Leadership Dalam Dakwah

Himayah Foundation – Sebuah ikatan yang kuat, pasti akan lebih bagus daripada ikatan yang lemah. Sayangnya hal ini tidak diejawantahkan dalam kehidupan riil, hanya dipahami sebagai sebuah jargon saja. Hal ini terbukti dengan banyaknya organisasi dakwah yang lemah dari sisi penguatan internal. Mereka nampak digdaya di luar, tetapi sangat rapuh di internal.

Kenapa terjadi seperti ini? Dari pengamatan yang dilakukan bisa diambil beberapa pelajaran yang bisa kita perbaiki.

Pertama dalam soal leadership, organsiasi dakwah mengalami kelemahan. Umumnya menjadi pemimpin bukan karena dia mampu tapi karena dia paling senior. Sehingga kualitas kepemimpinan tidak by design, tetapi lebih kepada proses evolutif.

Seseorang memimpin bukan karena dia yang paling mampu memimpin tatapi karena ia paling disegani dan paling ditakuti. Tentu saja hal ini ada sisi positif dan sisi negatifnya. Sisi positifnya pemimpin bisa memiliki karisma di  hadapan anggota organisasinya. Tetapi sisi negatifnya, generasi pengganti tidak mampu mengganti. Karena aspek senioritas yang didahulukan bukan sistem pengkaderan yang baik.

Proses pun berhenti. Hingga program kerja dan kinerja dakwah lebih kepada perintah atasan bukan dari inisiatif anggota. Anggota lebih nyaman memilih menunggu perintah daripada harus mengusulkan hal hal dan terobosan baru. Karena terobosan baru dianggap bukanlah hal yang penting. Kecenderungan mempertahankan pola lama lebih dominan dan menghambat pembaharuan.

Beberapa hal lain yang muncul adalah pola kepemimpinan seperti ini sangat rawan pengkultusan. Organisasi merasa tidak kuasa untuk melakukan pengawasan terhadap keuangan dan yang lainnya. Karena merasa tidak senior dan merasa selalu junior dalam berbagai hal. Jadi meskipun ia punya wewenang secara tertulis, tetapi tidak bisa diterapkan secara empiris. Fungsi dan wewenangnya kepotong dengan rasa tidak enak dan rasa tidak tega untuk melakukan koreksi. Sekali lagi karena aspek senioritas yang terlalu dominan dalam sebuah sistem organisasi dakwah.

Resikonya adalah organisasi dakwah mengalami pelambaan dan susah maju. Karena faktor senioritas yang berjalan bukan faktor kapasitas. Maka jalan keluar yang harus disiapkan oleh masing masing organisasi dakwah adalah menciptakan sistem leadership yang baik. Setiap tahun harus muncul pemimpin pemimpin baru di levelnya masing masing.

Patah tumbuh hilang berganti. Kalau satu pemimpin gugur maka akan ada generasi pengganti yang siap menggantikan posisi dan peran mereka. Sehingga umat tidak pernah mengalami kekosongan kepemimpinan. Selalu berada dalam kondisi yang terpimpin oleh pemimipin yang baik dan bertanggungjawab.

Organisasi dakwah harus menyiapkan media untuk ini. Menciptakan sebuah wadah untuk mencetak pemimpin pemimpin baru yang cekatan dan agresif. Mampu membaca gerak dan fenomena sosial yang sedang berjalan. Tidak menunggu dan tidak terkesan no respon terhadap fenomena yang berkembang.

Mereka harus membuat pelatihan pelatihan berjenjang yang akan menumbuhkan kemampuan memimpin yang baik. Ada materi dan ada alat ukur kemampuan memimpinnya. Sehingga semakin tinggi posisi seorang dai dalam amanahnya, maka semakin tinggi pula kapasitas dia sebagai pemimpin. Terus belajar dan belajar dan tidak mengenal kata cukup dalam memperkaya diri dengan ilmu pengetahuan. Karena tantangan dakwah semakin lama semakin banyak. Tidak cukup dihadapi dengan senioritas saja. Tetapi juga harus dihadapi dengan kecakapan dalam mengorganisasikan elemen elemen pendukung yang ada.

Kedua, pemimpin juga sebaiknya memahami persoalan dengan baik. Apa yang menjadi prioritas dalam kerja dakwahnya ke depan. Maka dukungan penuh dari organisasi dakwahnya menjadi sangatlah penting. Mesin organisasi harus mampu terus berputar menyajikan analisis analisis data yang taktis. Sehingga hasil keputusan yang dibuat tidak salah sasaran dan salah kelola.

Umumnya yang terjadi pengambilan keputusan dilakukan secara sepihak. Tanpa mau melihat masukan masukan yang ada. Kalaupun melihat masukan masukan yang ada, tidak disertai dengan analisis analisis yang menyeluruh. Hanya dilihat pada satu sisi saja. Sehingga keputusan yang diambil terkesan mentah dan tidak bisa diterapkan di banyak tempat.

Seorang pemimpin tidak akan bisa memutuskan dengan baik dan menyeluruh jika ia tidak disodori data data yang menyeluruh pula. Jika data yang masuk hanya secuil, maka yang akan dijadikan pertimbangan juga secuil. Tetapi jika data data yang masuk itu banyak dan menyeluruh, maka keputusan yang akan diambil jug akan menyeluruh.

Ketiga, organisasi dakwah lebih suka memilih status quo dalam leadership mereka. Anak anak muda tidak dibekali dengan bekal yang lebih baik. Sedangkan generasi yang lebih senior merasa cukup dengan apa yang ada pada diri mereka. Sehingga dinamika organisasi tidak berjalan dengan baik. Generasi muda ingin perubahan, sementara para senior lebih menyukai kemapanan.

Berjalan hanya pada apa yang mampu dijalankan. Tidak mencoba mencari terobosan terobosan baru yang simultan dan berkemajuan. Perjalanan organisasi dakwah menjadi sangat menjemukan dan stagnan. Yang terjadi kemudian adalah mereka yang merasa ingin maju memutuskan untuk minggir sedangkan mereka yang mendukung status quo akan tetap bertahan.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *