Dengan langkah cepat Maslamah bin Abdul Malik menuju kediaman Umar bin Abdul Aziz, Amirul Mukminin. Di usia kekhilafahannya yang baru berjalan dua tahun lebih beberapa bulan, begitu sakit keras, masih segar dalam ingatan Maslamah betapa dua tahun sebelumnya ia berutang nyawa kepada Umar bin Abdul Aziz.
Waktu Maslamah berada di tengah-tengah pasukan yang sudah dalam kondisi sangat kritis. Perbekalan semakin menipis dan jumlah pasukan yang semakin hari semakin berkurang. Maslamah adalah panglima perang yang diberi mandat oleh Sulaiman bin Abdul Malik, Amirul mukminin, untuk menghadapi pasukan konstantinopel. Semula penyerangan yang dilakukan serempak dari darat dan laut itu berjalan sesuai dengan rencana. Pasukan Konstantinopel terpojok. Pertempuran nyaris saja dimenangkan oleh pasukan Maslamah. Sayang, mereka terpedaya oleh muslihat pasukan Konsantinopel yang akhirnya mengepung mereka. Peperangan memang tipu daya. Siapa tipu daya yang paling canggih, dialah yang akan keluar sebagai pemenang. Tentunya faktor pertolongan Allah di atas semua itu.
Sebenarnya bisa saja Maslamah mengomando pasukannya untuk mundur, kembali ke ibu kota. Namun, kabar yang dikirimnya kepada Amirul Mukminin mendapat respon positif. Dan keputusan Amirul Mukminin membuatnya tak bisa berkutik. Maslamah yang sangat marah bersumpah tidak akan menarik pasukannya dari konstantinopel selagi dia hidup.
Maka, dengan mata kepalanya Maslamah menyaksikan bagaimana anak buahnya menderita dari hari ke hari. Mereka kelaparan, dan benar-benar kelaparan. Mereka makan apa saja yang bisa mereka makan termasuk binatang melata pun. Maslamah bersedih hati karena hanya bisa menunggu ajal menghampirinya. Namun apa daya dia hanya menjalankan perintah Amirul Mukminin.
Maka, begitulah kurir khalifah yang baru, Khalifah Umar bin Abdul Aziz datang membawa surat berisi perintah untuk mundur, seluruh pasukan bersuka cita. Terutama Maslamah, sang panglima. Sebab bagaimana pun ia turut merasa bersalah sehubungan dengan keadaan mereka itu.
Maslamah mempercepat langkahnya. Ia khawatir akan terjadi apa-apa dengan khalifah yang bijaksana itu. Memenuhi panggilannya dengan segera adalah keharusan. Sesampainya di kediaman Umar bin Abdul Aziz yang sederhana, maslamah dipersilahkan masuk. Didapatinya Umar tergolek lemah. Dalam kesempatan itu Umar bin Abdul Aziz memintanya untuk menemaninya menghadapi saat kematiannya. Umar berpesan supaya Maslamah sudi memandikannya, mengkafani, mengantar jasadnya sampai kubur, dan sekaligus membaringkannya liang lahad. Maslamah menyanggupinya. Ditegar-tegarkan hatinya.
Amirul Mukminin Memandang maslamah sejenak, lantas berkata “lihatlah, wahai Maslamah, ke rumah seperti apa engkau akan menempatkan diriku dan dengan keadaan seperti apa dunia menyerahkan diriku kerumah tempat kembali ku.”
Setelah sekian lama tidak berkata kata Maslamah berkata, “Berwasiatlah, wahai Amirul mukminin!”
“Aku tidah punya harta yang dapat ak wasiatkan,” jawab Umar.
Maslamah berkata, “Ini ada uang 100.000 dinar. Wasiatkanlah kepada siapa yang engkau kehendaki!”
Umar menjawab, “Apakah tidak lebih baik harta itu kamu kembalikan ke tempat kamu mengambilnya?”
“Jazakumollah khairon. Wahai Amirul Mukminin,” sahut Maslamah, “Demi Allah, engkau telah melunakkan hati kami yang keras dan menjadikannya selalu ingat agar masuk dalam golongan orang-orang yang shalih.”
Yang dimaksud Maslamah dengan melunakan hatinya, mungkin adalah kejadian suatu pagi seusai shalat shubuh yang tak pernah dilupakannya. Pagi itu setelah shalat berjamaah ia, mengunjungi Umar bin Abdul Aziz. Maslamah dipersilahkan masuk. Di rumah itu tidak ada siapa-siapa selain mereka berdua. Tak lama kemudian seorang budak wanita datang dengan membawa satu nampan kurma, makanan kesukaan Umar. Setelah budak itu kembali kebelakang, Umar mengambil segenggam kurma, lantas bertanya, “Wahai Maslamah, menurutmu, jika seorang makan segenggam kurma ini, kemudian minum air, cukupkah itu baginya?”
Campuran antara kurma dan air sangatlah baik bagi tubuh.
“Saya tidah tahu,” jawab Maslamah.
Umar mengambil kurma lebih banyak lagi dan bertanya,” Kalau ini, bagaimana, Maslamah?”
“Kalau sebanyak itu tentu saja mencukupinya, wahai Amirul Mukminin, bahkan mereka tidak perlu mencicipi makanan yang lain,” jawab Maslamah.
“Wahai Maslamah, jika demikian, mestinya kamu tidak perlu masuk neraka?”
Kata-kata Amirul Mukminin ini begitu membekas di hati Maslamah.
Dan hari-hari yang dilalui Maslamah sejak hari itu adalah hari-hari yang tak jauh beda dengan hari-hari Umar bin Abdul Aziz. Maslamah bertekat untuk memastikan dirinya termasuk golongan orang-orang shalih. Dan para ahli sejarah pun menorehkan tinta emas sehubungan dengan kepribadian Maslamah bin Abdul Malik. Mereka menulis, sejatinya Maslamah adalah orang yang paling layak duduk di kursi keamiran dibandingkan semua saudaranya.
Maslamah dijemput ajalnya setelah dua puluh tahun semenjak kematian Umar bin Abdul Aziz. Semoga kita dapat mengambil petuah dan nasihat seperti dia. (azm/ar-risalah)
(Disarikan dari Kitab Siyar A’lam an Nubala’, Imam adz Dzahabi dan berbagai sumber)