Membaca al-Fatihah dalam hati ketka shalat dianggap biasa oleh sebagian masyarakat. Berdalil bahwa yang diwajibkan adalah membaca, maka membaca dalam hati termasuk membaca menurut mereka.
Fenomena ini mengakar dan telah menjadi kebiasaan. Oleh karena itu, perlu kajian khusus agar umat bisa memahami masalah ini. Mengingat bahwa membaca al-Fatihah adalah rukun shalat yang tidak sah shalat tanpa bacaan al-Fatihah. (Al-Fiqhu Al-Islamy wa adillatuhu, Dr. Wahbah Zuhayli. 7/830)
Nyeleneh, bacaan al-fatiha tidak mempengaruhi keabsahan shalat.
Pendapat ahli fikih yang mengatakan bahwa membaca al-fatihah bukan merupakan rukun shalat adalah pendapat yang menyelisihi jumhur ulama.
Rasululah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
“Tidak sah shalat bagi yang tidak membaca al-Fatihah.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu Nabi bersabda,
مَنْ صَلَى صَلَاةً لَمْ يَقْرَأُ فِيْهَا بِفَاتِحَةِ الكِتَابِ فَهِيَ خِدَاجٌ
Barangsiapa yang mengerjkan shalat dan tidak membaca Ummul Qur`an (Al-Fatihah) di dalamnya, maka shalatnya tidaka terputus.”
Beliau mengucapkannya tiga kali, maknanya da tidak sempurna. Dikatakan kepada Abu Hurairah, “Sesungguhnya kami shalat di belakang imam.” Maka beliau berkata, “Bacalah dalam dirimu.” (HR. Muslim, Abu Daud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ibnu Majah)
Dua hadits di atas menjelaskan tentang bacaan al-Fatihah yang mempengaruhi sah tidaknya shalat. Hanya saja, para ulama berbeda pendapat tentang kapan al-Fatihah diwajibkan dan kapan cukup diwakili leh imam shalat jamaah. Yang jelas, ketika shalat sendirian wajib membaca al-Fatihah, bila ada pendapat yang tidak mewajibkan membaca al-Fatihah ketika shalat munfarid –shalat sendirian- itu adalah pedapat yang nyeleneh yang menyelisihi pendapat jumhur ulama.
Apakah ‘Membaca Dalam Hati’ Dianggap Membaca Secara Syar’i?
Yang dimaksud membaca dalam hati yaitu membaca tanpa suara dan tidak menggerakkan bibir (tidak menggerakkan lisan, dalam bahasa jawa: tidak umak-umik atau hanya dibatin). Jadi, membaca yang tidak mengeluarkan suara bahkan tidak bisa didengar oleh si pembaca.
Kajian ini penting. Bila ‘membaca al-Fatihah dalam hati’ dianggap membaca maka shalatpun sah karena rukun terpenuhi. Sebaliknya, bila tidak terhitung membaca, shalat dianggap tidak sah karena rukunnya tidak terpenuhi.
Para ulama menjelaskan bahwa membaca al-Fatihah dalam hati bukan termasuk membaca yang dimaksudkan syariat. Dari Abu Qatadah radhiyallahu anhu, ia berkata, Pada rakaat pertama dan kedua shalat Zhuhur, Nabi membaca al-Fatihah dan dua surat, pada rakaat pertama beliau membaca surat yang panjang, dan pada rakaat kedua beliau membaca surat yang pendek. Terkadang beliau memperdengarkan ayat dan dalam shalat Ashar beliau membaca al-Fatihah dan dua surat.” (HR. Al Bukhari 2/243 dalam Fathul Bari, dan Muslim 1/323)
Jika Rasul hanya membaca dalam hati, tentu para sahabat tidak mengetahui apa yang dibaca oleh beliau pada shalat Ashar.
Membaca al-Qur`an Dalam Hati Tidak Mendapatkan Pahala Membaca.
Seorang yang membaca al-Qur`an dalam hati hanya mendapat pahala tadabbur bukan pahala membaca. Syaikh Muhammad bn Shalih al-‘Utsaimin an Syaikh bin Baz berpendapat, membaca dalam hati tidak mendapatkan pahala yang disebut membaca adalah dengan menggerakkan dua bibir dan lisan. (disarikan dari www.binothaimeen.com dan www. Binbaz.org. dengan judul: Hal Yajuzu Lii an Aqra-a Al-Qur`an Biduuni al-Nuthqi Bilhuruf?)
Mayoritas ulama fikih mensyaratkan bacaan al-Qur`an minimal bisa didengar oleh diri pembaca sendiri. Sedangkan menurut ulama madzhab Maliki cukup menggerakkan mulut saja ketika membaca ayat-ayat al-Qur`an. Namun lebih baik jika si pembaca dapat mendengar juga sebagai bentuk kehati-hatian sebagai bentuk keluar dari perselisihan pendapat. (Lihat ad-Diin al-Khaalish II/143)
Kesimupulan
Membaca al-Fatihah termasuk rukun shalat ketika shalat sendirian. Maka, harus dibaca dengan menggerakkan bibir atau bersuara minimal diri sendiri yang mampu mendengar. Bukan dibaca dalam hati. Karena membaca dalam hati belum dianggap membaca. Jangan sampai shalat kita tidak sah karena masalah ini. Wallahu a’lam.
Sumber: majalah hujjah edisi 11 hal. 52
Penulis: yahya Abu Muhanna