Syarh Aqidah ath-Thahawiyah ke-38 :
وَكُلُّ مَا جَاءَ فِيْ ذّلِكَ مِنْ الحَدِيْثِ الصَحِيْحِ عَنْ الرَسُوْلِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهُوَ كَمَا قَالَ وَمَعْنَاهُ عَلىَ مَا أَرَادَ، لاَ نَدْخُلُ فِيْ ذَلِكَ مُتَأَوِّلِيْنَ بِآرَائِنَا وَلاَ مُتَوَهِّمِيْنَ بِأَهْوَائِنَا
(38) Setiap hadits shahih yang datang dari Rasul SAW dalam persoalan itu, pengertian sebagaimana yang beliau sabdakan dan maknanya sebagaimana yang beliau kehendaki. Kita tidak mengintervensi dengan mentakwilkannya dengan pendapat-pendapat kita atau menduga-duga dengan hawa nafsu kita.
Pada matan sebelumnya telah dijelaskan bahwa menurut Ahlussunnah, orang-orang yang beriman akan melihat wajah Allah dengan mata kepala mereka sendiri tanpa hijab. Dalilnya adalah ayat-ayat Allah, yang maknanya dipahami secara zhahir oleh para sahabat dan generasi salaf sesudah mereka. Maknanya dipahami sebagaimana yang dikehendaki dan diketahui oleh Allah.
Matan ke-38 ini menambahkan hadits-hadits Nabi yang menjadi dalil dari akidah Ru’yatullah pun diperlukan sama dengan ayat-ayat Allah. Kita wajib memahaminya sebagaimana yang dipahami dan dikehendaki oleh (Allah dan) Rasul SAW. Kita tidak diperbolehkan mentakwilkannya dengan pendapat kita sendiri atau menduga-duga maksudnya dengan hawa nafsu kita.
Di antara hadits yang menjelaskan Ru’yatullah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dan Jarir bin Abdullah ra. Katanya,
كنا مع النبي – صلى الله عليه وسلم – فنظر إلى القمر ليلةً يعني البدر، فقال: إنكم سترون ربكم، كما ترون هذا القمر لا تضامون في رؤيته
“Kami sedang duduk-duduk bersama Rasulullah SAW ketika beliau melihat bulan di malam purnama. Beliau bersabda, “kalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan itu. Kalian tidak perlu berdesak-desakan untuk melihatnya.”
Hadits di atas dan hadits-hadits lainnya yang menerangkan ru’yatullah mesti diterima dan dipahami apa adanya, tidak boleh ditakwilkan atau bahkan dinafikan, dinegasikan.
Makna Takwil
Sebenarnya makna takwil ada di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Ada beberapa ayat al-Qur’an yang mengandung lafat takwil, sebagaimana banyak pula hadits Nabi yang mengandungnya.
Namun takwil yang dimaksud oleh al-Qur’an dan as-Sunnah berbeda dengan takwil yang dilakukan oleh mereka yang menurut istilah mereka sendiri mentakwilkan ru’yatullah (dan sifat-sifat Allah). Sejatinya yang mereka lakukan adalah tahrif, penyimpangan. Menyimpangkan makna nash syar’i dari yang seharusnya.
Takwil yang dimaksud oleh nash syar’i adalah makna yang sebenarnya dari suatu nash, kejadian yang sebenarnya dari suatu kabar, atau implementasi (pengejawantahan) suatu perintah. Allah berfirman,
“Dialah yang menurunkan al-kitab (al-Qur’an) kepadamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwil (makna sebenarnya). Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah.” (QS.Ali’Imran: 7)
“Tidaklah mereka menunggu-nunggu kecuali takwil (terjadinya kabar pemberitahuan) al-Qur’an itu. Pada hari datangnya takwil (kebenaran pemberitahuan al-Qur’an, berkatalah orang-orang yang melupakannya sebelum itu, “Sesungguhnya telah datang utusan-utusan Rabb kami membawa kebenaran; makna adalah bagi kami pemberi syafaat yang akan memberi syafaat bagi kami...”(QS. al-A’raf: 53)
Imam al-Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan bahwa ibunda Aisyah ra bertutur, “Rasulullah SAW memperbanyak bacaan yang artinya “Maha suci engkau ya Allah Rabb kami, segala puji hanya bagimu, maka ampunilah aku.”
Di dalam ruku dan sujut beliau. Beliau mentakwilkan (mengimpementasikan perintah) al-Qur’an (yakni ayat ketiga dari surat an-Nashr).”
Jadi, takwil yang benar adalah takwil yang sesuai dengan sunah. Takwil ayat atau hadits sebagaimana yang dilakukan dan dipahami oleh para salaf. Sedangkan takwil yang menyelisihi sunnah, seperti yang dilakukan oleh mereka yang menyimpangkan makna sifat-sifat Allah dari makna zhahirnya, itu adalah takwil yang sejatinya adalah tahrif.
Dosa Tahrif
Mereka yang melakukan takwil atau lebih tepatnya tahrif, sadar atau pun tidak, sejatinya melakukan dosa besar. Pertama, mereka berprasangka buruk kepada Allah. Mereka secara tidak langsung beranggapan, Allah kurang cerdas dalam mengenalkan sifat-sifatnya kepada hamba-hambanya. Allah tidak bisa memilih cara yang bisa dipahami oleh semua orang. Mahasuci Allah dari sangkaan yang nistan seperti itu.!
Kedua, mereka berprasangka buruk kepada Rasulullah SAW. Mereka secara tidak langsung mendakwah Rasulullah SAW, bahwa beliau tidak mennyampaikan risalah dengan sebenar-benarnya. Dan bagian yang belum beliau tuntaskan itu adalah perkara tauhid aswa wa shifat. Padahal perkara tauhid adalah perkara yang besar. Bahkan yang terbesar dari semua ajaran beliau.
Para Salaf tidak Mentahrif
Saat membaca ayat shifat, tentang istiwa’ misalnya, tidak ada seorang salaf yang mentahrifkannya dan memaknainya dengan istila’ atau menguasai, seperti yang dilakukan oleh Asya’irah, Maturidiyah, dan yang sepakat dengan mereka.
Para salaf memahami ayat shifat sebagaimana zhahirnya. Tentu saja zhahir yang pantas dan layak bagi Allah. Sebab jika mereka memahami zhahirnya sebagaimana zhahir sifat mereka, maka mereka sudah melakukan tasybih. Sesuatu yang juga tidak pernah mereka lakukan.
Jika salah seorang mereka ditanya apakah ilmu atau sifat Allah yang lain sama dengan ilmu atau sifat makhluknya? Mereka akan menjawab, “Subhanallah! Kami berlindung kepada Allah dari ucapan seperti itu.”
Abul Ma’aliy al-Juwaini, ulama yang telah kembali kepangkuan madzhab salaf di dalam menetapkan sifat Allah setelah sebelumnya tenggelam di lautan takwil berkata, “Kami mendapati para salaf mempraktikan dan sepakat tidak boleh mentakwilkan. Padahal mereka adalah manusia yang paling mengerti tentang agama dan paling kokoh pemahamannya. Juga paling serius di dalam menjaganya. Seandainya takwil adalah suatu kebenaran, pastilah mereka telah mendahului kita. Manakala kita mendapati tidak ada seorang pun di antara mereka yang melakukannya, maka itu bisa jadi bukti bahwa takwil adalah sesuatu yang tidak benar.”
Jika di antara nash-nash syar’i ada yang mesti dipahami tidak sebagaimana zhahirnya alias perlu dijelaskan, pastilah dijelaskan oleh Allah atau Rasulullah SAW. Misalnya hadits Qudsi yang menyebutkan Allah berfirman, “Wahai anak Adam, aku sakit, kenapa engkau tidak menjengukku?” manusia bertanya, “Bagaimana kami akan menjengukmu, sedangkan engkau adalah Rabb alam semesta?!” Allah menjawab, “Tidakkah engkau tahu, hambaku si fulan sakit dan engkau tidak menjenguknya, tahukah engkau, andai kau mau menjenguknya tentu akan engkau akan mendapatiku di sisinya.” (HR. Muslim)
Sama juga halnya ketika Nabi SAW bertanya kepada para sahabat tentang definisi muflis, orang yang bangkrut? Karena nabi SAW tidak mendapati makna zhahirnya, Beliaupun memberi penjelasan tentang siapakah orang yang bangkrut itu. Yaitu orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa kebaikan sebesar gunung-gunung tihamah, namun di dunia dia banyak menyakiti dan dan menzhalimi orang lain.
Di akhirat, kebaikan-kebaikanya di ambil sebagai ganti kejahatannya. Dan jika dia sudah tidak punya kebaikan lagi, kejahatan orang-orang yang dulu di sakiti dan didzaliminya pun dipukulkan kepadanya. Itulah orang yang bangkrut sebenarnya.
Begitulah, jika ada nash syar’i yang mesti dipahami tidak sebagaimana zhalimnya, selalu ada penjelasannya. Jika tidak ada penjelasan, maka nash-nash itu mesti dipahami sebagaimna zhahirnya. Wallahu a’lam bish shawab.
Sumber: arrisalah