Oleh: Abu Athif, Lc –غفر الله له ولواديه-
Jarak yang membentang jauh antara tanah Hijaz dan Nusantara bukan menjadi penghalang laju perkembangan Islam. Bisa dibayangkan bagaimana kegigihan para pejuang dakwah Islam pada awal-awal abad pertama Hijriyah. Mereka harus menempuh perjalanan sejauh ribuan kilometer dan melintasi lautan serta daratan yang luas.
Berbicara tentang kegigihan para pendahulu yang mendakwahkan Islam, kita akan teringat para pahlawan Islam di abad pertama Hijriyah. Mereka gigih dalam menyebarkan Islam meskipun harus menyeberangi laut merah dan laut Mediterania serta melintasi perbukitan di Afrika Utara. Mereka adalah para sahabat Nabi Muhammad -shollallohu ‘alaihi wa sallam- yang tidak pernah merasa lelah dan bosan dalam memperjuangkan penyebaran Islam hingga seluruh manusia di muka bumi ini mengenal keindahan Islam. Salah satu dari mereka adalah Uqbah bin Nafi’ –semoga Allah meridhoinya-. Dia lah pahlawan Islam yang disegani lawan maupun kawan. Dengan keikhlasan perjuangannya, Allah ta’ala memberikan kemenangan bagi kaum muslimin dalam menaklukan wilayah Afrika Utara hingga Maroko. Kegigihannya tergambar dalam ucapannya saat berhasil menaklukan Maroko:
“يَا رَبّ لَوْلاَ هذَا الْبَحْرُ لَمَضَيْتُ فِي الْبِلاَدِ مُجَاهِداً فِي سَبِيْلِكَ، اللّهُمَّ اشْهَدْ أَنِّي قَدْ بَلَغْتُ الْمَجْهُوْدَ، وَلَوْلاَ هَذَا الْبَحْرُ لَمَضَيْتُ فِي الْبِلاَدِ أُقَاتِلُ مَنْ كَفَرَ بِكَ حَتَّى لاَ يَعْبُدَ أَحَدٌ دُوْنَكَ”
“Wahai Robb-ku, kalau bukan karena lautan ini (samudra atlantik) pastilah aku akan berjihad di jalan-Mu menuju negeri-negeri lain. Ya Allah, saksikanlah bahwa aku telah sampai pada ujung upayaku, kalau bukan karena lautan ini niscaya akau akan terus memerangi siapa saja yang mengkufuri-Mu hingga tidak ada seorang pun yang menyembah selain Engkau”.[1]
Keikhlasan disertai kegigihan dalam berjuang telah menjadi nafas para pendakwah Islam. Hingga proses penyebaran Islam yang dimulai dari negeri Hijaz sampai meluas ke daratan Afrika, Eropa, Asia tengah hingga sampai ke Asia Tenggara. Keikhlasan dan kegigihan tersebut menjadi bahan bakar tersebarnya dakwah Islam lintas teritori geografis dan lintas generasi.
Tercatat pula oleh sejarah bahwa sepeninggal Rosulullah -shollallohu ‘alaihi wa sallam- selama seratus tahun, pengaruh dakwah Islam telah meluas dan membentang jauh keluar dari wilayah jazirah Arab. Di Barat, telah merambah masuk wilayah Eropa hingga Prancis. Sementara di Utara, Islam berpengaruh besar di perbatasan Rusia Selatan. Adapun ke Selatan, Islam dikenal sampai Afrika Selatan. Di wilayah Timur, Islam masuk di India dan wilayah Asia Tengah.
Masih di awal-awal abad Hijriyah, para juru dakwah Islam juga berupaya menyebarkan Islam ke wilayah timur Jazirah Arab. Hingga menyapa kawasan Asia Tenggara khususnya wilayah Nusantara. Para juru dakwah mengenalkan Islam melalui interaksi peradagangan. Para pedagang Arab menyampaikan ajaran Islam dengan akhlak mulia. Dari pertemuan antara ketinggian budi pekerti serta kasantunan tutur kata para wirausahawan Arab dengan keramahan penduduk Nusantara inilah menjadi faktor utama masuknya Islam secara damai.
Para sejarawan mencatat bahwa wirausahawan muslim dari Arab sampai ke wilayah Nusantara disebabkan adanya hubungan dagang yang terjalin antara kekholifahan Islam dengan kekaisaran China pada abad ke-7 M. Secara geografis pada saat itu, Nusantara menjadi satu-satunya jalur perairan dari negeri Arab untuk menuju ke China, begitu pula sebaliknya. Kepulauan Nusantara sekaligus menjadi tempat transit dan peristirahatan para musafir. Dari sinilah masyarakat mulai mengenal Islam dari wirausahawan Arab muslim.[2]
Proses dakwah dalam mengajak manusia untuk mengenali sesembahan yang berhak disembah dan diibadahi merupakan pekerjaan tidak mudah. Sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Muhammad -shollallohu ‘alaihi wa sallam- ketika awal mula mendakwahkan Islam dalam fase awal dakwah di Makkah, para wirausahawan Arab yang juga memiliki obsesi dakwah mencoba mengajarkan Islam dengan pengetahuan-pengetahuan mendasar seperti masalah tauhid dan ibadah yang tidak boleh ditinggalkan seperti sholat. Bukan perkara yang tersembunyi bagi orang yang memperhatikan dakwah Islam bahwa urusan pembimbingan dan pengajaran Islam haruslah ditempuh dengan cara terus-menerus dan berkesinambungan agar masyarakat memahami Islam secara kaffah.
Melihat seriusnya masalah dakwah ini, para wirausahawan Arab muslim mencoba untuk melangkah lebih strategis. Mereka berusaha membuat komunitas yang memungkinkan keberlangsungan dakwah. Tercatat oleh sejarah bahwa pada tahun 674 M di pantai barat Sumatra terdapat settlement (hunian bangsa Arab muslim)[3]. Tidak menutup kemungkinan bila hunian yang ditempati selain digunakan sebagai tempat transit dan penyimpanan asset niaga, bisa juga digunakan sebagai pusat pengenalan Islam kepada penduduk sekitar.
Bukan hal yang berlebihan jika kita menganggap settlement Arab Muslim di pantai barat Sumatra menjadi pintu gerbang kemajuan dakwah Islam di Nusantara. Langkah strategis ini berujung dengan pendirian kesultanan Islam pertama di Nusantara yaitu kesultanan Islam Samudra Pasai di awal abad ke-13 M (1275 M).
Dinamika dakwah pun terus berlangsung, seiring dengan tantangan kemajemukan masyarakat Nusantara. Bak air yang selalu bisa mengairi lika-liku sungai dan menerjang halangan batu besar, maka Islam begitu cepat tersiar dan tersebar di beberapa wilayah Nusantara. Kemunculan sosok seperti Syaikh Mukaidin di Baros Tapanuli yang diperkirakan hidup di tahun empat puluhan Hijriyah menjadi pioneer laju dakwah dan sekaligus pembuka lahan baru, sehingga dakwah Islam mulai menyebar dari pesisir pantai barat Sumatra sampai ke pelosok Tapanuli. Di tahun-tahun berikutnya, dakwah Islam mulai menyapa pulau-pulau lain di Nusantara seperti pulau Kalimantan, Jawa, Sulawesi hingga bisa menembus kelebatan hutan Papua.
Salah satu factor keberhasilan para juru dakwah dalam menyebarkan Islam adalah dengan melihat tipologi masyarakat yang ada. Dalam hal ini, para perintis dakwah Islam di Nusantara mencoba memahami latar belakang budaya masyarakat yang menjadi obyek dakwahnya. Terobosan-terobosan dakwah yang tentunya tetap menjaga koridor syar’I sangat diperlukan untuk menarik hati warga setempat. Untuk itulah beberapa tokoh Islam pada masa lalu seperti Sunan Kalijaga mencoba memasukkan ajaran-ajaran Islam melalui seni kebudayaan wayang dengan merubah bentuk yang sebelumnya berbentuk patung-patung kayu menjadi bentuk –bentuk abstrak seperti yang dikenal dengan bentuk wayang jawa. Dikarenakan menjauhi dari perbuatan membuat patung makhluk hidup yang dilarang oleh agama.
Melihat antusias masyarakat jawa dengan seni wayang, maka sunan Kalijaga memanfaatkan kesempatan tersebut untuk menyadarkan manusia tentang pentingnya ajaran tauhid keislaman. Mengajarkan Islam secara bertahap dan sistematis serta dimulai dari yang terpenting merupakan kaidah dasar dalam berdakwah. Perkara ini seperti yang dinasehatkan oleh Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- kepada Muadz bin Jabal saat mengirim beliau untuk berdakwah ke Yaman melalui sabda beliau :
«إِنَّكَ سَتَأْتِي قَوْمًا مِنْ أَهْلِ الكِتَابِ، فَإِذَا جِئْتَهُمْ فَادْعُهُمْ إِلَى أَنْ يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، فَإِنْ هُمْ طَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ، فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ، فَإِنْ هُمْ طَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً، تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ، فَإِنْ هُمْ طَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ فَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ، وَاتَّقِ دَعْوَةَ المَظْلُومِ، فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ
“Sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum dari kalangan ahlul kitab, maka apabila engkau telah mendatangi mereka ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali hanya Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Apabila mereka menaatimu dengan seruan itu, maka kabarkanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka sholat lima waktu dalam sehari semalam. Apabila mereka menurutimu dengan perkara itu maka kabarkanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan zakat atas mereka yang diambil dari orang-orang kaya dan dibagikan kepada orang-orang miski dari mereka. Apabila mereka menurutimu dengan perkara itu maka jauhilah olehmu harta kemulian mereka dan takutlah terhadap doa orang yang terdzolimi, karena sesungguhnya tidak ada antara dia dan Allah suatu penghalangpun. (HR. Bukhori)
Upaya pendekatan dan taktis strategis dakwah yang dilakukan oleh para walisanga patut diapresiasi namun haruslah difahami bukan sebagai tujuan utama dakwah. Tujuan utamanya adalah menjadikan seluruh aktivitas hamba sebagai bentuk peribadatan kepada Allah ta’ala dengan berpegangan kepada ajaran-ajaran Nabi Muhammad -shollallohu ‘alaihi wa sallam-. Oleh sebab itu, ketika didapatkan perkara-perkara yang belum bersesuaian dengan syariat Islam maka hendaknya perlu menjadi sorotan utama untuk dibenahi.
Misal dalam hal ini adalah kewajiban menutup aurat dengan jilbab bagi wanita. Didapatkan dalam realitanya masih banyak wanita pada zaman dahulu (era walisanga dan sebelumnya) belum memakai jilbab dengan semestinya. Bukan berarti model kebanyakan wanita muslimah pada zaman tersebut diklaim sebagai budaya Islam Nusantara. Dalam kasus lain, gesekan budaya hindu-budha dengan Islam melahirkan akulturasi budaya yang menjurus kepada sinkritisme[4]. Upaya pencampur-adukkan ajaran agama tentu saja sangatlah bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam yang berpegang teguh kepada konsep “Laa Ilaaha illa Allah”. Sisi inilah, kita harus berbuat banyak untuk meluruskan dan menuntun masyarakat kepada kemurnian dan asholah Islam.
Apa yang telah dicapai oleh para pendakwah Islam masa lalu haruslah menjadi pijakan untuk melangkah menuju anak tangga berikutnya. Bukan malah dijadikan sebagai role model dalam berislam apalagi diklaim sebagai sebuah ajaran Islam beraliran nusantara. Justru generasi selanjutnya menjadi penerus tongkat estafet dakwah hingga Islam bisa difahami dan diamalkan di nusantara ini sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh Rosululloh Muhammad -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dari Al Qurân al Sunnah. Wallahu a’lam bis shawab.
[1] Ali Muhammad al Shalabi, Mu’awiyah bin Abi Sufyan –syakhshiyatuhu wa ‘ashruhu- (Mesir: Dâr al Andalus al Jadidah, cetakan I, tahun 1429 H) hal 427
[2] Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah 1, hal104
[3] Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah 1, hal105
[4] Sinkretisme adalah suatu proses perpaduan dari beberapa paham-paham atau aliran-aliran agama atau kepercayaan. Pada sinkretisme terjadi proses pencampuradukkan berbagai unsur aliran atau faham, sehingga hasil yang didapat dalam bentuk abstrak yang berbeda untuk mencari keserasian, keseimbangan.