Memburukkan Citra Islam
Tak kenal maka tak sayang. Begitu kata pepatah. Pepatah yang dibuktikan oleh sahabat Thufail bin Amru Ad-dusi.
Enam tahun setelah Rasulullah diutus, ThufaiI datang ke Makkah dalam rangka haji. Begitu pemimpin kabilah Daus itu tiba, para pembesar Makkah datang menyambut. Mereka suguhkan pelayanan maksimal. Mulai dari sajian hingga tempat penginapan terbaik.
Keramahan itu ternyata ada maksudnya. Mereka mewanti-wanti, “Wahai Thufail kamu sedang berada di Makkah. Di tempat ini telah muncul seseorang yang mengaku Nabi. Ia buat kota ini gaduh. Memecah persatuan warganya. Ia hina nilai luhur kami. Ucapannya sedahsyat sihir. Membuat anak membenci bapak dan karib kerabat. Bahkan membuat suami-istri berpisah. Kami takut, kamu atau kaummu terkena bencana serupa.”
Para tetua Quraisy menekankan peringatan, ”Awas jangan pernah berbicara dengannya!”
Semula Thufail percaya propaganda itu. la bertekad tidak akan mendekat, berbicara, apalagi mendengar ucapan Rasulullah walau satu kalimat. Bahkan, saat thawaf memohon berkah dari berhala-berhala di sekitar ka’bah, ia sumpal telinganya dengan kain.
Hingga ketika Thufail melihat Rasulullah shalat di depan ka’bah. la heran dengan tata cara shalat Rasulullah yang berbeda dengan cara kaum Arab menyembah berhala. Begitu pun dengan lantunan bacaan AI-Quran yang begitu indah. Melebihi keindahan sastra-sastra Hudzail yang terkenal indah. Thufail lupa seluruh propaganda musyrikin Makkah.
“Ah Thufail. kamu adalah penyair cerdas, tahu mana yang baik dan buruk. Apa salahnya mendengar ucapan lelaki ini?” gumam suara batinnya.
Thufail lalu menemui Rasulullah di Rumahnya. la ceritakan peringatan yang ia dengar dari pihak Quraisy. Ia juga ingin mengecek kebenarannya dengan bertanya Iangsung kepada pria yang mereka sebut sebagai ‘sumber masalah’. Pada intinya, ia ingin mendengar dari dua arah atau cover both sides.
Rasulullah membacakan surat Al-lkhlas dan Al-Falaq. Dua surat yang berisi penjelasan tentang tauhid. Ternyata kedua surat itu sudah cukup membuat Thufail menerima kebenaran. Ia jabat tangan Muhammad sambil mengucap, “Asyhadu anla ilaha illallah. Wa asyhadu anna muhammad Rasulullah.”
Fragmen kisah ini membuktikan kebenaran dakwah Islam. Bahwa Islam itu laksana matahari. Sinamya menyinari dan menghangatkan siapa saja. Kecuali orang yang sengaja meringkuk di tempat gelap yang fobia cahaya.
Begitulah dakwah Islam, kebenarannya tidak akan dapat dilawan. Baik oleh akal tercerdas sekalipun. Karenanya, pihak-pihak yang memusuhi dakwah Islam tak tinggal diam Beragam makar dibuat untuk menjauhkan manusia dari sumber cahaya. Termasuk dengan propaganda untuk menggiring manusia membenci Islam.
Semua itu bertujuan membuat manusia fobia dengan Islam. Harus sampai tahap fobia, tidak sekadar ketakutan biasa. Karena fobia sifatnya tidak logis, muncul begitu saja dari alam bawah sadar. Karena itu, orang yang fobia secara otomatis akan menjauhi objek yang ia takuti.
Membuat orang fobia tidak dengan cara kekerasan. Tapi, lebih banyak menggunakan narasi yang lembut tapi menusuk. Seperti mengasosiasikan Islam dengan praktik buruk yang dilakukan umatnya. Misalnya, ajaran khilafah diasosiasikan dengan praktik khilafah yang dilakukan oleh Abu Bakar Al-Baghdadi dan pengikutnya.
Narasinya pun sangat soft. Seperti cuitan, “Adzan tidak suci, adzan itu cuma panggilan sholat. Sering tidak merdu. Jadi, biasabiasa sajalah.” Ketika dikonfrontir ia akan akan berkilah bahwa yang dimaksud adzan si fulan yang bersuara cemplang.
Narasi lainnya ialah dengan lokalisasi Islam. Bahwa penerapan Islam itu harus berbeda-beda menyesuaikan tempat Ada Islam model Arab, model suku Berber Afrika, Melayu Malaysia bahkan Islam Nusantara.
Jika anda pernah belajar tentang ushul fiqih, istilah Islam Nusantara memiliki mafhum mukholafah atau pemahaman terbalik; bahwa selain Islam nusantara tidak cocok untuk diterapkan di negeri ini. Atau tidak relevan dengan kearifan lokal.
Istilah ini halus dan menusuk, mirip dengan teori ‘lapis pelitur’ yang dirumuskan para orientalis Belanda. Teori ini menurut Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas, pakar sejarah melayu, menempatkan Islam laksana pelitur yang tidak meresap ke dalam kayu. Islam dianggap lapisan asing. Jasad kayu atau jati diri masyarakat di nusantara, tetap Hindu, Buddha dan animis.
Tak heran jika kedatangan dakwah Islam atau keberadaan kerajaan Islam dianggap menjajah. Bahwa Indonesia adalah kelanjutan kerajaan Majapahit. Sehingga istilah-istilah resmi, simbol-simbol negara banyak memakai simbol Majapahit, bukan dari simbol Islam seperti Al-Quran dan masjid.
Ketika Islam ingin diterima di negeri ini, harus melalui proses screening dan adaptasi dengan kearifan lokal. Hal itu tercermin dari ucapan tokoh yang sempat viral beberapa bulan terakhir. “Tugas kita dalam berdakwah dan mensyiarkan Islam sebagai Rahmatan Iil’alamin adalah mengindonesiakan Islam dan bukan menglslamkan Indonesia,” ucapnya saat berceramah di Australia.
Ada dua alasan mengapa seseorang fobia Islam:
Faktor pertama, ketidaktahuan dan keawaman. Gelapnya kabut syubhat, terutama bagi orang yang tidak pernah dididik dengan ilmu-ilmu Islam, menutup kebenaran. Golongan ini sebenarnya memiliki potensi kebaikan yang besar. Laksana batu besar yang menutup mata air. Karenanya, syubhat yang menutup akal dan nurani tersebut perlu dipecah terlebih dahulu. Seperti memecah batu untuk mengalirkan sumber air.
Contohnya seperti Umar bin Khattab dan Hamzah bin Abdul Muthallib. Kedua tokoh hebat itu tidak masuk Islam di hari pertama Rasulullah berdakwah. Tapi di tahun keenam kenabian. Selama rentan waktu tersebut mereka asyik dengan dirinya sendiri atau masih percaya dengan mitos yang dipelihara kaumnya.
Hamzah masuk Islam dipicu rasa kemanusiaan. Setelah tahu bahwa keponakannya dizalimi Abu Jahal. Hamzah yang baru saja pulang berburu langsung membalas. Dipukulnya kepala Abu Jahal dengan busur hingga berdarah-darah. Ia tak peduli pembalasan Kabilah Kinanah yang sangat berpengaruh di Makkah.
Begitu pula Umar yang mulai goyah keyakinannya lantaran mendengar bacaan surat AI-Haqqah. Pada akhirnya ia masuk Islam setelah menampar adiknya Fathimah bin Khattab.
Faktor kedua, dengki dan kebencian. Umumnya, mereka ini adalah golongan orang yang mengetahui kebenaran. Tapi karena tidak sesuai dengan hawa nafsu dan kepentingannya, kebenaran mereka lawan. Kondisi mereka seperti bani israil yang mendapat murka Allah.
Menurut Ibnu Qayyim AI-Jauziyah, makar kelompok ini perlu dilawan dengan jihad bil hujjati wal bayan. Atau jihad berupa penjelasan dan argumentasi. Tujuan utama adalah menyapu syubhat dan melindungi masyarakat awam yang rentan menjadi korban. Jika mereka taubat dan kembali, itu menjadi bonus tersendiri. WalIahu a’lam. (An Najah: 153)