لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَتَبَاهَى النَّاسُ فِى الْمَسَاجِدِ
“Hari kiamat tidak akan terjadi sampai manusia bermegah-megah dalam membangun masjid.” (HR. Abu Daud, an-Nasa’i dan Ibnu Majah).
Biasanya, pasca Ramadhan dan Iedul Fithri, masjid-masjid banyak yang panen donasi. Ramadhan dan Iedul Fithri merupakan stimulan kuat yang mendorong orang untuk bersedekah. Dan masjid menjadi pilihan yang mudah dan dekat sebagai tempat penyaluran dana. Apalagi jika di sekeliling masjid tersebut banyak perantau yang mudik. Biasanya mereka tidak akan eman untuk menggelontorkan dana.
Lebih dari itu, tidak sedikit yang berpresepsi, sedekah untuk sesuatu yang awet seperti bangunan masjid lebih utama daripada untuk operasional yang sekali habis, semisal bantuan sembako fakir miskin. Nilainya lebih menjanjikan karena bersifat investasi atau amal jariyah (amal sedekah pahalanya selalu mengalir). Sedang sedekah untuk operasional, sifatnya sangat temporer karena sekali habis. Meskipun bisa jadi persepsi itu tak sepenuhnya benar, tapi untuk tak dapat ditolak, masjid pun kebanjiran dana.
Pengelolaan Dana Yang Tidak Inovatif
Semangat umat untuk mencurahkan dana seperti ini patut disyukuri dan perlu dilestarikan. Sayangnya, kadangkala semangat ini tidak diimbangi dengan pengelolaan yang baik oleh para takmir masjid. Ada sebuah fenomena yang patut disayangkan ketika takmir masjid seakan tak memiliki program lain terkait dana milik masjid selain untuk pembangunan.
Pada taraf wajar dimana masjid memang sedang butuh ‘perawatan tubuh’ karena konstruksi yang sudah rapuh, kamar mandi yang tak layak, atau kapasitas yang tidak lagi memadai dan kebutuhan mendasar lain, alokasi itu memang merupakan keharusan. Kenyamanan tempat ibadah dapat membantu keningkatkan kualitas ibadah para jamaah, juga kuantitasnya.
Namun, ada yang mengalokasikan dana tersebut hanya untuk mempercantik ‘penampakan’ masjid. Mengeramik dinding masjid hingga penuh, menambah lukisan-lukisan timbul nan mahal dari logam maupun ornamen dari seorang seniman terkenal, tentunya dengan biaya yang mahal pula. Atau menambah lampu-lampu kristal berharga jutaan, mimbar-mimbar megah, hingga menara-menara yang jumlah dari satu. Padahal hanya satu menara yang benar-benar memiliki fungsi nyata, sebagai tempat dipasangnya pengeras suara. Akibatnya, setiap tahun masjid pasti merenovasi untuk dipercantik.
Fenomena semacam ini patut dikritisi. Pengalokasian dana untuk hal-hal seperti itu tidak berorientasi pada fungsi tapi hanya sekedar penambahan aksesoris. Persoalannya bukan masalah hukum boleh atau tidak boleh, tapi lebih pada optimalisasi penggunaan dana umat agar diberdayakan untuk sesuatu yang benar-benar bermanfaat.
Jika memang masjid sudah memenuhi standar kelayakan dan kenyamanan sebagai tempat ibadah, tentunya yang dibutuhkan tinggal perawatan. Limpahan dana lain secara penuh dapat disokongan untuk proyek-proyek yang bisa meningkatkan kualitas iman dan Islam jamaah masjid. Misalnya pendanaan kegiatan dakwah, perpustakaan masjid dengan pengelolaan maksimal, madarasah diniyah dan program kreatif lainnya. Bahkan kalau perlu, dana tersebut bisa juga digunakan untuk membantu masyarakat disekitar masjid. Jangan sampai masjidnya megah menjulang ke angkasa, tapi kaum muslimin disekitarnya miskin dan hidup nelangsa. Bukankah saat umat berinfak di masjid, tidak semuanya meniatkan untuk pembangunan dan tidak boleh untuk yang lain?
Kualitas iman dan Islam masyarakat di sekitar masjid jauh lebih penting untuk diberi perhatian ketimbang bangunan masjid. Jika dilupakan, yang akan terjadi adalah fenomena akhir zaman yang tercela; masjid megah tapi kosong karena muslim disekitarnya pada ogah shalat jamaah. Tiang dan menaranya menjulang angkuh, tapi satu aktivitas utama sebuah masjid adalah shalat jamaah. Jika shalat wajib sepi, masjid hanya akan difungsikan seminggu sekali, persis seperti orang gereja Nashrani.
Nabi shalallahu ‘alaihiwasallam bersabda,
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَتَبَاهَى النَّاسُ فِى الْمَسَاجِدِ
“Hari kiamat tidak akan terjadi sampai manusia bermegah-megah dalam membangun masjid.” (HR. Abu Daud, an-Nasa’i dan Ibnu Majah).
Dari Ibnu Abbas berkata, Rasulullah bersabda,
مَا أُمِرْتُ بِتَشْيِيدِ الْمَسَاجِدِ . قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ لَتُزَخْرِفُنَّهَا كَمَا زَخْرَفَتِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى
“Aku tidak diperintahkan untuk meninggikan bangunan masjid.” Ibnu Abbas berkata, “Sungguh kalian akan menghiasi masjid-masjid sebagaimana orang-orang Yahudi dan Nashrani menghiasi tempat ibadah mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Daud).
Imam al-Khattabi berkata, “Orang-orang Yahudi dan Nashrani mulai memperindah gereja dan biaranya tatkala mereka telah mengubah dan mengganti kitab mereka. Maka mereka menyia-nyiakan agama dan berhenti hanya sebatas meperindah dan menghiasi tempat ibadah.” (Dinukil oleh al Aini dalam Umdatul Qari Syarh Shahihil Bukhari VII/41).
Takmir Adalah Penyemarak
Lebih parah lagi, ada sebagian orang yang diamanahi menjadi takmir atau pemakmur masjid dan pengelola masjid, tapi sering absen saat shalat jamaah. Datang ke masjid hanya untuk menjalankan tugas ketakmirannya saja; membersihkan masjid jika bagian kebersihan, merekap dana jika bendahara atau sekedar ikut rapat ketakmiran jika sebagai sebagai penanggungwajab misalnya. Memang benar, itu juga tugas mulia. Tapi tentunya tidak lebih mulia daripada shalat berjamaah lima waktu waktu di masjidnya.
Satu lagi yang perlu dicatat. Apabila ada pemimpin negeri Arab atau negeri manapun yang bermegah-megahan dalam membangun masjid, hal itu tetap tidak bisa dijadikan pembenaran. Karena mereka bukanlah manusia yang dikecualikan dari peringatan Rasulullah di atas. Mereka juga umat akhir zaman, yang kedudukannya tak jauh beda dengan kita.
Oleh karenanya, marilah kita renungkan kembali semua ini. Cukuplah masjid kita memiliki fasilitas standar tanpa perlu ditaburi kemewahan. Hal itu justru bisa membuat ibadah lebih khusyu’ karena tidak ada hiasan yang mencuri perhatian. Dana umat hendaknya dikelola dengan baik untuk mendorong peningkatan kualitas iman, bukan sekedar memperindah bangunan. Dengan begitu, semoga kita tidak termasuk yang dicela dala hadits di atas hingga menjadi pertanda buruk akhir zaman. Wallahu a’lam bish shawab.
Sumber: majalah arrisalah edisi 123 hal. 45-46