Memahami Kondisi Jiwa Manusia

Memahami Kondisi Jiwa Manusia

Oleh: Ust. Yazid Abdul Alim, Lc

Islam berbeda dengan filsafat dalam memandang ruh dan jiwa manusia. Para filosof membahas hakekat ruh dan jiwa hanya berladaskan akal semata sehingga menimbulkan berbagai macam pandangan dan pendapat yang saling bertentangan satu sama lain. Sedangkan Islam memandang ruh termasuk perkara ghaib dimana tidak ada yang mengetahui hakekatnya kecuali Allah Ta’ala, manusia hanya mengetahui sebatas yang dijelaskan di dalam Alquran dan Assunnah (QS. Al Israa : 85).

Ibnu Katsir –rahimahullah- menjelaskan perbedaan yang tepat antara ruh dan jiwa (nafs) di dalam tafsirnya, ruh sebelum dimasukan ke dalam jasad maka disebut dengan ruh, ketika ruh ditiupkan ke dalam jasad barulah dinamakan dengan jiwa (nafs). Atas dasar ini, Islam mengajarkan kepada kita untuk mempelajari kondisi-kondisi jiwa manusia, cara mendidik dan meluruskannya serta bagaimana mengobati jiwa yang lemah.

Alquran menjelaskan ada tiga kondisi yang dialami jiwa manusia, yaitu :

Pertama : An nafs al ammaaroh bissuu’ (Jiwa yang senantiasa mendorong kepada keburukan)

An nafs al ammaaroh bissuu’ adalah jiwa yang selalu memerintahkan dan mendorong pemiliknya agar berani melakukan keburukan dan melanggar yang diharamkan sekaligus menjauhkannya dari kebaikan. Allah menjelaskan akan hal ini dalam (QS. Yusuf : 53). Ini adalah kondisi jiwa yang paling rendah, hanya berkat rahmat Allahlah seorang jiwa selamat dari kondisi ini. Dan Allah Ta’ala maha pengampun dan penyayang sehingga seorang muslim tidak berputus asa lalu bersegera bertaubat dari terpedaya oleh hawa nafsunya yang telah menyeretnya kepada kubangan maksiat. Hal ini tidak lepas dari shifat yang Allah lekatkan pada setiap jiwa berupa potensi menerima baik dan benar, tergantung dorongan mana yang lebih mendominasinya. Allah Ta’ala berfirman dalam (QS. Yusuf : 18) : “Ya’qub berkata: “Sebenarnya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu”.

Kondisi ini lebih berbahaya jika dibarengi dengan godaan dan dorongan dari syetan yang terkutuk, karena dia menggodanya secara bertahap, mendorongnya, dan memperindah perbuatan dosa sehingga jiwa yang sedang didominasi oleh hawa nafsu sangat mudah menuruti ajakan syetan. Allah berfirman dalam (QS. Muhammad : 25) : “Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, syaitan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka”.

Dengan memahami hal ini, sangat tepat apa yang ditegaskan oleh Ibnul Qoyyim –rahimahullah- dalam kitabnya Zaadul Ma’aad ketika menjelaskan tahapan-tahapan jihad, bahwasanya jihad nafs dan jihad melawan syetan hukumnya fardhu ‘ain atas setiap muslim, seseorang tidaklah dapat memenangkan pertarungan melawan orang-orang kafir, munafiq dan orang-orang zhalim kecuali jika ia dapat menundukan jiwanya kepada ketaatan dan melawan tipudaya syetan. Hal itu dikarenakan jihad tidak dapat sempurna kecuali dengan berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya dengan ikhlash dan mutaba’ah (mengikuti Sunnah), sementara keduanya tidaklah sempurna kecuali berlandaskan iman yang kuat dengan melazimi ketaatan dan menjauhi maksiat. Semoga Allah Ta’ala merahmati jiwa kita dan melindungi kita dari godaan dan tipu daya syetan. Amiin

Kedua: An nafs Allawwaamah (Jiwa yang selalu mencela).

Apa yang anda rasakan ketika khilaf berbuat maksiat?, Atau melewatkan begitu saja kesempatan berbuat amal kebaikan?, Jawaban pertanyaan ini sejatinya mengungkapkan kondisi jiwa bagi setiap orang yang menjawabnya. Beruntunglah seseorang yang ketika ada pada salah satu dari dua kondisi itu jiwanya merasa menyesal terlebih menyuruh dirinya segera bertaubat, mengingat Allah dan beristighfar kepada-Nya. Allah berfirman :

“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri[229], mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (QS. Ali Imran : 135)

Itulah An nafs Allawwaamah tingkatan kedua diatas An nafs al ammaaroh bissuu’ (jiwa yang selalu memerintah berbuat buruk), Yaitu jiwa seorang mukmin yang selalu mencela dirinya jika berbuat maksiat atau mencelanya lantaran melewatkan kesempatan berbuat kebajikan.

Mujahid berkata : “Dialah jiwa yang menyesali dan mencela dirinya karena berbuat maksiat atau mencelanya karena tidak bebuat kebaikan yang lebih dari yang sudah dikerjakan.”

Allah Ta’ala pun bersumpah dengan jiwa ini dalam Surat Al-Qiyamah: 2 setelah bersumpah dengan hari kiamat yang menunjukan tingginya kedudukan nafs Al lawwaamah yang terus berusaha keras menjauhkan jiwa yang didominasi oleh hawa nafsu dari berbuat maksiat.

Kondisi ini harus terus dipelihara agar tumbuh sifat murobatullah (merasa selalu diawasi oleh Allah). Sebaliknya, anda harus waspada bilamana jiwa anda tidak menyesali perbuatan maksiat, tidak mengingatkan anda untuk beristighfar karena hakekatnya anda sedang diuji dan dibiarkan berada dalam kondisi buruk tanpa anda sadari.

Maka, kenalilah kondisi jiwa anda agar menyikapinya dengan tepat dan bijak.

Wallaahu ‘Alam bish showab

–(Himayah Foundation)–

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *