam kurun waktu satu tahun hijriyah, maka nishab sudah tercapai. Makanya, rata-rata setiap bula hijriyah masih tersisa uang sejumlah Rp. 6.574.750,- : 12 = Rp. 547.895,-
Jika misalnya gaji seseorang adalah 5.000.000,- namun uang habis untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya bersama 1 orang istri dan 8 orang anaknya dan hanya tersisa Rp. 200.000,- setiap bulannya, dia belum wajib membayar zakatnya karena hartanya belum mencapai nishab.
Apabila nishab telah tercapai, para ulama berbeda pendapat mengenai hukum menyegerakan pembayaran zakat sebelum kepemilikan terhadap harga genap satu haul (satu tahun hijriyah). Jumhur ulama berpendapat, boleh bahkan sunnah menyegerakan pembayaran zakat. Dasarnya, Abbas bin Abdul Muthalib pernah meminta Rasulullah untuk menyegerakan pengambilan zakatnya. Dan Nabi mengabulkannya. (HR. Ahmad, Abu Daud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dengan sanad hasan). Wallahu a’lam
Sumber: majalah hujjah edisi 03 hal. 37