Rincian Pemanfaatan Bunga Bank
Banyak masyarakat yang bertanya tentang pemanfaatan dari bunga bank, apakah haram secara mutlak, atau boleh dimanfaatkan untuk kepentingan umum?
Hukum Bunga Bank
Sebelum menjawab pertanyaan di atas perlu disampaikan bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Fatwanya Nomor 1 Tahun 2004, tentang Bunga (Interest atau Fa’idah) telah menyatakan keharaman Bunga Bank. Diantara bunyi fatwa tersebut adalah sebagai berikut:
“(1). Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , yakni riba nasi’ah. Dengan demikian, praktek pembungaan uang termasuk salah satu bentuk riba, dan riba haram hukumnya.
(2). Praktek pembungaan tersebut hukumnya adalah haram, baik dilakukan oleh Bank, Asuransi, Pasar Modal, Pegadaian, Koperasi, dan Lembaga Keuangan lainnya maupun dilakukan oleh individu.”
Rekening di Bank Konvensional
Jika kita mengetahui bahwa bunga bank adalah riba, maka tidak boleh membuka rekening di bank-bank yang masih menggunakan sistem riba di dalamnya, yaitu bank-bank konvensional.
Bagaimana kalau dia seorang PNS atau pegawai kantor yang tidak mendapatkan gaji kecuali melalui bank konvensional, apakah boleh membuka rekening di bank tersebut? Jawabannya: kalau memang tidak mendapatkan uang tersebut kecuali melalui bank konvensional, maka dalam keadaan seperti ini hukumnya dibolehkan karena darurat, dan darurat membolehkan yang pada asalnya haram. Ini sesuai dengan firman Allah:
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
” Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. al-Baqarah: 173 )
Dan sesuai dengan kaidah fiqh,
الضرورات تبيح المحظورات
“Dalam keadaan darurat membolehkan sesuatu yang (pada dasarnya) dilarang.” (as-Suyuti, al-Asybah wa an-Nadhair, hlm. 83)
Sebagaimana pada ayat di atas, kedaruratannya tidak boleh dicari-cari (غَيْرَ بَاغٍ) dan tidak boleh berlebihan dalam menggunakannya (وَلَا عَادٍ). Oleh karenanya setelah mendapatkan uang tersebut, harus segera dipindahkan ke rekening Bank Syariah.
Di dalam Fatwa Majelis Ulama Nomor 1 Tahun 2004, tentang hukum bermu’amalah dengan Lembaga Keuangan Konvensional:
1. Untuk wilayah yang sudah ada kantor atau jaringan Lembaga Keuangan Syari’ah dan mudah dijangkau, tidak dibolehkan melakukan transaksi yang didasarkan kepada perhitungan bunga.
2. Untuk wilayah yang belum ada kantor atau jaringan Lembaga Keuangan Syariah, diperbolehkan melakukan kegiatan transaksi di lembaga keuangan konvensional berdasarkan prinsip dharurat atau hajat.
Memanfaatkan Uang Riba
Orang yang menyimpan dan membuka rekening di Bank Konvensional tidak lepas dari beberapa keadaan:
Keadaan Pertama: Dia membuka rekening karena keinginannya sendiri, dan mencari keuntungan darinya, karena menganggap bunga yang dia dapat dari Bank Konvensional jauh lebih tinggi daripada kalau dia menyimpan di Bank Syariah. Sebagian orang beralasan karena service dan fasilitasnya lebih bagus dari Bank Syariah.
Keadaan seperti ini bukumnya haram, karena tidak ada darurat di dalamnya. Seandainya uang hasil bunga dari riba disalurkan kepada kepentingan sosialpun, dia tetap berdosa.
Keadaan Kedua: Dia membuka rekening karena darurat, sebagaimana yang dijelaskan di atas. Hukumnya boleh sebatas kebutuhan saja.
Keadaan Ketiga: Dia membuka rekening atau menyimpan uang di Bank Konvensional bertahun-tahun lamanya karena ketidaktahuannya tentang keharaman riba, kemudian dia mulai paham karena belajar dan mengaji, kemudian ingin bertaubat dari riba. Inilah yang dimaksud dalam fatwa para ulama bahwa uang hasil riba ( yang sudah terlanjur), dianjurkan untuk diambil dan disalurkan kepada kemashlahatan umat Islam, seperti pembangunan jalan, pembangunan wc umum, perbaikan jembatan, bantuan korban bencana alam dan sejenisnya.
Ada dua pertanyaan terkait poin ketiga di atas:
1. Kenapa bunga riba dianjurkan untuk diambil, bukankah itu uang haram. Apakah tidak lebih baik dibiarkan saja di Bank Konvensional?
Jawabannya: dianjurkan diambil karena kalau dibiarkan tersimpan di Bank Konvensional, maka akan menjadikan keuntungan bagi merekadan akan dipergunakan untuk membesarkan Bank tersebut dan melanggengkan sistem riba. Seakan-akan orang yang membiarkan bunganya di bank tersebut, telah membantu bank untuk membesarkan sistem riba, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 2.
Maka dengan mengambil bunga dari bank , kemudian disalurkan kepada kemaslahatan umat Islam, telah melemahkan bank yang menggunakan sistem riba.
2.Kenapa bunga tersebut disalurkan kepada kemashlatan umat Islam?
Jawabannya, karena bunga bank tersebut diambil dari orang-orang yang berutang kepada bank tersebut, sedang kita tidak tahu siapa saja mereka itu. Oleh karenanya, bunga tersebut kita kembalikan kepada kemashlatan umat Islam.
Adapun kriteria kemaslahatan umat Islam adalah setiap manfaat yang bisa dinikmati oleh umat Islam secara umum, tidak terbatas pada seseorang, seperti membangun jembatan, memperbaiki jalan umum yang rusak, mendirikan wc dan toilet umum, membantu korban bencana alam dan lain-lainnya.
Apakah boleh disalurkan untuk pembangunan masjid? Para ulama berbeda pendapat, sebagian melarangnya, dan sebagian lain membolehkannya, karena masjid termasuk kepentingan umat Islam secara umum. Imam an-Nawawi berkata di dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab (9/351) menukil perkataan Imam al-Ghazali: “Jika (uang haram) tersebut tidak diketahui pemiliknya, dan susah untuk mencarinya, maka hendaknya disalurkan kepada kemashlahatan umum umat Islam, seperti membangun jembatan, penghubung jalan, mendirikan masjid, dan perbaikan jalan menuju ke Mekkah dan hal-hal serupa yang merupakan kemashlatan umat Islam. Jika tidak bisa juga, maka dibagikan kepada para fakir miskin.”
Pertanyaannya, bukankah uang riba adalah uang haram, kenapa boleh diinfakkan kepada fakir miskin? Bukankah infak itu harus dari harta yang halal, sebagaimana firman Allah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
“ Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. “ (Qs. al-Baqarah: 267)
Jawabannya, menyalurkan uang hasil riba kepada mashlahat umum dan kepada fakir miskin tidak masuk dalam katagori “infak“ sebagaimana yang diperintahkan Allah pada ayat di atas, tetapi masuk dalam katagori membersihkan uang haram dari diri kita dan disalurkan kepada yang bermanfaat. Sekali lagi bukan berniat infak, tetapi berniat untuk membuang harta haram, tetap tetap bermanfaat bagi orang banyak.
Hal itu juga karena tidak ada cara lain untuk membersihkan uang haram tersebut dari diri kita, kecuali dengan cara di atas. Uang tersebut, tidak boleh dibakar atau disobek, atau dibuang ke laut, karena termasuk dalam tindakan mubadzir yang dilarang oleh Allah, sebagaimana dalam firman-Nya:
وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا (26) إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا
“..dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (Qs. al-Isra’: 26-27)
Tidak boleh juga dibiarkan di Bank Konvensional, karena akan menguatkan mereka dan membudayakan riba.
Berkata Imam an-Nawawi berkata di dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab (9/351 : ” Hal itu, karena kita tidak boleh memusnahkan uang haram tersebut dan membuangnya ke laut, maka tidak ada cara lain kecuali disalurkan kepada kemaslahatan umat Islam. “
Apakah fakir miskin yang menerima uang haram itu termasuk dalam katagori orang-orang yang memakan uang haram juga?
Jawabannya, bagi fakir miskin tidak termasuk haram. Para ulama meletakkan sebuah kaidah fiqh yang berbunyi,
ما كان محرما لكسبه، فإنما إثمه على الكاسب لا على من أخذه بطريق مباح من الكاسب
“Harta yang didapat dengan cara haram, maka dosanya bagi yang berbuat, bukan bagi yang mengambil darinya dengan cara yang benar.”
Ini seperti uang hasil riba, maka dosanya bagi yang bertransaksi dengan cara riba, bukan bagi yang mendapatkan dari orang tersebut dengan cara yang benar. Artinya orang yang bekerja di Bank Konvensional itu membeli makanan dari sebuah warung, maka uang yang didapat dari pemilik warung tersebut halal, walaupun itu berasal dari uang riba. Karena pada hakikatnya yang haram itu bukan pada uangnya, tetapi pada cara mendapatkannya.
Ini berbeda dengan barang yang dzatnya haram, seperti khamr, babi, dan narkoba, maka kita tidak boleh menerimanya, atau disalurkan kepada orang miskin. Wallahu A’lam.
Oleh: Dr. Ahmad Zain an-Najah (ar risalah: 196)