Laksana Kereta yang Keluar dari jalurnya
Setiap kendaraan pasti memiliki lintasan yang berbeda-beda. Salah satunya adalah kereta, kendaraan yang dilengkapi dengan lokomotif. Tidak heran jika lintasannya pun berbeda dengan mobil, kapal, atau kendaraan lainnya. Lokomotif hanya beroprasi di atas rel yang merupakan jalur khusus untuk kereta. Bisakah kita bayangkan, seandainya kereta yang sedang melaju dengan kencang secara tiba-tiba keluar dari relnya, pastilah akan terjadi kecelakaan yang sangat besar.
Seandainya kita merenungi ayat-ayat Al Qur’an, ternyata dalam diri manusia terdapat perumpamaan yang serupa dengan kereta. Yaitu akal, yang dengannya Allah Shubhanahu wa ta’ala menjadikan manusia sebagai makhluk paling sempurna. Walau demikian, akal terkadang membawa bencana bagi manusia akibat tidak digunakan pada tempatnya. Akal yang keluar dari tugasnya laksana kereta yang keluar dari rel, menjerumuskan manusia ke jurang kesengsaraan.
Dalam Islam, akal memiliki posisi yang sangat mulia. Meski demikian, bukan berarti akal diberi kebebasan tanpa batas untuk memahami agama. Islam memiliki aturan dalam menempatkan akal sesuai kodratnya. Oleh karena itu, Allah Shubhanahu wa ta’ala memuji setiap hamba yang menggunakan akalnya untuk mencari dan mengikuti kebenaran. Allah berfirman,
فَبَشِّرْ عِبَادِي ، الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الألْبَابِ.
“Maka berilah kabar gembira hamba-hamba-Ku. Yaitu orang-orang yang mendengarkan perkataan dan mengikuti yang paling baik. Mereka itulah orang-orang yang diberi hidayah Allah Shubhanahu wa ta’ala dan mereka itulah orang-orang yang berakal.” (Az-Zumar : 17-18).
Sebaliknya Allah Shubhanahu wa ta’ala juga mencela orang-orang yang tidak menggunakan akalnya, sehingga mereka menolak kebenaran risalah yang dibawa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Allah berfirman,
أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلا كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلا
“Apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka (orang-orang Kafir) itu mendengar atau menggunakan akalnya. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (Al-Furqon : 44)
- Wahbah az-Zuhaili menyebutkan di dalam al-Wajiz fi Ushul al Fiqh, bahwa akal merupakan wasilah utama untuk memahami ilmu. Akal yang sehat tidak akan bertentangan dengan syariat. Ahli sunah waljamaah meyakini bahwa terkadang akal bisa menjadi tolak ukur dalam menimbang suatu perkara. Sesuatu yang menurut akal sehat baik, bisa jadi adalah baik hukumnya; dan sesuatu yang menurutnya buruk bisa jadi juga adalah buruk. Hanya saja hal ini tidak bersifat mutlak, melainkan hanya terjadi pada beberapa perkara. Adapun tolak ukur yang paling utama adalah syariat. Sehingga seorang hamba tidak boleh mendahulukan akalnya dari syariat yang merupakan ketetapan Allah Shubhanahu wa ta’ala.
Oleh karena itu, tidak semua medan bisa dijadikan lintasan akal. Ada jalur-jalur yang akal tidak boleh beroprasi di atasnya. Diantaranya adalah sebagai berikut:
- Mughayabat (hal-hal yang ghaib)
Tidak sedikitpun dari perkara ghaib yang dapat dijangkau oleh akal manusia. Seperti: kehidupan setelah kematian, kondisi surga dan neraka, keberadaan malaikat dan jin, serta perkara-perkara ghaib lainnya. Manusia hanya diberi pengetahuan sebatas wahyu, sementara akalnya tidaklah mampu menjangkau perkara-perkara tersebut.
- Qath’iyah
Hal-hal yang telah disebutkan dasarnya di dalam Al Qur’an dan As Sunah juga bukan menjadi ruang garap akal. Sebagai contoh Allah telah menetapkan di dalam surah an-Nisa’ ayat ke sebelas bahwa bagian warisan bagi laki-laki adalah dua kali lipat dari perempauan. Dengan demikian sebuah kesalahan pula apabila akal menyangkal hal-hal qath’i yang semisal dengannya.
- Arkan (rukun-rukun)
Rukun iman yang enam dan rukun Islam yang lima tak bisa diutak-atik dengan akal. Semuanya sudah ditetapkan Allah Shubhanahu wa ta’ala, harus diimani dan dilaksanakan dengan penuh kerelaan. Imam Az-Zuhri mengatakan, “Risalah datang dari Allah Shubhanahu wa ta’ala, kewajiban Rasul menyampaikan dan kewajiban kita menerimanya.”
- Mutasyabihat
Mutasyabihat adalah ayat-ayat yang hanya Allah Shubhanahu wa ta’ala saja yang mengetahui maknanya. Ciri utama ayat mutasyabihat dalam al-Qur’an adalah ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud, kecuali setelah diselidiki secara mendalam oleh Ahlul Ilmi. Ibn Mas’ud berkata, “Sesungguhnya penakwilan ayat-ayat mutasyabih hanya milik Allah Shubhanahu wa ta’ala semata, sedangkan orang-orang yang mendalami ilmunya berkata, “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabih.”
- Dzat Allah
Dzat Allah juga bukan termasuk yang menjadi bidang garap akal. Karena itu, Islam memberikan arahan yang lurus dalam mengimani Asma’ dan Sifat-Nya. Yaitu dengan tidak melakukan ta’wil (mencari makna selain makna yang dhahir dari nash tersebut), tasybih (penyerupaan), maupun ta’thil (meniadakan dan tidak mengakui). Hal ini bukan untuk membatasi akal, namun sebagai sikap mengakui ketidaksempurnaan akal dibanding kebesaran Allah Shubhanahu wa ta’ala.
- Hakimiyah
Hak membuat undang-undang di tangan Allah Shubhanahu wa ta’ala merupakan salah satu pokok aqidah yang tidak bisa ditawar lagi. Akal manusia tidak layak untuk mengubahnya, karena Dia sendirilah yang telah menciptakan alam semesta, maka Dia pula yanga mampu menentukan aturan yang cocok sejak awal penciptaan sampai hari kiamat nanti. Dengan demikian, mengikuti syariat merupakan bentuk ketertundukkan akal, sekaligus bukti mengakui rububiyah dan uluhiyah-Nya. Allah berfirman, “Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (Al-Jaatsiyah : 18).
Demikianlah, betapa agung Dzat yang telah memberikan akal kepada manusia. Dan Dia pulalah yang maha tahu sebatas mana kemampuan akal para hamba-Nya. Pastikan akal ini tidak keluar dari medan yang telah ditentukan. Hindari batasan-batasan yang ada, sebab menerobosnya merupakan awal dari ketersesatan.