Lima Amalan Para Sahabat
Para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in adalah generasi terbaik umat ini. Generasi yang terpercaya dalam ilmu, amal dan perjuangan. Merekalah pembawa panji-panji Islam ke penjuru dunia. Kehidupan mereka seperti rahib di malam hari dan singa di siang hari. Mereka berjuang tanpa kenal lelah. Prinsip mereka yaitu; mentauhidkan Allah, menyerahkan totalitas kehidupannya kepada-Nya dan mengikuti jejak Rasulullah dalam keadaan lapang mapun susah.
Mereka meyakini bahwa Islam harus berdiri. Asasnya tauhid, tiangnya shalat dan puncaknya adalah jihad fie sabilillah. Mereka cinta segala pintu kebaikan; berpuasa sunnah, qiyamullail, bersedekah, membaca al-Qur’an dengan tadabbur, banyak berdzikir dalam segala kondisi, menjaga hati dari segala hal yang dapat merusaknya, menjaga lisan dari ucapan-ucapan yang tidak bermanfaat.
Ringkasan amalan para sahabat yang menjadi tolak ukur bagi kita adalah sebagaimana yang dibawakan oleh Imam al Auza’y:
خمس كان عليها أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم : لزوم الجماعة واتباع السنة وعمارة المسجد وتلاوة القرآن والجهاد في سبيل الله .
Ada lima perkara yang dipegang erat oleh para sahabat Nabi dan para tabiin: mengikuti jamaah, mengikuti sunnah, memakmurkan masjid, membaca al-Qur’an dan jihad fie sabilillah. (Syarhus Sunnah, Oleh al-Baghawi, 1: 209, Al Baihaqi Syu’abul Iman: 2685)
Berikut penjelasan kelima hal tersebut:
Pertama: Melazimi Jamaah
Secara bahasa, jamaah berarti perkumpulan. Secara istilah, jamaah mencakup dua makna: pertama, makna yang sinonim dengan makna sunnah. Kedua, berkumpulnya kaum muslimin di bawah kepemimpinan seorang imam. Adapun makna pertama jamaah yang bersinonim dengan sunnah ditunjukkan oleh dalil-dalil berikut ini:
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa’: 115)
Ayat di atas memberitahukan kita bahwa hukum mengikuti jalan para sahabat sebagaimana mengikuti Rasulullah. Orang yang menyelisihinya akan mendapat dua musibah: tersesat dan siksa jahannam. Karena itu siapa saja yang tidak ingin tersesat dan masuk jahannam, maka jangan sampai menyelisihi Rasulullah dan jalan orang-orang yang beriman.
Sedangkan jamaah yang berarti bersatu di bawah kepemimpinan seorang imam ditunjukkan oleh sabda Rasulullah yang artinya:
“Barangsiapa yang melihat sesuatu yang tidak ia sukai pada pemimpinannya, hendaklah ia bersabar. Sesungguhnya tidak seorang pun meninggalkan Jamaah sejengkal lalu ia mati kecuali ia mati seperti matinya orang-orang Jahiliyah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Hudzaifah bin Yaman pernah bertanya mengenai solusi menghadapi para penyeru neraka Jahannam yang menurut kabar Nabi, mereka adalah orang-orang berbahasa dan berbangsa Arab juga. Rasulullah menjawab, “Hendaklah kalian melazimi Jamaatul Muslimin dan imam Mereka.” Lantas Hudzaifah bertanya: Bagaimana jika kaum muslimin tidak memiliki jamaah dan imam?” Rasulullah menjawab, Tinggalkanlah semua firqah meskipun kamu harus menggigit akar pohon, sampai ajal menjemput hendaklah kamu dalam keadaan itu”! (HR. Al Bukhari)
Berdasarkan hadits ini, yang disebut sebagai pengikut Ahlus Sunnah wal Jamaah adlah orang yang berpegang teguh kepada manhaj Rasulullah dan As Shalafush Shalih. Serta menghindari perpecahan umat bahkan selalu mengupayakan persatuan umat.
Kedua, Mengikuti Sunnah
Sunnah yaitu petunjuk yang telah ditempuh oleh Rasulullah dan para Sahabatnya baik berkenaan dengan ilmu, aqidah, perkataan, perbuatan maupun ketetapan.
Nabi bersabda, “Sesungguhnya barang siapa yang dari kalian yang masih hidup setelahku akan melihat banyak perselisihan. Maka hendaknya kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para Khulafa’-ur Rasyidin di mana mereka itu telah mendapat hidayah.” (Shahih Sunan Abu Dawud oleh Syaikh al-Albani)
Jika para sahabat beribadah, ibadah mereka sama dengan ibadah Rasulullah. Jika berakhlak, akhlak mereka mencontoh Rasulullah. Dan jika mereka meyakini sesuatu, mereka meyakininya berdasar pada landasan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Maka jadilah para sahabat, tabi’in dan tabiut tabi’in sebagai orang yang paling dekat dengan sunnah Rasulullah.
Ketiga, Memakmurkan Masjid
Setiap muslim wajib memakmurkan masjid dengan berbagai ibadah dan ketaatan. Allah menyebut orang-orang yang memakmurkan masjid sebagai orang yang beriman. Allah berfirman:
“Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. At-Taubah: 18)
Semua bentuk ketaatan apapun yang dilakukan di dalam masjid atau terkait dengan masjid termasuk bentuk memakmurkannya. Di antaranya adalah:
Membangun dan mendirikan masjid
Menjaga kebersihan dan kesucian masjid.
Dzikrullah, shalat dan tilawatul Qur’an.
Perkara-perkara ini merupakan yang terpokok dari tujuan dibangunya masjid. Sedangkan shalat, khususnya shala fardhu berjamaah, di dalam masjid memiliki keutamaan yang besar.
Adapun membaca al-Qur’an dan mempelajarinya besama-sama di dalam masjid telah disebutkan keutamaannya oleh Nabi dalam sabdanya, “…. dan tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah (masjid), untuk membaca Kitabullah (al-Qur’an) da mempelajarinya di antara mereka melainkan akan turun ketentraman kepada mereka, rahmat akan menyelimuti mereka, para malaikat menaungi mereka dan Alah akan menyebut-nyebut mereka di hadapan para malaikat di sisi-Nya…” (HR. Muslim)
Keempat, Tilawatul Qur’an
Para salaf menjadi contoh paling baik dalam interaksi mereka kepada Al-Qur’an. Entah dalam hal kuantitas bacaan ataupun kualitas. Tidaklah orang yang paling lemah di antara mereka selesai membaca Al-Qur’an lebih dari sebulan.
Rasulullah menyuruh kita mengkhatamkan Al-Qur’an minimal sebulan sekali. Abdullah bin Amru bin al-Ash bertanya, “Wahai Rasulullah, berapa lama saya harus mengkhatamkan Al-Qur’an?”
Nabi menjawab: “Sebulan”.
Abdullah berkata: “Saya mampu mengkhatamkan kurang dari sebulan.”
Abdulah mengulangi perkataannya dan mengurangi (tempo khatamnya) sampai Rasulullah bersabda: “Khatamkanlah Al Qur’an salama tujuh hari.”
Nabi bersabda: “Tidak akan memahami Al Qur’an bagi orang yang membacanya (mengkhatamkannya) dalam waktu kurang dari 3 hari.” (HR. Abu Dawud)
Dalam hal kwalitas, Hasan al Bashri berkata: “Wahai anak adam, demi Allah jika kamu membaca al Qur’an lalu beriman kepadanya, kesedihanmu di dunia ini akan bertambah panjang, rasa takutmu (kepada Allah) akan menghebat dan tangismu akan bertambah banyak. (Siyar, IV/575)
Kelima, Jihad Fie Sabilillah
Jihad fie sabilillah adalah ruh dan kehidupan para salaf. Bahkan para sahabat telah mendidik anak-anak mereka saat masih kecil dengan renang, memanah dan menunggang kuda. Dalam sebuah hadits disebutkan:
Ajarilah anak-anak kalian berkuda, berenang dan memanah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Tempaan fisik tersebut membuat anak para sahabat saat dewasa menjadi pasukan yang tangguh. Mengislamkan lebih dari dua pertiga dunia dan menjadikan gentar musuh-musuh mereka terhadap Islam.
Mereka adalah kaum yang mencintai kematian di jalan Allah sebagaimana kecintaan seseorang untuk terus hidup di dunia. Khalid berkirim surat kepada para pemimpin Persia:
Bismillahirrahmanirrahim. Dari Khalid bin Walid kepada para pemimpin Persia. Assalamu ‘ala ma ittaba’al huda (semoga kesejahteraan terlimpah pada orang yang mengikuti petunjuk). Sesungguhnya aku memuji Allah; tiada ilah yang berhak disembah kecuali Allah, dengan pujian yang dapat melemahkan keteguhan kalian, memporak-porandakan keutuhan kalian, membuat kalian tidak berdaya, dan merampas milik kalian. Apabila suratku ini tlah sampai pada kalian, maka yakinilah jaminan perlindungan dariku, bayarlah jizyah kepadaku, dan kirimlah harta jaminan. Bila tidak, maka demi Allah yang tiada tuhan yang berhak diibadahi kecuali Dia, aku akan datang menemui kalian dengan membawa pasukan yang cinta kematian sebagaimana kalian mencintai kehidupan. Semoga kesejahteraan terlimpah pada orang yang mengikuti petunjuk.”
Keberanian seperti inilah yang mengantarkan pada pendahulu kita pada kejayaan, disegani oleh musuh, dan ditakuti oleh lawan.
Sementara umat Islam hari ini cenderung pada dunia dan takut mati. Hal itulah yang menjadikan kita lemah dan dihinakan oleh musuh-musuh Allah ta’ala untuk meneladani mereka para salaf sehingga Allah menangkan kita atas orang-orang kafir.
Demikian khutbah jumat yang dapat kami sampaikan. Kurang lebihnya kami mohon maaf.
sumber: majalah an najah edisi 120