Mempersembahkan Hidup dan Mati Hanya untuk Islam
Secara bahasa kata Islam bermakna tunduk dan patuh kepada Allah SWT. Sebuah ketundukan paripurna terhadap aturan Allah dalam segala hal. Inilah yang kemudian membuat para pembesar Quraisy menolak dakwah Nabi, mereka sadar jika mereka menerima dakwah Nabi, maka secara otomatis mereka akan kehilangan kuasa terhadap masyarakat. Padahal mereka sebelumnya adalah orang yang mengontrol sistem tata kelola kehidupan di tengah masyarakat Quraisy.
Sebuat saja Abu Jahal, namanya adalah Amru bin Hisyam, namun oleh orang Quraisy dia disebut Abul Hakam. Disebut Abul Hakam karena tidak ada sengketa dan permasalahan orang Quraisy yang diadukan kepadanya, melainkan akan mendapat penyelesaian dan jalan keluar. Bahkan dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa sebenarnya Abu Jahal mengakui kenabian Muhammad SAW, namun dia menolak syariat yang dibawa olehnya. Abu Jahal berkata :
أن أبا جهل قال للنبي صلى الله عليه وسلم : إنا لا نكذبك ولكن نكذب ما جئت به
Artinya, “Sesungguhnya Abu Jahal berkata kepada Nabi SAW, ‘Sesungguhnya kami tidak menganggapmu pendusta, tapi kami mendustai ajaran yang kamu bawa.” (Al-Jami’ Liahkmil Quran 4/416)
Abu Jahal dan mereka yang menolak dakwah Nabi, khawatir jikalau mereka kehilangan kuasa dan kedaulatan di tengah bangsa Quraisy. Sehingga, kesombongan inilah yang membuat mereka menolak dakwah Nabi Muhammad SAW. Dakwah Nabi yang oleh Rib’i bin Amir disebut dengan dakwah yang mengeluarkan manusia dari penghambaan terhadap manusia, menuju penghambaan terhadap Allah.
Rib’i bin Amir datang ke Istana Rustum memenuhi panggilan Rustum, Panglima perang Persia. Setelah ditanya, Risalah apa yang engkau bawa, maka beliau menjawab :
“Kami datang untuk mengeluarkan manusia dari penghambaan terhadap manusia, menuju penghambaan kepada Allah semata. Dari kezaliman atas nama agama menuju keadilan Islam. Dari kesempitan dunia menuju luasnya akhirat.” (Al-Bidayah wan Nihayah 7/39)
Tunduknya manusia kepada sistem, tata kelola dan isme hasil olah manusia, pada hakikatnya bentuk perbudakan manusia kepada sesama manusia. Ketaatan Bani Israil kepada hukum dan sistem tata kelola Firaun adalah bentuk penghambaan kepada Firaun.
Ketaatan bangsa Quraisy kepada sistem Jahiliyah yang dirumuskan para pembesar Quraisy di Darun Nadwah adalah bentuk penghambaan manusia kepada manusia. Oleh karena itu Islam menegaskan bahwa ketundukan seorang hamba Allah hanyalah kepada Allah semata, jikapun ia taat dan mengikuti perkataan orang lain, maka harus dipastikan hal tersebut dalam rangka taat dan tunduk kepada Allah SWT.
Allah SWT berfirman :
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Artinya, “Katakanlah (wahai Muhammad), Sesungguhnya Sholatku, sembelihanku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah Rabb semesta alam.”
Ayat di atas adalah gambaran totalitas penghambaan kepada Allah SWT. Totalitas penghambaan itu meliputi ibadah, penyemblihan, hidup dan mati yang dipersembahkan kepada Allah SWT.
Seorang muslim mengerti bahwa Rabb mereka berdaulat atas diri mereka. Dan bentuk kedaulatan Allah pada diri mereka adalah dengan mempersembahkan ibadah hanya kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman :
وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِّمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لله وَهُوَ مُحْسِنٌ
Artinya, “Siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang dengan ikhlas berserah diri kepada Allah. Sedangkan dia mengerjakan kebaikan dan mengikuti ajaran Ibrahim yang lurus?..” (QS An-Nisa’ 125)
Ibrahim adalah sosok teladan dalam ketundukan dan kepatuhan terhadap Allah SWT. Adalah Ibrahim, ketika itu sudah berumur 80 tahun, namun belum dikarunia anak. Beliau terus berdoa kepada Allah. Hingga Allah mewahyukan kepada Ibrahim bahwa dirinya akan dikarunia seorang anak. Bahkan Hajar ketika itu serasa tidak percaya, dengan berkata, “Apakah saya bisa melahirkan padahal saya sudah tua.” (QS Hud : 72). Dengan kebesaran dan keagungan Allah lahirlah dari rahim Hajar seorang bayi yang bernama Ismail.
Ketika Ismail kecil sudah lahir kedunia, Allah memerintahkan Ibrahim untuk membawa anak dan istrinya ke sebuah lembah yang tak berpenghuni dan tak bertanaman. Namun, karena ini perintah Allah, Ibrahim tidak pernah mengingkari dan menyangkalnya. Ibrahim percaya bahwa setiap perintah Allah pasti ada kebaikan di dalamnya.
Perkataan Ibrahim ketika melepas anak dan istrinya di abadikan di dalam Al-Quran. Allah SWT berfirman :
Artinya, “Wahai Rabb kami, sesungguhnya saya menempatkan sebagian keturunan saya di lembah yang tidak ada tanaman, di dekat rumah-Mu yang dhormati. Waha Rabb kami, yang demikian itu agar mereka melaksanakan sholat..” (QS Ibrahim : 37)
Belum hilang pelajaran yang kita ambil dari Ibrahim tentang ketundukan dan kpeasrahan terhadap perintah Allah, sekali lagi beliau dengan keluarganya yang mulia membuat kita kembali terperangah. Kali ini Allah memerintahkan kepada Ibrahim untuk mnyemblih Ismail yang baru beranjak remaja. Sebuah perintah yang tidak logis. Namun di sini keimanan yang berbicara. Keimanan Ibrahim menuntunnya untuk melaksanakan perintah tersebut.
Dan alangkah mengejutkannya jawaban Ismail ketika mndengar perintah Allah tersebut. “Wahai bapakku lakukanlah apa yang diperintahkan Allah dan engkau akan mendapatiku termasuk orang-irang yang sabar.” (QS Ash-Shofat: 102) Sebuah jawaban yang menggambarkan keberhasilan seorang Ibrahim mengajarkan kepada anaknya ketundukan dan kepasrahan kepada perintah Allah. Ketundukan kedua anak dan bapak ini Allah abadikan di dalam Al-Quran :
فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ
Artinya, “Ketika keduanya berserah diri dan dia (Ibrahim) membaringkan anaknya di atas pelipisnya.” (QS Ash-Shofat: 3)
Sebuah pemandangan yang menjadi teladan bagi kita dan membuat kita bertanya kepada diri sendiri, sudahkah kita tunduk dan patuh kepada Allah? Seberapa tunduk dan patuh kita ketika peritah Allah bertentangan dengan hawa nafsu kita? Ketika larangan Allah berlawanan dengan keinginan kita apa yang kita perbuat?
Menyerahkan hidup kita kepada Allah berarti mengikrarkan diri kita untuk tunduk dan patuh kepada aturan Allah. Patuh menjalankan syariat Allah. Karena tidak akan berarti sebuah ikrar tanpa pembuktian nyata terhadap ikrar tersebut.
Apa makna ikrar keislaman, ketika Allah perintahkan kita untuk menjauhi dan memerangi riba, kita justru seolah tidak tahu menahu dengan larangan itu, atau kita justru melembagakan sebuah sistem ribawi. Lantas apa bedanya kita dengan kaum Nabi Syuaib yang mau diatur jika sholat hanya sebatas sholat, agama tidak mengatur pasar, agama tidak mengatur negara?
Lantas apa artinya ketundukan yang kita lantunkan, jika ketika Allah memerintahkan kita untuk mengatur seluruh kehidupan manusia dengan apa yang diturunkan Allah, sebagian kita malah menganggap apa yang diturunkan Allah sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman, menyebabkan pecah belah, tidak sesuai dengan HAM dan segudang alasan lainnya demi menolak aturan Allah di muka bumi. Dengan semua penolakan tersebut, masih layakkah seorang hamba mengaku tunduk dan patuh kepada Rabb-Nya?
Padahal mengikrarkan hidup kita hanya milik Allah, memiliki konsekuensi bahwa kita rela dan pasrah diatur oleh aturan Allah, kita siap untuk menjalankan hukum Allah di muka bumi dan kita ridho mewujudkan syariat Allah di tengah masyarakat. Ketundukan ini terangkum dalam satu kalimat taat sami’na wa atho’na, Kami dengar dan kami taati.
Lantas apa yang dimaksud dengan kematian hanya untuk Allah? Senada dengan firman Allah SWT :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
Artinya, “Hai orang-orangyang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa, dan jangalah kalian mati kecuali dalam keadaan muslim.” (QS Ali Imran : 102)Ibrahim adalah sosok teladan dalam ketundukan dan kepatuhan terhadap Allah SWT. Adalah Ibrahim, ketika itu sudah berumur 80 tahun, namun belum dikarunia anak. Beliau terus berdoa kepada Allah. Hingga Allah mewahyukan kepada Ibrahim bahwa dirinya akan dikarunia seorang anak. Bahkan Hajar ketika itu serasa tidak percaya, dengan berkata, “Apakah saya bisa melahirkan padahal saya sudah tua.” (QS Hud : 72). Dengan kebesaran dan keagungan Allah lahirlah dari rahim Hajar seorang bayi yang bernama Ismail.
Ketika Ismail kecil sudah lahir kedunia, Allah memerintahkan Ibrahim untuk membawa anak dan istrinya ke sebuah lembah yang tak berpenghuni dan tak bertanaman. Namun, karena ini perintah Allah, Ibrahim tidak pernah mengingkari dan menyangkalnya. Ibrahim percaya bahwa setiap perintah Allah pasti ada kebaikan di dalamnya.
Perkataan Ibrahim ketika melepas anak dan istrinya di abadikan di dalam Al-Quran. Allah SWT berfirman :
Artinya, “Wahai Rabb kami, sesungguhnya saya menempatkan sebagian keturunan saya di lembah yang tidak ada tanaman, di dekat rumah-Mu yang dhormati. Waha Rabb kami, yang demikian itu agar mereka melaksanakan sholat..” (QS Ibrahim : 37)
Belum hilang pelajaran yang kita ambil dari Ibrahim tentang ketundukan dan kpeasrahan terhadap perintah Allah, sekali lagi beliau dengan keluarganya yang mulia membuat kita kembali terperangah. Kali ini Allah memerintahkan kepada Ibrahim untuk mnyemblih Ismail yang baru beranjak remaja. Sebuah perintah yang tidak logis. Namun di sini keimanan yang berbicara. Keimanan Ibrahim menuntunnya untuk melaksanakan perintah tersebut.
Dan alangkah mengejutkannya jawaban Ismail ketika mndengar perintah Allah tersebut. “Wahai bapakku lakukanlah apa yang diperintahkan Allah dan engkau akan mendapatiku termasuk orang-irang yang sabar.” (QS Ash-Shofat: 102) Sebuah jawaban yang menggambarkan keberhasilan seorang Ibrahim mengajarkan kepada anaknya ketundukan dan kepasrahan kepada perintah Allah. Ketundukan kedua anak dan bapak ini Allah abadikan di dalam Al-Quran :
فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ
Artinya, “Ketika keduanya berserah diri dan dia (Ibrahim) membaringkan anaknya di atas pelipisnya.” (QS Ash-Shofat: 3)
Sebuah pemandangan yang menjadi teladan bagi kita dan membuat kita bertanya kepada diri sendiri, sudahkah kita tunduk dan patuh kepada Allah? Seberapa tunduk dan patuh kita ketika peritah Allah bertentangan dengan hawa nafsu kita? Ketika larangan Allah berlawanan dengan keinginan kita apa yang kita perbuat?
Menyerahkan hidup kita kepada Allah berarti mengikrarkan diri kita untuk tunduk dan patuh kepada aturan Allah. Patuh menjalankan syariat Allah. Karena tidak akan berarti sebuah ikrar tanpa pembuktian nyata terhadap ikrar tersebut.
Apa makna ikrar keislaman, ketika Allah perintahkan kita untuk menjauhi dan memerangi riba, kita justru seolah tidak tahu menahu dengan larangan itu, atau kita justru melembagakan sebuah sistem ribawi. Lantas apa bedanya kita dengan kaum Nabi Syuaib yang mau diatur jika sholat hanya sebatas sholat, agama tidak mengatur pasar, agama tidak mengatur negara?
Lantas apa artinya ketundukan yang kita lantunkan, jika ketika Allah memerintahkan kita untuk mengatur seluruh kehidupan manusia dengan apa yang diturunkan Allah, sebagian kita malah menganggap apa yang diturunkan Allah sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman, menyebabkan pecah belah, tidak sesuai dengan HAM dan segudang alasan lainnya demi menolak aturan Allah di muka bumi. Dengan semua penolakan tersebut, masih layakkah seorang hamba mengaku tunduk dan patuh kepada Rabb-Nya?
Padahal mengikrarkan hidup kita hanya milik Allah, memiliki konsekuensi bahwa kita rela dan pasrah diatur oleh aturan Allah, kita siap untuk menjalankan hukum Allah di muka bumi dan kita ridho mewujudkan syariat Allah di tengah masyarakat. Ketundukan ini terangkum dalam satu kalimat taat sami’na wa atho’na, Kami dengar dan kami taati.
Lantas apa yang dimaksud dengan kematian hanya untuk Allah? Senada dengan firman Allah SWT :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
Artinya, “Hai orang-orangyang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa, dan jangalah kalian mati kecuali dalam keadaan muslim.” (QS Ali Imran : 102)
Ibnu Katsir –rahimahullah– berkata :
حافظوا على الإسلام في حال صحتكم وسلامتكم لتموتوا عليه ، فإن الكريم قد أجرى عادته بكرمه أنه من عاش على شيء مات عليه ، ومن مات على شيء بعث عليه ، فعياذا بالله من خلاف ذلك
Artinya, “Jagalah keislaman kalian dalam kondisi sehat dan selamat agar kalian mati di atas keislaman. Sesungguhnya seorang yang dermawan akan mengalir baginya pahala sesuai dengan kebiasaannya. Siapa yang terbiasa atas sesuatu dia akan dimatikan atas sesuatu tersebut. Siapa yang mati atas sesuatu dia akan dibangkitkan atas sesuatu. Maka berdolah kepada Allah dari kondisi di luar itu (mati dalam Islam).” (Tafsir Ibnu Katsir 2/87)
Sebuah perintah dari Allah SWT agar senantiasa menjaga keislaman kita, berada dalam aturan-aturan dan ketundukan kepada Allah, agar kita diwafatkan dalam kondisi Islam. Islam menjadi harga mati bagi setiap aktifitas kita.
Tidak ada harga mati yang layak bagi seorang muslim kecuali mati demi Allah SWT. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW :
عن أبي موسى الأشعري قال: سُئل رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ : عن الرجلِ يقاتل شجاعةً ، ويقاتل حمِيَّةً ، ويقاتل رياء أي ذلك في سبيل اللهِ؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم من قاتل لتكون كلمة الله هي العليا فهو في سبيل الله
Artinya, “Dari Abu Musa Al-Asy’ari berkata, “Rasulullah SAW ditanya tentang seorang yang berperang karena berani, berperang karena kesombangan (fanatisme) kesukuan (kebangsaan), berperang karena riya’, manakah yang di jalan Allah?, Rasul berkata, “Barangsiapa yang berperang demi meninggikan kalimat Allah, maka dia berada di jalan Allah.”
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin memberikan contoh kontemporer dari hadits di atas, hari ini ada dua bentuk berperang atas nama fanatisme kesukuan (ashobiyah), pertama berperang atas ideology nasionalisme Arab. Beliau mengatakan bahwa siapa saja yang berperang atas dasar nasionalisme Arab, maka dia termasuk berperang Jahiliyah, jika dia mati, dia bukanlah syahid, merugi dunia dan akhirat karena dia tidak berperang di jalan Allah.
Kedua, berperang untuk membela tanah air, jika seseorang berperang hanya membela tanah air saja, maka apa beda kita dengan orang kafir? Karena orang kafir juga berperang demi tanah air mereka.
Syaikh Utsaimin juga menjelaskan beda antara berperang demi tanah air dengan berperang mempertahankan Islam yang ada di negeri kita. Karena memiliki konsekuensi yang berbeda. Berperang di jalan Allah demi membela Islam di tanah yang kita tempati adalah salah satu kewajiban agama. sedangkan berperang demi tanah air saja adalah sebuah niat yang batil dan tidak berdampak sama sekali bagi Islam. (Lihat Syarh Riyadhus Sholihin 1/10)
Sebuah pengamatan yang jeli dari syaikh Al Utsaimin, jika seorang berperang ingin menegakkan agama Allah, maka porosnya Islam, perangnya dituntun wahyu, matinya mendapat keutamaan syahid dan pembelaannya melakat pada Islam, dimanapun Islam itu berada. Sedangkan mereka yang berperang demi tanah air, maka aturan perangnya adalah aturan manusia, dan pembelaannya terbatas pada tanah air semata. Sebagai contoh, jika seorang berperang atas nama tanah air, dia akan acuh dan abai terhadap orang yang diperangi di luar tanah airnya karena pembelaannya hanya terbatas pada tanah airnya saja.
Kiranya, marilah kita renungi kembali ikrar syahadat kita, sebuah ikrar ketudukan dan kepatuhan kepada Allah, Pencipta alam semesta. Ikrar yang memiliki konsekuensi untuk siap dan ridho di atur dengan aturan Allah dalam semua kondisi dan dalam segala aspek. Sehingga dengannya kita mewujudkan Islam pada diri kita di ranah nyata. Wallahu a’lam bissowab
(Ibnu Rodja-istidlal.org)