Logika Biasa, Keberanian Luar Biasa
Perdebatan tentang NKRI-Pancasila versus Khilafah-Syariah di panggung politik nasional menarik untuk dianalisa dari sudut pandang sunnah kauniyah (norma alam) dalam dakwah. Perdebatan ini bisa dianggap mewakili dua kubu yang bertolak belakang; kubu Islam melawan kubu jahiliyah. Pengusung term Khilafah-Syariah mewakili kubu Islam, sementara pengusung NKRI-Pancasila mewakili kubu jahiliyah. Puncak perseteruan, keluarnya keputusan pemerintah (kubu NKRI-Pancasila) untuk membubarkan ormas pengusung Khilafah-Syariah pada 8 Mei 2017. Wajar, kubu NKRI-Pancasila berkuasa sehingga bisa membungkam lawan dengan kekuatan, sementara kubu Khilafah-Syariah kaum dhuafa secara politik sehingga hanya bisa adu argumen tak mampu adu kekuatan.
NKRI-Pancasila mewakili kubu jahiliyah karena sistem politik yang dianut bersifat campuran berbagai keyakinan yang menjadi ciri khas jahiliyah. Ia meletakkan semuanya secara sejajar dan terhimpun dalam satu wadah persaudaraan. Sementara Khilafah-Syariat mewakili kubu Islam karena sistem politik khilafah merupakan warisan sejarah Islam yang tak bisa dibantah oleh siapapun, kawan maupun lawan.
Perbedaan paling substansial, kedaulatan khilafah milik Allah, dan sang khalifah hanya menjadi pelaksana lapangan. Sementara NKRI-Pancasila, kedaulatannya dipegang rakyat yang multi aqidah tersebut, sehingga rakyat lebih berkuasa dibanding Allah Sang Pencipta. Sebuah puncak kesombongan jahiliyah yang dengan manis dibungkus istilah Demokrasi dan falsafah Pancasila yang konon dipuji dunia. Entahlah.
Keunggulan “Dakwah” Jahiliyah
Jika disederhanakan potretnya, ada sebuah tatanan jahiliyah yang berdaulat dan berusaha mempertahankan posisinya dari serangan dakwah tauhid yang diusung oleh kaum lemah dan minoritas. NKRI didukung oleh mayoritas penduduk, baik muslim maupun non muslim. Sementara Khilafah hanya didukung oleh sebagian kecil umat Islam. Mirip potret kondisi zaman Nabi memulai dakwahnya di Mekah.
Dilihat dari sudut pandang dakwah, narasi NKRI-Pancasila lebih unggul dibanding narasi Khliafah-Syariat, setidaknya dalam relita kekinian kita. Terdapat beberapa sisi keunggulan narasi “dakwah” NKRI-Pancasila dibanding Khilafah-Syariah.
Pertama, pesan yang dibawa NKRI-Pancasila konsisten dengan prinsip jahiliyah yang bersifat campur-baur antara kebenaran dengan kebatilan. NKRI-Pancasila menawarkan solusi untuk semua keyakinan, bahwa ia merupakan negara gotong-royong nan sejajar, tak ada satu agamapun yang boleh mendominasi. Kebersamaan seperti ini akan dianggap lebih menjamin persatuan. Seluruh elemen bangsa bisa hidup rukun saling menghargai, sehingga menjadi bangsa kuat dan makmur.
Kedua, pesan yang diusung NKRI-Pancasila lebih sederhana. Bahwa yang diperlukan oleh anak bangsa hanyalah toleransi agar tidak bermusuhan. Keberagaman keyakinan adalah realita yang tak bisa ditolak, karenanya cara satu-satunya agar kuat adalah bersatu, sedangkan persatuan tak terjadi tanpa toleransi.
Ketiga, NKRI-Pancasila menekankan tak bermusuhan dengan Islam. Bahwa umat Islam dijamin kebebasan beragamanya di bawah payung NKRI. Sila pertama Pancasila menjadi bukti. Para pendiri negeri yang mayoritas tokoh Islam menjadi tambahan bukti.
Rangkaian ketiga narasi tersebut mudah ditangkap masyarakat awam. Apalagi mereka hidup dalam realita kemajemukan suku dan keyakinan sehingga tawaran persatuan ala NKRI-Pancasila meski jahiliyah tapi realistis. Bagi masyarakat, NKRI-Pancasila sudah terbukti lebih dari 70 tahun sejak kemerdekaan, falsafah jahiliyah itu berhasil menyatukan negeri. Karenanya masyarakat sudah terpenjara oleh pengalaman hidup di bawah prinsip NKRI-Pancasila dan menolak keras jika ada yang ingin mengganti ideologi politik tersebut.
Tapi dari semua keunggulan tersebut, kekuasaan yang ada di tangan NKRI-Pancasila adalah sisi keunggulan paling dominan. Argumen buruk bisa dipoles menjadi indah oleh kekuasaan. Sebaliknya, argumen bagus akan tumbang jika kalah secara kekuasaan politik.
Hilangnya Keping Keberanian
Sebaliknya, narasi Khilafah cenderung lebih rumit sehingga sulit ditangkap oleh masyarakat. Faktor yang menjadikannya rumit sebagai berikut:
Pertama, masyarakat tidak punya gambaran atau pengalaman nyata “hidup di bawah naungan khilafah”. Kelemahan ini melahirkan sulitnya mereka yakin bahwa jika Khilafah tegak keadaan umat akan lebih baik dan diridhai Allah.
Kedua, masyarakat umumnya termakan propaganda bahwa Khilafah itu kepanjangan tangan radikalisme dan terorisme. Memotong tangan pencuri dan melaksanakan hukum rajam terhadap pezina merupakan salah satu perwajahan radikalisme, demikian menurut masyarakat awam.
Memang Khilafah itu tema berat, tapi sejatinya mudah dikomunikasikan. Sebab substansinya sederhana; buang hukum manusia, laksanakan hukum Allah.
Tapi yang menjadi penyebab kerumitan justru bersumber dari mental para pengusung Khilafah sendiri. Mereka sudah cukup fasih menceritakan gambaran indah dan detail tentang Khilafah, tapi mengabaikan satu keping puzzle yang jika dirangkai sempurna akan menghasilkan pesan dakwah yang utuh dan dahsyat. Mereka seharusnya menghadirkan logika sederhana, tapi gagal mengdatangkan kesederhanaan itu karena hilangnya satu modal: BERANI .
Terbukti saat ditanya oleh kubu NKRI-Pancasila, apakah konsep khilafah yang Anda usung akan menggusur Pancasila sebagai dasar negara dan ingin merubah negara menjadi negara syariah? Agar menjadi pesan dakwah yang sederhana, seharusnya jawabannya adalah: ya.
Tapi karena sang pengusung menjaga jarak dengan beban tema yang diusung, saat beban tema ini akan menimpa dirinya – nyawa dan dunianya, sang dai mencampakkan beban itu dari pundaknya dan berupaya cuci tangan dari resikonya. Ia kemudian menjawab dengan mengandalkan akrobat narasi dan seni silat lidah yang rumit. Pada akhirnya, ketemu jawaban: tidak. Kubu NKRI-Pancasila senang karena menang dua kali; berhasil membubarkan ormasnya, dan berhasil mengalahkan keberanian para pengusungnya.
Walhasil masyarakat menjadi bingung, apa maunya para pengusung Khilafah ini. Mereka menawarkan sistem politik yang bertolak belakang dengan NKRI-Pancasila tapi tidak mau dianggap akan menggusur yang ada. Sebuah paradoks yang nyata, karenanya jadi rumit dan bikin bingung.
Sebuah prinsip akan mudah dikomunikasikan jika dibangun dengan logika sederhana. Tolok ukurnya adalah masyarakat luas, bukan kalangan intelektual. Apalagi Islam diturunkan untuk semua lapisan akal, tidak eksklusif untuk elit tertentu. Logika sederhana akan lebih langgeng hidup di muka bumi dibanding logika rumit sehingga umat kesulitan menangkap substansinya.
Harga tema khilafah itu berat, karena ia bersifat kontradiktif terhadap sebuah tatanan politik jahiliyah. Tak ada penguasa yang dengan sukarela menyerahkan kekuasaannya. Ia pasti mengatakan: silakan Anda rebut kekuasaan dariku tapi langkahi dulu mayatku dan semua rakyat yang membelaku. Berani mendakwahkan tema Khilafah mesti menyadari akan bobot tema dan oleh karenanya siap membayar harganya. Jika Khilafah bisa tegak pada zaman Nabi saw dengan syahidnya ribuan nyawa mujahid, maka harga mendakwahkannya juga memerlukan nyawa banyak dai, jika diperlukan. Narasi dakwah yang ditulis dengan darah sang dai akan kekal abadi di muka bumi.
Kisah para pengusung Khilafah ini menjadi bahan introspeksi untuk seluruh umat Islam tentang pentingnya keping keberanian dalam setangkai narasi dakwah. Kalimat dakwah mesti menyatu dengan nafas dan darah sang dai. Tema yang didakwahkan harus tetap hidup dan terhormat di tengah kehidupan manusia, meski para pengusungnya mati karenanya. Tanpa itu, dakwah hanyalah seni merangkai kata yang kering dan ruwet tak jelas apa makna yang dibawa dan untuk kepentingan siapa. Wallahulmusta’an.
(elhakimi-islamulia)